Bab 12 Dunia Baru Yang Tidak Asing



Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu bahwa ia sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu 3 tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya Thian yang tahu.

Dunia berputar dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang mengikuti arus pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus pasti akan tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu. Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.

Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi san. Lalu menjadi sebatang kara sampai kemudian diangkat menjadi murid Butongpay. Kemudian malah menjadi buronan Butongpay karena dianggap membantu pembunuhan gurunya. Sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan hidup menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian menjadi sahabat ular itu.
Lalu kini sang sahabat pun mati, sedangkan dia kini harus berkelana tanpa tujuan. Apa yang harus dilakukannya kini. Yang menderita adalah hidup tidak bahagia. Namun yang lebih menderita lagi adalah hidup tanpa tujuan.

Dengan tubuh terluka, bahkan dia sendiri tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya. Apa yang bisa dilakukan di dunia kang ouw dengan keadaan seperti itu?. Cio San memutuskan untuk kembali ke dunia ramai, tapi dia tidak akan mencampuri urusan Kang-ouw. Ia ingin hidup tenang tanpa pertempuran. Tanpa perebutan kekuasaan.

Cio San memutuskan untuk menjadi juru masak saja. Ia memiliki sedikit pengetahuan tentang memasak. Ia pun sudah banyak menghafal resep-resep masakan yang enak-enak. Kini ia berjalan dengan mantap. Walaupun agak sedikit gontai karena terluka. Setidaknya ia kini mempunyai arah hidup.

Selama 2 hari Cio San menyusuri hutan itu. Ternyata ia telah berada jauh dari gunung Butongsan. Karena dari letaknya kini, ia bisa melihat gunung itu. Indah sekali. Cio San merasa beruntung bahwa ia terdampar cukup jauh dari Butongsan. Air sungai ternyata membawanya cukup jauh.

Dalam 2 hari ini, Cio San bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dalam hutan, serta menangkap hewan buruan seperti kelinci dan ayam hutan. Ia juga tidak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dipakainya untuk membuat bumbu masakan yang enak. Dari pengetahuannya, ia mengumpulkan banyak sekali bahan-bahan. Ia juga tak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan. “Mumpung berada di hutan, dan banyak sekali bahan-bahannya” begitu pikir Cio San.

Perjalanannya dilakukan dengan riang. Walaupun hatinya sedih terhadap kematian si ular, ia bisa menerima kematian itu sebagai satu takdir. Cio San telah anyak mengalami kematian orang-orang terdekatnya. Ayah ibunya, keluarga besarnya, gurunya, sahabat terbaiknya, dan juga si ular.

Ayahnya mengajarkan bahwa kematian telah ditakdirkan. Tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Ayahnya memang menganut agama dari daerah barat, yang mengajarkan seperti itu. Walaupun bukan penganut yang taat dan keras, setidaknya banyak nilai-nilai ajaran agama itu yang ayahnya percayai. Bahkan ayahnya pun juga tidak memaksa Cio San untuk mengikuti agama itu. “Biarlah kau memilih sendiri mana yang kau percayai, jika kau dewasa nanti” begitu kata ayah Cio San waktu itu.

Memang di hati Cio San tidak ada dendam, bahwa ia harus membalas kematian-kematian ini. Tetapi jiwanya selalu menuntut keadilan nanti. Suatu hari kebenaran akan terkuak, dan keadilan akan ditegakkan. Siapa yang bersalah harus dihukum.

Hanya itulah yang ada di hatinya. Oleh sebab itu dia bisa berjalan dengan ringan dan menikmati hidup. Apa yang terjadi telah ditakdirkan. Apa yang belum terjadi harus diusahakan. Jika ingin kebenaran berjuanglah. Jika ingin keadilan berjuanglah. Itulah yang selama ini diajarkan ayah ibunya.

Teringat ia akan ayah ibunya, Cio San merasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah mengunjungi makam mereka. Cio San memutuskan untuk mengunjungi mereka ketika ia sudah mampu membeli kuda. Karena letk kuburan ayah ibunya jauh sekali. Dan untuk membeli kuda yang bagus, ia harus bekerja.

Cio San telah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan uang pemeberian orang yang menolongnya itu, jika benar-benar tidak penting. Jika masih bisa bekerja, maka ia lebih baik bekerja saja.

Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak lama berjalan, ia melihat sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya dan kini sedang beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar dan kokoh. Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.

“Selamat siang lopek,...bolehkah saya numpang istirahat sebentar, saya tersesat beberapa hari di hutan” kata Cio San dengan hormat.

“Oh..tersesat? Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana?” tanya si petani itu ramah namun sedikit kaget juga.

“Mmmm....saya sedang berkelana lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya tersesat..” ujar Cio San sambil malu-malu.

“Wah ternyata anak ini dari kaum bu-lim [persilatan] ya? Mari-mari silahkan istirahat disini...” jawab si petani ramah.

Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata, karena terbukti mampu membebaskan tanah air dari penjajah Mongol. Sehingga rakyat biasa jika bertemu dengan orang-orang kang-ouw pasti akan hormat dan kagum.

Si kakek petani yang merasa senang mendapat tamu orang kalangan Kang-ouw itu malah bersemangat sekali untuk bercerita,

“Dulu sering sekali orang-orang kang-ouw lewat sini. Apalagi jaman peperangan dengan penjajah mongol dulu. Daerah sini banyak dilewati pahlawan-pahlawan. Saat itu aku masih kecil. Setelah peperangan, daerah ini jarang dilewati orang kang-ouw selama puluhan tahun. Baru beberapa tahun yang lalu ini, tempat ini mulai ramai lagi...” cerita si kakek.

“Mulai ramai? Apa sebabnya lopek?” tanya Cio San

“Orang-orang kang-ouw itu ramai-ramai mengejar buronan. Katanya buronan ini adalah murid Butongpay yang murtad. Menurut cerita yang kudengar, ia bersekongkol dengan seorang tukang masak. Mereka membunuh salah seorang guru di Butongpay, lalu mencuri kitab sakti milik Butongpay. Bahkan ia sempat juga meracuni Ciangbunjin nya partai Butong itu” kata si kakek.

Seketika itu juga Cio San terhenyak. Untuknya ia sedang memakai topeng sehingga perubahan raut mukanya tidak terlihat. Ia lalu bertanya,

“Lalu apakah buronan itu sudah ditemukan?”

“Selama hampir 2 tahun orang-orang kang-ouw mencari-cari namun katanya tiada hasil. Akhirnya setahun ini daerah ini sudah sepi lagi...eh, anak sendiri ini ke daerah sini apa mencari buronan itu juga?”

Cio San cepat menjawab,
“Ah sebenarnya tidak mencari, hanya mau melihat-lihat keramaian. Tapi karena saya ini masih hijau, sering-sering tersesat. Dan juga banyak hambatan di jalan. Akhirnya baru sekarang sampai kemari...”

“Ooo begitu, anak ini asalnya darimana? Dan namanya siapa?” tanya si kakek lagi.

Sadar bahwa dari tadi ia belum meperkenalkan, Cio San malah merasa kurang sopan

“Ah maaf lopek sejak tadi saya lupa memperkenalkan diri. Saya berasal dari sebuah desa di dekat Kanglam.Hanya desa kecil tidak terkenal. Sejak kecil saya suka belajar silat. Setelah dewasa ingin berkelana...”

Si Kakek tersenyum, cerita seperti itu memang sering terjadi, pikirnya.

“Lalu nama anak siapa?” tanyanya lagi

Agak gelagapan juga Cio San menjawabnya,

“Mmmm...nama...saya Tan Liang San....” jawabnya terbata-bata. Cepat juga ia berfikir tentang nama ini. Sebenarnya itu di ambil dari she [marga] gurunya Tan Hoat, nama A Liang, dan juga namanya sendiri. Akhirnya terciptalah nama Tan Liang San.

“Oooo,..she Tan ya. Kalau aku she Oey bernama Hoa.” kata si kakek.

“Senang berkenalan dengan Oey-lopek” kata Cio San sambil memberi hormat ala kaum bu-lim.

Si kakek senang sekali menerima penghormatan seperti itu, ia pun membalasnya. Selama ini orang-orang kangouw yang berkeliaran di daerah situ tidak ada satupun yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Karena memang dalam pandangan kaum kangouw, orang-orang seperti petani tua ini adalah kaum rendahan yang tidak perlu diberi hormat seperti itu.

Mereka ngobrol lama sekali. Bahkan Cio San pun bahkan membantu kakek itu bekerja mengurusi sawahnya. Sambil bekerja, mereka tetap ngobrol-ngobrol dengan riang. Dari obrolan itu setidaknya Cio San bisa mengerti perkembangan yang terjadi di dunia Kangouw.

Ternyata perguruannya, Butongpay telah mengeluarkan pengumuman bahwa ia telah dipecat dari Butongpay. Perbuatannya telah membawa kegemparan di dalam dunia kangouw, sehingga banyak dari golongan Kangouw ini pun yang mengejar dan mencarinya.

Tapi Cio San paham bahwa sebenarnya bukan dirinyalah yang diincar melainkan kitab silat sakti yang diduga telah dibawa olehnya. Karena dibawah kolong langit, hanya 3 hal lah yang paling menarik bagi orang kangouw. Kitab silat sakti, senjata pusaka, atau harta karun.

Sedih juga Cio San mendengar bahwa ia telah dipecat oleh Butongpay. Bahkan kini telah menjadi incaran orang-orang kangouw.”Suatu saat nanti, aku harus membersihkan namaku” begitu pikirnya.

Si kakek menawarkan untuk bermalam di gubuknya. Cio San dengan senang hati menerima tawaran itu. Semalaman mereka pun bercerita pula. Cio San sangat senang mendengarkan karena ia sudah lama tidak mengobrol dengan manusia. Sampai larut malam akhirnya mereka tertidur.

Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Sempat membantu si kakek membuat sarapan, kemudian Cio San pergi mandi. Selsai mandi baru mereka berdua makan. Lalu Cio San berpamitan.

Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San memang orang yang halus hatinya.

Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan Cio San bertemu dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah. Rupanya daerah situ sering didatangi orang asing sehingga mereka tidak terlalu curiga kepada Cio San.

Sampai tengah hari baru akhirnya desa itu kelihatan. Kelihatannya memang desa yang ramai. Melihat keadaan seperti itu, Cio San lantas teringat desa tempat ayahnya berasal. Dulu waktu kecil sering sekali ia berkunjung kesana.

Ketika sampai ke desa yang ramai ini. Cio San senang namun juga khawatir. Ia senang karena sudah lama memang tidak bertemu manusia. Dulu ia memutuskan untuk hidup saja di dalam goa adalah bukan karena ia tidak suka untuk hidup lagi di tengah keramaian. Melainkan karena ia khawatir. Khawatir terseret oleh banyak sekali kepentingan orang-orang kangouw.

Sejak kecil, ia sudah merasakannya. Kedua orang tuanya dibunuh, keluarga besarnya, gurunya, sahabatnya. Semua terbunuh karena begitu banyak kepentingan orang-orang kangouw ini. Ia masih belum tahu apa penyebabnya semua orang-orang yang dekat dengannya terbunuh. Tapi ia yakin pasti suatu saat ia akan mengetahuinya.

Kenyataan bahwa ia harus terseret dalam pusaran kepentingan orang-orang kangouw inilah yang membuat ia khawatir. Cio San memang mewarisi sifat ayahnya yang penyabar, penyayang, dan romantis. Sifat ayahnya yang tidak suka berkelahi, lemah lembut, dan tenang itu memang mengalir ke dalam dirinya.

Ia memang kini senang sekali belajar silat. Tetapi itu bukan karena akan ia pakai untuk berkelahi, melainkan semata-mata karena ia menyukai silat. Ibarat orang yang menyukai mancing, ikan yang ia tangkap bukan untuk ia makan, melainkan ia lepas kembali. Proses menunggu, memancing, dan tarik ulur dengan ikan lah yang dicari oleh orang yang suka mancing. Begitulah pula Cio San dengan kesukaannya terhadap ilmu silat.

Akan tetapi Cio San pun mewarisi kegagahan dan rasa keadilan dari ibunya, yang adalah pendekar ternama Gobi-pay. Cio San tidak suka melihat ada orang yang ditindas, dicurangi, atau dirampas haknya. Dalam hati kecilnya ia selalu ingin membela atau melakukan sesuatu.

Bukannya ia pendendam, tetapi ia merasa orang harus mendapatkan apa yang diusahakannya. Jika yang diusahakannya itu kebaikan, maka kebaikan pula yang ia dapat. Jika kejahatan, maka kejahatan juga yang ia dapat. Dorongan inilah yang membuat muncul suatu tekad di dalam hati Cio San untuk membersihkan namanya, dan nama A Liang. Dan juga untuk mencari keadilan atas kematian keluarganya, dan juga gurunya.

Akan tetapi Cio San memutuskan untuk melakukannya dengan tenang dan perlahan, agar semua permasalahan menjadi jelas dan terang benderang. Rupanya sifat ayahnya ini yang mendorongnya untuk bersikap seperti itu.

Sifat orangtua ini memang selalu mengalir kedalam anak-anaknya. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar juga pameo ini. Gabungan antara sifat pendekar Gobipay yang gagah dan benci dengan ketidakadilan ditambah dengan sifat seorang sastrawan yang halus, lemah lembat, namun tajam dalam berfikir inilah yang menjadi sifat Cio San sekarang.

Sambil berjalan kaki, Cio San menikmati segala pemandangan yang terhampar di depan matanya. Selama sekitar 3 tahun ia telah terperangkap di dalam kegelapan. Ada perasaan suka cita yang timbul juga di dalam hatinya ketika melihat segala pemandangan ini.

Akan tetapi pikirannya pun juga tak berhenti berfikir tentang bagaimana ia harus menghadapi dunia ini. Saat ini posisinya telah menjadi buronan. Bahkan telah menjadi buruan kaum kangouw karena disangka ialah yang telah mencuri kitab sakti itu.

Cio San memutuskan bahwa untuk sementara ia harus berdiam dulu di suatu tempat. Tempat itu harus ramai oleh banyak orang sehingga cerita dan kejadian-kejadian yang terjadi di dunia Kangouw dapat diketahui dan dipahami olehnya secara keseluruhan.

Ia merasa sangat beruntung bahwa saat ini ia memakai topeng dari kulit ari ular. Entah siapa yang telah menolongnya dan memberikan ide kepadanya.  Dalam hatinya Cio San pun memutuskan untuk mencari tahu siapa orang yang telah membantunya itu.

Dari pemikiran itu, Cio San mengambil keputusan bahwa ia harus bekerja dulu di sebuah rumah makan. Karena itulah keahlian yang dimilikinya selain kemampuan silat. Banyak sekali resep-resep masakan yang dikuasainya, yang pasti akan membantunya agar bisa diterima di sebuah rumah makan.

Rumah makan adalah tempat semua orang berkumpul. Dari sanalah ia bisa mendengar cerita-cerita dan kejadian dunia kangouw. Mungkin langkah-langkah selanjutnya akan bisa ia putuskan setelah mengetahui apa-apa saja kabar dan berita dunia kangouw. Karena baginya, ia harus mengetahui segala sesuatunya dulu sebelum mengambil langkah apapun.

Tersenyum dia memikirkan semua ini. Akhirnya ada jalan juga baginya untuk mengetahui kebenaran. Walaupun jaraknya masih jauh sekali, tetapi langkah pertama akan dijalaninya. Cio San menatap ke depan dengan gagah.

“Dunia, aku datang.......”

Related Posts:

Bab 11 Kedatangan dan Kepergian



Pagi-pagi benar Cio San sudah bangun. Ia membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Saking beratnya sampai kulit-kulit itu tidak hanyut terbawa air sungai. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian penggantian kulit itu.

Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangat berat sehingga ia bahkan harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.

Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat telah bangun. Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya. Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati lubang itu.

“Eh kenapa Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?” tanya Cio San

Si ular mengangguk-angguk.

“Baiklah, tapi ku kuburkan yang kecil-kecil dulu ya...” tukas Cio San

Ia kemudian mengumpulkan kulit-kulit kecil yang bisa dengan mudah dibawanya. Si ular membantu dengan membuat beberapa lubang dengan menggunakan mulutnya. Karena daerah bertanah yang ada disekitar situ hanya sedikit, maka Cio San hanya berhasil menguburkan sedikit.

“Kim-ko ayu kita ke daerah dekat air terjun. Di situ banyak daerah yang bertanah, tidak berbatu-batu seperti disini” ajak Cio San.

Si ular pun menuruti. Jalannya sangat pelan karena masih lemah. Dengan tubuh yang tidak terlindungi kulitnya, tentu saja sangat sakit jika harus menuyusuri batu-batuan seperti, Cio San yang mengerti keadaan si ular, lalu berkata, “Kau tunggu disini saja Kim-ko. Biar aku yang kesana menggali lubang-lubang disana”

Baru saja Cio San akan melangkah, terdengarlah suara ledakan yang amat sangat keras. Bllllaaaaaaaaaaararrrrrrrrrrrrrr..................

Seluruh gua serasa runtuh. Langit-langit pecah berjatuhan, dinding-dinding goa pun hancur. Air bah lalu menerobos masuk melalui dinding-dinding itu. Dalam kekagetannya Cio San menghalau semua bebatuan yang mengarah ke arah dirinya dan si ular.

Suasana di dalam terowongan itu menjadi terang benderang. Masuknya sinar ke dalam goa itu secara tiba-tiba langsung menyakiti mata Cio San. Setelah bertahun-tahun hidup di dalam kegelapan, dengan cahaya yang kecil sekali, matanya kini tidak dapat menahan sinar seterang itu.

Untungnya air bah yang mengalir bergerak ke segala arah sehingga tidak menyerang Cio San dan ular. Dengan menggunakan kelincahan tubuh, ilmu silat, serta pendengarannya yang tajam Cio San menghalau batu-batu yang menghujama pada dirinya dan ular. Tetapi tak urung beberapa bebatuan mengenai bagian tubuh ular itu. Sang ular menggeliat marah namun karena tubuhnya lemas, ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Terdengar ramai suara manusia, “Berhasil...berhasil...Kim Liong Ong [raja naga emas]berada di dalam sini....”

Dengan telinganya Cio San bisa mendengar bahwa ramai suara itu berasal dari 6 atau 7 manusia. Dan ia pun bisa mendengarkan kekagetan mereka ketika melihat ternyata di bawah situ, di tempat ketika dulu ada gua perut bumi, si ular tidak sendirian. Melainkan ada seorang manusia yang hampir telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit kayu.

Si manusia, yang adalah Cio San, sedang sibuk menangkis batu-batuan besar yang mengarah kepadanya. Ledakan dalam goa itu sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh terowongan. Untunglah dengan ilmu silatnya ia berhasil 'menghadapi' bebatuan-bebatuan itu.

Apalagi kini Cio San 'buta' karena cahaya matahari yang menerobos masuk. Terowongan itu kini telah menjadi lapangan terbuka. Dan sinar matahari yang tajam itu telah menyilaukan mata Cio San. Ia menutup matanya sekuatnya. Tetapi sakit yang muncul akibat cahaya yang masuk tiba-tiba membuatnya merasa tersiksa sekali.

“Ada manusia aneh...lihat ada manusia aneh....” terdengar seruan orang-orang itu.

Begitu batu-batu berhenti berhamburan dan air telah surut, Cio San dengan geram bertanya,
“Siapa kalian? Dan apa yang telah kalian perbuat?” ia masih tidak dapat membuka matanya.

“Justru kami ingin bertanya siapa kau? Bagaimana bisa berada di dalam sini?” tanya salah seorang dari rombongan itu.

Cio San ingat bahwa ia telah menjadi kejaran orang-orang Butongpay. Oleh karena itu ia menjawab, “Aku tidak tahu siapa namaku, tetapi aku tinggal di dalam goa itu sudah lama sekali sejak aku kecil. Dan ular ini adalah sahabat baikku” Cio San sengaja berkata bahwa ular itu adalah sahabatnya karena tadi ia mendengar mereka menyebut-nyebut tentang Kim Liong Ong [raja naga emas]. Pastilah yang mereka maksud adalah Kim-ko nya itu.

“Kau tidak tahu siapa kami?” tanya salah seorang, tapi segera ia sadar bahwa orang yang ditanya telah hidup sekian lama di dalam goa. Tentulah tidak tahu keadaan dunia luar. Segera ia menyambung lagi, “Kami adalah Tionggoan Ngo Koay [5 orang aneh tionggoan]”  jawabnya dengan bangga.

“Kenapa kalian membongkar tempat tinggalku?” Cio San bertanya dengan polos.

Sebenarnya kelima orang itu adalah orang-orang yang sangat ganas dari kaum Hek-to [golongan hitam]. Akan tetapi melihat keanehan bahwa ada orang yang tinggal bersama perut bumi bersama seekor ular, mau tak mau mereka agak heran juga. Sehingga kegarangan mereka agak berkurang.

“Kami telah mengincar ular itu sejak lama. Kami menyelidiki jejak-jejaknya. Dan mengubernya sampai kemari. Tak tahunya ia tinggal disini bersama seorang manusia” jawab salah seorang.

“Buat apa kalian mengincarnya?” tanya Cio San lagi.

“Kau pasti tak tahu. Kulitnya sangat mahal. Jauh lebih mahal daripada emas. Isi jeroan tubuhnya sangat berkhasiat menambah tenaga dalam.” jawab salah seorang

“Kau mnggirlah dari situ, dan biarkan kami menghabisi ular itu” sambil berbicara begitu, salah satu yang berbicara itu lalu lompat menyerang Cio San.

Menerima serangan ini, Cio San bersikap tenang. Ia menghadapinya dengan telapak tangan kanannya. Pertemuan kedua telapak itu sangat dahsyat sehingga keduanya mundur beberapa tombak. Namun sang penyerang mundur sambil memuntahkan darah sedangkan Cio San hanya mundur selangkah, sambil tersenyum pula.

Ia senang karena ilmu yang dilatihnya di dalam goa ternyata hebat juga. Ia lalu berkata, “takkan kubiarkan kalian mengganggu sahabatku walau seujung kuku saja” katanya kereng.

Sebenarnya penyerang itu bukanlah orang yang lemah. Justru ia sangat kuat, dan silatnya tergolong kelas atas. Hanya saja ketika menyerang Cio San ia menggunakan ¼ tenaganya karena ingin cepat-cepat membunuh Cio San. Dengan ilmunya, Cio San bisa membalikan tenaga penyerang itu kepada dirinya sendiri.

Melihat kenyataan bahwa sahabat mereka terluka hanya dalam satu jurus saja, ke empat orang lainnya langsung menyerang mereka dengan menggunakan serangan-serangan yang ganas. Cio San kini hanya dapat mengandalkan pendengarannya saja, dan hanya bisa bergerak menghindar. Ia memang belum mau menghadapi langsung serangan-serangan itu karena ingin mempelajari dulu. Memang ada sebuah sifat 'aneh' di dalam diri Cio San. Ia kini menjadi sangat tertarik mempelajari ilmu silat.

Setelah 5 jurus, Cio San sudah paham seluruhnya. Ia kini balik menyerang dengan menggunakan jurus-jurus mereka sendiri.

“Gila...darimana anak ingusan ini mencuri jurus-jurus kita?”

Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.

Dari 5 jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Butongpay.

Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya, “bagiamana mungkin” seru mereka.

Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus pamungkas mereka, “Memindahkan Gunung Bersama-sama”. Jurus ini sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Tetapi walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat juga.

Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa menerima serangan gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula tangannya telah menyambut kedelapan telapak itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi 'braaaaaakkkkk' yang keras, dan kata-kata “mampus kau ular jelek”

Seketika itu pemusatan pikiran dan tenaga yang dilakukan Cio San buyar. Ia tahu bahwa ada orang yang telah menyerang dan membunuh ular sahabatnya itu di belakangnya. Ketika pemusatan itu buyar, kedalapan tapak yang menyalurkan tenaga itu menghantam tubuhnya.

Padahal sebenarnya keempat orang itu telah terhisap tenaganya oleh Cio San. Justru ketika keempat tenaga yang baru terhisap itu akan dilepaskan kembali oleh Cio San untuk menyerang mereka sendiri, konsentrasinya pecah. Maka dengan dahsyat keempat tenaga dalam yang sudah dilatih bertahun-tahun itu menghantam tubuh Cio San.

Memang ilmu silat Cio San sudah sangat hebat. Tetapi pengalamannya dalam pertarungan masihlah sangat sedikit. Karena kurang pengalaman inilah Cio San menjadi kurang perhitungan dan kurang awas.

Tubuhnya mencelat beberapa tombak, ia pun muntah darah. Karena walaupun tubuhnya memiliki tenaga sakti hasil latihan dan khasiat jamur Sin Hong, justru tenaga itu menghantamnya balik karena salah perhitungan. Ia terkapar dari mulutnya keluar darah segar.

“Mampus kau anak ingusan. Susullah temanmu si ular ini menghadap langit barat [mati]” kata salah seorang.


“Untung kau cepat turun tangan Yap-heng, kalau tidak kami semua ini sudah jadi santapan ular juga”

Yang tidak Cio San ketahui, dan juga kebanyakan orang-orang Kang-ouw, ialah bahwa Tionggoan Ngo Koay ini tidaklah berjumlah 5 seperti julukan mereka. Melainkan 6. Orang yang dipanggil Yap-heng itu adalah anggota mereka yang tersembunyi, dan tidak pernah terlihat. Ia selalu mengiringi Tionggoan Ngo Koay itu. Dan akan bergerak membantu mereka jika mereka terdesak. Intinya tugas utama orang she [marga] Yap itu adalah untuk membokong musuh-musuhnya.

Itulah sebabnya Kelima orang aneh berkibar namanya dalam dunia persilatan. Mereka menggunakan kelengahan musuh untuk memenangkan pertarungan. Ketika melihat bahwa walaupun membokong Cio San pun, ia tidak bisa mengalahkannya, orang she Yap itu menggunakan ular sebagai titik kelemahan Cio San. Dan benar saja, saat konsentrasi Cio San buyar ketika mengetahui bahwa ular itu terbunuh, tenaganya kini membalik menyerang dirinya sendiri.

Urusan-urusan licik seperti ini adalah memang keahlian orang she Yap itu. Dan Cio San yang polos dan berhati jujur seperti itu adalah korbannya yang kesekian ratus.

Cio San yang terlempar beberapa tombak dan bahkan tubuhnya menghujam ke bebatuan itu memang seperti telah mati. Ia tidak sanggup bergerak lagi. Tetapi kesarannya masih pulih seutuhnya. Ia bisa tahu apa yang telah terjadi. Keempat tenaga musuh dan juga tenaga dalamnya sendiri telah menyerang tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa selamat dari hal sedahsyat itu. Memang ternyata khasiat jamur Sin Hong itu adalah melindungi seleuruh organ tubuh. Tapi Cio San sendiri tidak paham akan hal itu.

Walaupun kini tubuhnya tak mampu digerakkan sama sekali, Cio San berusahan keras 'menjinakkan' tenaga yang sekarang berada di dalam tubuhnya. Beruntunglah Cio San ia pernah belajar Thay Kek Kun. Ilmu inilah yang juga melindungi dirinya dari serangan tenaga dahsyat tadi. Tetapi karena Cio San menggabungkannya dengan ilmu silat Tionggoan Ngo Koay tadi, maka Thay Kek Kun menjadi tidak murni dan kotor, Apalagi ilmu silat Kelima orang aneh itu adalah ilmu silat golongan hitam. Thay Kek Kun menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Padahal walaupun pemusatan pikirannya buyar, denga Thay kek Kun yang telah dipelajarinya, seharusnya otomatis melindungi tubuhnya, dan mampu menghalau tenaga serangan keempat orang itu. Cio San dengan kecerdasaannya akhirnya memahami hal ini.

Di dalam kondisinya yang kritis itu, pikiran dan kecerdasannya tidak hilang. Ia lalu mengererahkan tenaganya yang tersisa untuk mengatur jalan darah dan jalan nafas. Ini ia lakukan sambil tergeletak, karena memang ia tak mampu bergerak sama sekali.

Orang yang dipanggil Yap-heng itu memriksa tubuh Cio San. Rupanya ia berfikir bahwa Cio San telah mati, ia lalu berkata, “Bangsat ingusan ini sudah mati. Ayo kita garap ular itu”

Mereka kemudian berduyun-duyun mulai bekerja memotong-motong ular itu. Dagingnya mereka ambil. Darahnya mereka tampung. Lalu organ bagian dalam ular itu juga mereka ambil. Cio San walau tak dapat melihat, tapi ia bisa mendengar semuanya.

Memang setelah ledakan besar yang menghancurkan goa itu, pendengarannya agak tidak berfungsi dengan semestinya. Ini mungkin karena telinganya yang terlalu peka menjadi terluka, karena ledakan sebesar itu. Itulah sebabnya kenapa Cio San tidak bisa mendengar bahwa ada orang lain selain kelima orang musuhnya itu. Apalagi ditambah dengan 'tugas' orang ke enam itu adalah untuk bersembunyi dan membokong secara tiba-tiba sehingga ia memang harus bergerak dengan sangat hening.

Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta suara tertawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.

Bahkan mereka memasak daging itu pun disitu. Sambil makan mereka mengobrol,

“Ah memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm lezaaaaatttt....”

“Iya memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali menangkapnya”

“Eh Yap-heng, coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...”

Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata,

“Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekutan tubuh bagian luar Gwa-Kang. Bagian orang yang seperti kita, Gwa kang ini berguna untuk meniduri perempuan” 

Terdengar suara tawa bergema

Ia melanjutkan lagi, “Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. Bagian jeroan tubuhnya, terutama jantungnya akan menambah tenaga dalam kita berlipat-lipat. Sedangkan empedunya akan membuat kita kebal dengan berbagi jenis racun. Dan tak ketinggalan adalah kulitnya. Kulitnya ini jauh lebih mahal daripada emas. Karena selain sangat indah, juga tahan segala macam jenis senjata. Bahkan juga tenaga dalam sekalipun. Ada lagi yang unik. Dibagian dalam kulitnya itu, ada sebuah lapisan kulit yang sangat tipis. Sangat berguna untuk membuat topeng yang sangat halus.”

Terdengar suara salah seorang menimpali,

“Oh jadi itulah sebabnya engkau menyuruh kita untuk bersabar menangkapnya, Yap-heng? Sampai ia berganti kulit?”

“Benar sekali. Jika ia berganti kulit, maka yang seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak terlindungi. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian menunggu bertahun-tahun. Karena ular ini hanya berganti kulit 5 tahun sekali setiap musim gugur. Ia selalu mencari tempat yang dingin, karena saat berganti kulit, tubuhnya akan menjadi panas sekali. ia bisa mati jika berganti kulit saat terkena sinar matahari” jawab orang she Yap itu.

Mendengar itu Cio San menjadi paham. Ternyata ular itu mmasuk ke dalam terwongan goa itu untuk mencari tempat yang aman untuk tinggal. Juga sebagai persiapan untuk mengganti kulit. Karena saat mengganti kulit ia berada di dalam keadaan yang sangat lemah sehingga tidak bisa melindungi diri sendiri. “Sungguh kasihan engkau Kim-ko....” Cio San hanya bisa menangis.

Entah berapa jam lamanya keenam orang itu makan dan mengobrol disitu. Akhirnya setelah puas mendapatkan apa yang mereka cari, mereka pun pergi dari situ. Nasib Cio San pun sudah tidak mereka perdulikan, karena menganggapnya sudah mati. Mereka bahkan tidak memeriksanya, karena telah terdorong untuk segera menikmati dan  merasakan khasiat ular itu.

Cio San masih belum sanggup untuk menggerakkan tubuhnya. Ia akhirnya tertidur pulas di situ sampai keesokan paginya. Saat ia tersadar matahari sudah tinggi. Rasa sakit di matanya sudah berkurang. Ia pelan-pelam membuka matanya. Masih dengan hati-hati karena khawatir akan silau dan sakit lagi. Ketika perlahan-lahan ia sanggup membuka matanya, ia senang sekali. Walaupun masih agak silau, dan perih setidaknya ia kini bisa melihat walaupun masih terbatas.

Ia mencoba menggerak-gerakan tubuhnya. Tubuhnya kini sudah mulai bisa ia gerakkan namun rasanya masih sakit sekali. Luka dalamnya pun masih belum sembuh. Dengan perlahan ia bangkit. Berjalan dengan gontai menuju letak si ular sahabatnya tadi.

Alangkah sedihnya ketika melihat yang tersisa hanya tulang belulang sang ular belaka. Cio San jatu berlutut menangis tersedu-sedu. Hatinya sedih sekali melihat kenyataan ini. Lama ia duduk terpekur memandangi tulang belulang itu. Bau amis yang ditimbulkan sudah tak diperdulikan Cio San lagi.

Daerah yang dulunya berupa terowongan dalam perut bumi, kini sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya berupa daerah lapang yang kini dialiri sungai kecil. Cio San lalu berusaha menguburkan tulang belulang itu. Lama sekali baru ia berhasil menggali lubang dan mengumpulkan tulang-tulang itu.

Itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, dan ia tak sanggup mengerahkan tenaga dalamnya.  Ketika akan meletakan tulang itu ke dalam lubang, ia menemukan sepotong kulit sang ular yang nampaknya tidak terbawa oleh Tioanggoan Ngo Koay.

“Hanya ini yang tersisa dari tubuhmu Kim-ko...Bolehkah aku menyimpannya sebagai kenang-kenangan?” tanya Cio San pelan sambil mengelus-elus tulang tengkorak kepala sang ular.

Alangkah kagetnya Cio San ketika terdengar suara derik ular itu berbarengan dengn hembusan angin. Cio San terhenyak dan melihat bahwa suara itu keluar dari derik ekor si ular. Segera didekatinya bagian ekor itu dan melihatnya. “Apakah masih bergerak? Tidak mungkin kalau masih hidup....” pikir Cio San dalam hati.

Lama ia memperhatikan akhirnya Cio San tahu. Ternyata suara derik itu lahir dari hembusan angin yang melewati ronga-rongga bagian ekor ular itu.

“Terima kasih Kim-ko.....” Cio San menganggap suara derik itu sebagai bentuk ijin yang diberika sang ular kepada Cio san untuk membawa kulitnya yang tersisa sebagai kenang-kenangan.

Cio San baru berhasil menguburkan tulang sang ular ketika sudah hampir sore hari. Ia lalu bersujud 3 kali, dan mendoakan ular itu. Kemudian ia teringat dengan kuburan A Liang. Cio San lama mencari-cari ternyata kuburan itu tidak ia temukan. Mungkin telah ikut hancur bersama runtuhnya goa itu. Hatinya sedih sekali.

“Apa yang kini harus kulakukan? Tempat tinggalku sudah hancur berantakan. Nampaknya Thian tidak ingin aku hidup tenang, dan harus menghadapi dunia ini?” tanyanya dalam hati.

“Bagaimana aku bisa hidup tenang, sedangkan aku sedang menghadapi fitnah, dan juga kejaran murid-murid Butongpay?. Apakah aku harus tinggal disini selamanya? Itu juga tidak bijaksana karena pasti akan ada orang yang datang kesini.Bagaimana cara terbaik supaya aku bisa tenang?”

Ia lalu teringat perkataan orang she Yap, bahwa bagian dalam kulit sang ular terdapat lapisan yang bisa digunakan sebagai topeng. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin mencoba saja dulu. Jika ia bisa memiliki topeng yang bagus untuk melindungi jati dirinya, ia bisa tetap bersembunyi dari kejaran orang-orang Butongpay.

Cio San memperhatikan kuliat ular itu. Di bagian dalamnya memang terdapat sebuah lapisan yang tipis sekali. Pelan-pelan Cio San mengelupasnya. Ia memperhatikan lapisan itu, memang seperti kulit manusia. Cio Saan kaget sekali ketika kulit itu lengket dijari-jarinya dan tak bisa dilepaskan.

Dalam kebingungannya, Cio San mendengar sebuah benda jatuh. Ketika ia menoleh ke sumber suara, ternyata ada sebuah bungkusan tepat diatas kuburan sang ular. Ia melihat ke sekeliling mencoba mencari tahu siapa pelempar bungkusan itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Lama ia berkeliling di daerah sekitar situ untuk mencari tahu, tetapi ia tidak dapat menemukan siapa-siapa.

Cio San memutuskan untuk melikat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam bungkusan itu. Cepat-cepat Cio San membuka bungkusan itu dengan menggunakan tangan kirinya, karena jari tangan kanannya telah tertempel lapisan kulit itu.

Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu setel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan membacanya:

“Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk membentuknya. Jika terkena daging makhluk hidup maka lapisan itu akan menempel dengan kuat. Sifat lengketnya akan hilang jika kau mengunakan panas. Jika kau ingin membentuknya sesuai keinginanmu, gunakanlah api untuk membentuknya,

Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang-ouw”

Salam”

Hanya itu saja   isi surat itu. Cio San yakin pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Akhirnya ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya pasti mempunyai maksud yang baik terhadapnya.

Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting kayu yang berserakan di sekitar situ. Benar saja ketika didekatkan kepada api, daya lengket lapisan kulit itu pun berangsur-angsur menghilang.

Setelah itu dengan berani Cio San meletakan lapisan itu ke wajahnya setelah terlebih dulu membuat lubang untuk kedua matanya dengan menggunakan ujung kayu yang terbakar api. Ketika melihat pantulan bayangan wajahnya di sungai, Cio Sa kagum sekali. Wajahnya sudah berubah. Kini seperti lebih tua 10 tahun.

Lapisan itu seperti merubah bentuk tulang Cio San, dan juga warna kulit wajahnya. Dengan kayu terbakar tadi, ia juga membuat lubang hidung, serta mulut. Sisa-sia lapisan yang ada, dipotongnya juga dengan menggunakan kayu terbakar itu.

Ia kini telah berbeda wajah. Memang lebih jelek daripada wajah aslinya. Hidungnya sedikit bengkok. Bahkan ada kantung mata yang terbentuk di bawah wajahnya. Kulit wajahnya pun pucat sekali, seperti orang berpenyakitan.

“Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini...” pikirnya dalam hati.

“Terimakasih tuan penolong, cayhe [saya] akan selalu mengingat pertolongan tuan” teriak Cio San. Dia lalu bergegas menggunakan pakaian yang ada dalam bungkusan itu. Pakaian itu lengkap ada baju panjang, celana, dan juga pakaian dalam. Bahkan ada juga sekantong uang.

Walaupun tidak ada sepatu, Cio San bersyukur juga diberi pakaian berwarna biru muda itu. Cocok sekali ketika ia pakai. Tubuhnya yang tegap dan tinggi, membuat ia terlihat gagah sekali. Namun jika orang memperhatikan wajahnya, akan terlihat rupa yang kusam dan pucat seperti orang berpenyakitan.

Karena hari sudah sore, Cio San memutuskan untuk besok pagi saja ia pergi dari situ. Ia membuat api unggun di dekat kuburan si ular sahabatnya. Dan tidur di situ.

Besok pagi-pagi ia sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memberi hormat 3 kali di depan kuburan ular itu, dan juga di sebuah tempat yang dulunya berupa makam A Liang. Setelah itu dia berangkat. Entah kemana. Manusia datang dan pergi. Itulah kehidupan.

Related Posts:

Bab 10 Persahabatan Yang Aneh



Beberapa hari kemudian ular itu sudah pulih tenaganya. Serangan Cio San yang dahsyat di dalam mulut ular itu tidak sampai menyebabkan kematian. Tetapi jelas menguras tenaga ular itu. Selama beberapa hari, Cio San lah yang memberi makan ular itu dengan jamur dan ikan-ikan hasil tangkapannya.

Dasar memang khasiat jamur sakti itu, dan memang tubuh ular itu juga sangat kuat dalam beberapa hari lukanya sudah pulih. Cio San sampai terheran-heran melihat cepat pulihnya luka ular itu. Dia malah menganggap mungkin karena tenaga sakti ular itu yang menyembuhkannya. Padahal sebagian besar karena khasiat jamur sakti itu.

Setelah sembuh, ular itu menjadi sangat jinak kepada Cio San. Mungkin karena tahu bahwa ia telah diselamatkan oleh Cio San. Memang walaupun sudah sembuh, ular itu masih belum bisa menggunakan rahangnya. Oleh karena itu Cio San masih 'menyuapi' ular itu. Sambil mengelus-elus dengan lembut, bahkan mengajaknya bicara. Ular itu seperti mengerti perkataan Cio San.

Mungkin ular itu bukanlah jenis ular yang benar-benar liar. Akan tetapi dahulu mungkin pernah dipelihara orang. Dan orang yang bisa memelihara ular macam begini, jelas bukan orang sembarangan.

Memang dalam dunia Kang-ouw peliharaan-peliharaan macam begini bukanlah hal yang aneh. Ada pendekar-pendekar yang memiliki burung raksasa, atau ada yang memelihara harimau, dan lain-lain.

Cio San memang beranggapan bahwa ular ini mungkin adalah peliharaan pendekar yang sakti. Ini dilihat dari serangan-serangan ular itu yang seperti mengerti ilmu silat. Bisa saja ular itu memang diajari silat oleh pemiliknya. Berfikir seperti itu, Cio San malah senang sekali. Akhirnya kini dia memiliki teman yang bisa diajak berlatih silat nantinya.

Dan benar saja, ketika ular itu sudah benar-benar pulih mereka pun berlatih silat. Cio San sengaja berbicara bahwa mereka hanya berlatih saja dan bukan saling membunuh. Dan ular itu pun seperti mengerti maksud Cio San.

Mereka pun hidup seperti itu berbulan-bulan. Berlatih silat, makan, tidur, dan bermain bersama. Berlatih bersama ular semakin menambah kelincahan Cio San. Ia bahkan menciptakan gerak tubuh seperti ular, yang membelit, dan menyerang dengan cepat, dan terasa menempel di tubuh lawan.  Tubuh Cio San kini bahkan bisa menempel dan membelit tubuh ular itu. Tubuhnya bisa bergerak dengan cepat dan licin.

Ia juga menciptakan sebuah gerakan sakti yang diciptakannya dari gabungan gerak ular dengan inti Thay Kek Kun. Yaitu kedua kakinya diam disatu tempat, namun tubuhnya bisa miringdengan sangat miringbahkan melekuk-lekuk dan membelit, Persis seperti posisi ular yang menyerang. Ia menamakan kedua jurus itu sebagai 'Kim Coa Hoat' atau Ilmu Ular Emas.

Sebenarnya jurus-jurus itu bisa dikembangkan menjadi berbagi macam gerak dan langkah, dan Cio San paham dengan itu. Tetapi ia tidak melatihnya. Ia merasa, jika ia melatih sesuatu berdasarkan daya ingat, maka ia akan cepat lupa. Justru ketika ia tidak mengingat-ingat dan melatihnya, jurus-jurus yang ia keluarkan saat bertarung malah memiliki banyak kembangan dan perluasan.

Dengan pemahaman seperti ini justru kehebatan ilmunya semakin bertambah. Karena ilmu silatnya tidak dibatasi oleh jurus, atau ingatan terhadap gerak-gerak, namun berdasar pada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pertarungan. Ilmu seperti ini bahkan tidak memiliki batasan apapun.

Bergerak mengikuti alam. Itulah inti sari yang dipahami Cio San berdasarkan kecerdasan pemikirannya. Padahal itu juga dasar pemikiran Thio Sam Hong ketika ia menciptakan Thay Kek Kun. Sehingga jika dilihat dari gerakannya, sesungguhnya gerakan Cio San adalah gerakan dasar Thay Kek Kun. Tetapi kini menjadi jauh lebih cepat, lincah, dan juga ganas. Karena dicampurnya dengan gerakan silat sang ular sakti.

Begitulah 'persahabatan' aneh ini malah membuat Cio San semakin betah berada di dalam goa itu. Perilaku ular emas kini sangat jinak terhadap Cio San. Bahkan jika Cio San berbicara kadang ular itu menganggung atau menggeleng.



Hingga pada bulan ke 7 persehabatan itu,sesuatu yang aneh terjadi. Pada suatu malam ular itu menggeliat-geliat. Cio San yang saat itu telah tidur terbangun. Ia heran melihat perilaku sahabatnya itu. Ketika disentuhnya, badan ular itu panas sekali.

“Apakah ular juga bisa sakit demam?” begitu pikir Cio San.

Walaupun mengerti tentang pengobatan, dia belum pernah merawat orang sakit demam. Apalagi ular yang sakit demam. Ular itu terus menggelit-geliat. Dari tubuhnya keluar bau wangi yang bercampur dengan bau amis.

“Ada apa Kim-ko?”, tanya Cio San lembut. Ia memang memanggil ular itu dengan sebutan Kim-koko atat kakak Emas.

Ular itu hanya menggeleng-geleng, dan menggeliatkan badannya yang panjang. Suara derik kini mulai muncul. Tetapi ika biasanya suara derik itu muncul hanya dari ekornya saja, kini suara derik itu keluar dari seluruh tubuhnya.

“Ada apa ini?” pikir Cio San. Ia berputar berkeliling memeriksa badan sang ular.

Tak lama pertanyaannya terjawab. Sedikit demi sedikit, terlihat retakan di kulit si ular. Lalu retakan itu menjadi banyak. Ternyata ular itu sedang berganti kulit.

“Oh ternyata kau sedang berganti kulit, Kim-ko?. Bikin kaget saja..haha” Cio San menjadi lega. Memang ular itu sedang mengganti kulit.

Tetapi ada yang aneh. Jika biasanya ular berganti kulit, kulit yang baru sudah ada di dalam kulit yang lama. Akan tetapi ular ini tidak ada sedikitpun kulit baru di tubuhnya.

Ketika seluruh kulitnya tanggal, yang terlihat hanyalah dagingnya yang berwarna putih bersih.

“Hey kenapa begini Kim-ko? Apakah kau sakit hingga penggantian mu tidak sempurna?” tanya Cio San. Seperti mengerti, ular itu malah menggeleng-geleng.

“Tidak sakit? Berarti memang begitukah cara pergantian kulitmu?” Tanya Cio San lagi. Kali ini ular itu mengangguk-angguk.

Hawa tubuh ular itu panas sekali. Bahkan sanggup memanaskan air tempat ia berbaring dan merendam. Malah sampai bisa menguapkan air itu.

“Hebat sekali” pikir Cio San. Ia kagum dengan keagungan Tuhan yang menciptakan hewan-hewan seperti ini. Belum pernah ia melihat yang seperti ini.

Tubuh ular itu panas sekali. Warna dagingnya yang putih, malah hampir tembus pandang, menampakkan urat-uratnya. Cio San kaget dan kagum sekail. Baru kali ini dia bisa melihat urat-urat dan jalan darah seekor ular.

Otaknya yang cerdas dan pikirannya yang sangat terbuka, merangsangnya untuk memperhatikan jalan darah itu.
Cio San memperhatikan terus. Melihat dan mempelajari jalan darang sang ular. Bahkan ia hampir bisa melihat tulang-tulang ular itu. Dagingnya ternyata tipis sekali. Mungkin karena itulah ular itu memiliki kulit sisik yang sangat tebal yang bahkan tidak bisa ditembusi oleh tenaga dalam.

“Tuhan memang Maha  Segalanya...” pikir Cio San. Matanya tak lepas mempelajari susunan tulang dan jalan darah ular itu. “Kim-ko bolehkah aku memperhatikan tubuhmu? Memepelajari tubuhmu?” tanya Cio San.

Sang ular hanya mengangguk-angguk pelan. Sepertinya ia kesakitan dan sangat kepanasan. Uap-uap air yang dihasilkan oleh air-air yang dipanaskan oleh tubuhnya semakin memenuhi terowongan goa itu.

Cio San terus mempelajari tubuh sahabatnya itu, sambil terus menyiramkan air ke tubuh ular itu agar tidak terlalu kepanasan. Si ular nampaknya merasa tertolong juga dengan perbuatan Cio San itu.

Setelah lama mempelajari, akhirnya Cio San paham juga seluruh seluk beluk ular itu. Dan sang ular pun kini sudah mulai membaik. Cio San tak henti-hentinya menyirami sekujur tubuh ular itu. Walaupun sang ular sudah berendam di dalam sungai, karena tubuhnya besar dan panjang membuat ada beberapa bagian tubuhnya yang tidak terkena air.

Melihat keadaan ular yang semakin membaik, Cio San senang sekali. Selain karena sahabatnya itu kini tidak menderita lagi, ia kini menemukan pengetahuan baru. Ia kini mengerti tentang jalan darah ular, serta susunan tulang-tulangnya. “Pantas ular bisa menggeliat dan melingkar-lingkar dengan sangat lentur. Itu karena ia memiliki jalan darah yang berbeda dengan makhluk lain serta tulang-tulang yang sangat lemas.” pikir Cio San


Setelah pergantian kulit itu selesai, dan tubuh sang ular mulai mendingin, akhirnya sang ular itu bisa tidur dengan pulas. Melihat ini Cio San hanya tersenyum.

“Selamat tidur Kim-ko. Besok kita bermain lagi” Sambil berkata begitu, ia menepuk-nepuk kepala sang ular. Lalu berbaring dan tidur di sebelahnya.

Related Posts:

Bab 9: Tahun Berikutnya Di Dalam Goa




Sudah setahun lebih Cio San tinggal di dalam perut bumi. Ia terus berlatih silat, bukan karena ingin kuat, namun karena tiada hal lain yang bisa dikerjakannya. Akhirnya ia memeras otak dan keringat untuk melatih jurus-jurus silatnya, supaya bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang menggelisahkannya.

Masalah kematian orang tuanya, kematian suhunya, kematian A Liang, peracunan Lau Ciangbunjin, dan hilangnya kitab sakti milik A Liang dari dalam kubur kosongnya di Butongsan. Adalah semua hal yang menggelisahkan hatinya.

Ia harus membersihkan namanya dari segala tuduhan. Ia yakin saat ini ia sudah dituduh berkomplot dengan A Liang membunuh suhunya, meracuninya Lau Ciangbunjin, serta mencuri kitab sakti itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang amat sangat berat baginya. Memikirkan hal ini ia malah lebih memeilih untuk tinggal saja di dalam goa itu selama-lamanya.

Suatu hari ketika sedang memakan ikan untuk sarapan paginya, telinga Cio San mendengar sesuatu. Suara air sungai berbeda dengan biasanya. Kini pendengarannya sudah sangat tajam, sehingga suara berbeda sedikit saja ia sudah bisa merasakan. Cio San memperhatikan ketinggian air dan tahulah dia bahwa banjir akan segera datang lagi.

Berbeda dengan dulu kini ia sudah lebih siap. Segera ia melompat tinggi lalu memukul langi-langit goa itu. Tidak begitu keras. Namun lubang yang ditimbulkan sebesar dua kali kepalanya. Ia lalu mengikat erat-erat semua peralatan yang dimilikinya seperti batu api, pisau, dan lain-lain ke tubuhnya. Lalu menunggu datangnya banjir itu.

Banjir yang datang memang agak berbeda kali ini. Kini datangnya bagai air bah. Cio San kaget juga. Karena banjir yang dulu dialaminya datang tidak secepat dan setiba-tiba ini. Secara kebetulan, timbul di pikirannya untuk mencoba ilmu yang selama ini dilatihnya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu pemindahan tenaga. Yaitu jika mendapat serangan tenaga dari luar, tenaga itu bisa dihisap dan malah dipakai untuk menyerang lawan.

Begitu air bah datang, bhesi [kuda-kuda] Cio San sudah siap. Ia menyambut air bah itu dengan gerakan memutar ke belakang. Yaitu gerakan mengikuti arah air itu. Gerakan itu sangat cepat, secepat serangan air bahw di dalam terowongan itu.

Begitu Cio San berputar, secara aneh tenaga putaran tubuhnya membuat air bah itu ikut berputar mengitar tubuhnya. Pemandangan itu indah sekali. Air mengelilingi tubuhnya seperti sebuah lapisan yang menyelimuti sekujur badannya. Bentuknya berputar-putar sangat indah.

Cio San lalu memukulkan kedua tangannya. Pukulan itu ia lakukan sambil berputar. Ketika badannya berhenti berputar, air bah itu seperti mandeg dan malahan mundur ke belakang.

Betapa dahsyat tenaga itu sampai bisa memukul mundur air bah. Tiada seorang pun yang bisa melukiskannya. Seluruh isi gua bergetar. Bahkan dinding goa itu banyak yang pecah-pecah. Begitu air bah terpukul mundur, segera air bah itu maju kembali dengan lebih cepat karena mendapat dorongan dari deras air di belakangnya. Cio San segera bersiap-siap lagi menerimanya.

Saat air bah datang lagi, kembal Cio San melakukan hal yang sama. Ia berputar lagi, hanya satu putaran saja. Lalu memukulkan lagi tangannya. Air bah mundur lagi beberapa tombak. Suara ledakan terdengar lagi. Dinding batu pecah berantakan lagi.

Lalu air bah meluncur lagi lebih deras dari sebelumnya. Cio San melakukan hal yang sama lagi. Begitu terus sampai beberapa kali.

Ia tertawa senang. Ia kini menemukan hal baru lagi. Jika seseorang di'keroyok' dari depan dan belakang, maka ia bisa menghasilkan tenaga serangan yang jauh lebih besar. Contohnya ada pada air bah itu.

Ketika air bah itu dipukul Cio San, air itu bergerak mundur. Tetapi karena menerima dorongan dari arus di belakangnya, maka air bah itu maju menjadi lebih cepat. Pemahaman ini hanya muncul sekelebat di dalam kepala Cio San, dan ia sangat senang menemukan lagi hal baru.

“Berdasarkan gerak air ini, aku bisa membuat jurus baru” Bagitu ucapnya dalam hati.

Karena khawatir goa ini bisa hancur karena perbuatannya menantang air bah, Cio San memilih untuk berhenti. Ia kini tak lagi berputar dan memukulkan tangannya kepada serangan air itu. Tapi ia kini berputar dan bergerak mengikuti arus air. Serangan air yang semakin lama semakin dahsyat itu malah membuat gerakannya menjadi lembut dan lentur.

Ia kini tidak lagi menantang air, namun bergerak mengikuti liukan itu. Malah kini Cio San merasa enteng dan ringan mengikuti alur tenaga air bah itu. Ketika hampir menabrak tembok, ia menggunakan tenaga arus itu untuk melompat tinggi.

Kali ini ia tidak perlu menggunakan tenaganya sendiri untuk melompat. Ia menggunakan kekuatan arus itu untuk melompat tinggi. Cio San kembali menemukan ilmu baru. Bergerak dan melompat menggunakan tenaga serangan dari luar.

Setelah melompat tangannya mencengkeram dinding batu. Ia lalu bergelatungan menggantung di langit-langit dengan menggunakan cengkeramanya. Ia mencari lubang yang sudah tadi dibuatnya. Lalu meletakkan mulut dan hidungnya di lubang itu. Kejadian yang dulu terulang kembali.

Ia harus bertahan bergelantungan lagi sampai air banjir itu berhenti.

Sesudah beberapa hari, air itu mulai surut dan semakin surut. Cuma kali ini lebih cepat surutnya daripada banjir yang pertama. Cio San menghitungnya hampir 7 hari. Begitu semuanya selesai ia kini merasa bahagia. Kedatangan air bah yang tiba-tiba itu memberinya ide-ide baru untuk menciptakan ilmu silat.

Bahkan secara tidak sengaja, ia juga telah melatih daya cengkeramannya. Tujuh hari bergelantungan melawan air bah hanya menggunakan cengkeramannya, membuat daya cengkeramannya meningkat berkali-kali lipat. Apalagi Cio San terus mengalirkan chi [tenaga dalam] nya kedalam kedua cengkeramannya itu sepanjang 7 hari ini.

Sungguh hebat Cio San, setiap kejadian yang terjadi padanya, bisa membuatnya menangkap intisari makna kejadian itu, dan malah menggubahnya menjadi ilmu silat.

Di dunia ini juga kau sudah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu, maka pasti akan terjadi. Entah itu kau suka atau tidak. Sebaliknya, jika kau ingin sekali melakukan sesuatu, tetapi ternyata kau tidak ditakdirkan untuk itu, ya tetap tidak akan kejadian.

Kata orang bijak, manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Tetapi jika nasibmu memang bukan ditakdirkan menjadi kaisar, mau jungkir balik sampai kiamat pun kau tidak akan menjadi kaisar.

Begitulah rahasia Tuhan, yang kita sulit memahaminya. Tetapi harus disadari bahwa tugas manusia itu bukan untuk memahami Tuhan. Tetapi untuk menjalani apa yang sudah digariskanNya dengan penuh rasa syukur dan bahagia.

Bukankah jika kita sudah memahami ini, amka dunia akan lebih cerah?

Cio San tanpa disadarinya sebenarnya sudah mengerti tentang pemahaman ini. Ia menjalani semua kejadian dengan hati lapang dan pikiran terbuka. Akhirnya ia malah bisa mengambil makna dan menciptakan hal hal baru.

Kalau diibaratkan penyair, jika mengalami banyak kejadian, pastilah ia menangkap makna itu dn menjadikannya syair puisi.
Kalau diibaratkan pemain musik, pastilah ia menjadikan kejadian dan pengalamannya menjadi lagu yang merdu dan indah.

Kalau pesilat, maka pastilah juga ia menciptakan ilmu-ilmu silat melalui kejadian dan makna yang bisa ia tangkap. Karena itulah ilmu silat itu selalu berkembang semakin luas dan hebat. Karena ilmu silat tidak lahir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan.

Memang banyak sekali orang yang beruntung belajar ilmu silat dari guru atau menemukan kitab-kitab sakti. Namun bukankah guru pun belajar dari gurunya. Gurunya pun belajar dari gurunya. Begitu terus runut keatas sampai pada pencipta ilmu silat itu.

Begitu juga dengan kitab sakti. Pastilah ada orang yang menciptakan ilmu-ilmu sebelum ia menuliskannya ke dalam kitab.

Manusia diberkati bakat oleh Tuhan agar mampu bertahan hidup, dan berguna bagi sesamanya. Tuhan memberkati manusia dengan kejadian-kejadian dan peristiwa agar manusia bisa terus belajar memperbaiki hidupnya agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.


Sudah hampir dua tahun Cio San hidup di dalam goa ini. Ilmu-ilmu yang ia ciptakan pun semakin banyak. Terkadang tanpa melalui sebuah peristiwa pun, Cio San bahkan bisa menciptakan jurus jurus. Mendengar arus air saja ia malah bisa menciptakan jurus. Melihat batu ia bisa menciptakan jurus.

Ini tidak lah mengherankan. Orang jika sudah tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain hanya satu hal saja, pastilah akan mencurahkan hatinya ke satu hal itu.

Jika kau terdampar sendirian di pulau bersama sebuah seruling sudah pasti kau akan belajar memainkan seruling itu. Setelah bisa kau akan memainkannya terus menerus. Malahan kau akan menjadi hebat dalam bermain seruling. Karena seluruh hidupmu tidak ada yang kau kerjakan selain bermain seruling.

Begitu juga Cio San. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukannya di dalam goa yang gelap gulita itu. Selain berlatih silat, dan mengembangkan kemampuan tubuhnya. Memang terkadang ada rasa bosan dan Cio San hanya malas-malasan dan tidur-tiduran saja. Tetapi panggilan hatinya selalu memberinya semangat bahwa ia bisa menciptakan banyak hal baru dan menggunakan sisa hidupnya untuk hal yang berguna.

Ia memang tidak ada keinginan untuk keluar dari dalam goa itu. Tetapi jika harus duduk diam saja tidak melakukan apa-apa juga malah membuat ia semakin bosan dan malahan ingin keluar. Cio San sudah memutuskan untuk tinggal saja di situ. Justru karena ada kegiatan belajar silatlah, ia betah tinggal disitu.

Dua tahun ini kekuatannya silatnya sudah sangat pesat. Gerakannya sangat lincah dan cepat. Kekuatan pukulannya sangat dahsyat. Bahkan jika ia mau ia bisa menghancurkan seluruh isi gua itu. Pendengarannya sangat tajam. Segala jenis suara kecil apapun itu bisa di dengarnya. Pandnagn matanya sudah sangat terbiasa di dalam kegelapan.

Kekuatan tubuhnya kini sanagt kuat. Khasiat jamur Sin Hong memang sangat dahsyat. Di umurnya yang kini sekitar  16 tahun, ia sudah menjadi orang yang sangat hebat ilmu silatnya. Jika ia turun ke dunia ramai, maka sebenarnya pantaslah nama Tayhiap disandangkan pada namanya.

Tapi Cio San sama sekali tidak menyadari bahwa kehebatan ilmunya sudah sangat pesat sekali. Ia hanya menikmati saja waktunya saat berlatih. Menikmati kesehatan tubuhnya.

Menikmati. Bukankah kata itu jarang sekali kita rasakan? Kita bekerja siang malam, namun hasilnya jarang sekali kita nikmati.

Hari ini Cio San sedang membuat pedang-pedangan dari ranting kayu yang ditemukannya. Ia ingin belajar memainkan pedang. Saat ini ilmu yang ia ciptakan melulu adalah pukulan dan tendangan. Saat sedang membuat pedang ia mendnegarkan suara aneh lagi.

Kali ini bukan deras air bah. Bukan juga suara ikan-ikan di dalam sungai. Sesuatu bergerak di dalam sungai. Bentuknya sangat besar. Ia bergerak dari arah air terjun menuju kemari.

Apakah ada orang yang datang? Cio San lalu berlari menuju arah suara itu, Gerakannya lincah. Ia melompat-lompat bagai terbang. Hatinya senang sekali jika ia bisa bertemu manusia lagi.

Alangkah kagetnya ketika ia sampai pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah sebuah ular yang sangat besar. Panjangnya mungkin sepuluh tombak. Kepalanya sebesar tubuh laki-laki dewasa.

Bulu kuduk Cio San berdiri. Baru kali ini ia bertemu ular sebesar ini. Dulu saat di 'pengasingan' di atas puncak Butongsan ia sering menangkap ular untuk dijadikan santapannya. Namun bertemu ular sebesar ini........

Sekujur tubuh Cio San serasa lemas. Ular itu pun kaget melihat kedatangan Cio San. Ia lalu memasang posisi menyerang. Kepalanya berdiri tegak. Tubuhnya meliuk-liuk. Ekornya mengeluarkan suara derik yang sangat bising.

“Masa aku harus mati dibunuh ular. Aku tidak mau menjadi makanan ular”

Pikiran seperti itu memberinya semangat baru. Ia lalu menyalurkan chi ke sekujur tubuhnya bersiap-siap menghadapi segala yang terjadi.

Ular itu lalu menyerang. Ia mamatuk cepat sekali. Cio San kaget sekali. Inilah awal pertama kali ia bertarung dengan menggunakan ilmunya. Musuh pertamanya pun tidak tanggung-tanggung, sebuah ular raksasa.

Cio San berhasil menghindari patukan itu dengan bergerak ke samping. Kepala ular hanya mematuk tanah. Namun segera ekornya menyerang pula. Suara bising dari ekornya membuat Cio San sudah mengerti gerak serangan itu. Tapi tak urung dia kewalahan juga.

Ia seperti melawan dua kepala ular. Yang satu kepala sebenarnya, yang satunya lagi ekornya. Serangan ekor dan kepala itu oun sangat cepat. Cio San hanya menghindar-menghindar saja.

Setelah merasa mampu menghindari serangan ular itu, kini timbul kepercayaan diri yang besar di dalam dirinya. Ia malah tertarik untuk mempelajari gerakan ular itu. Cio San terus menghindari serangan kepala dan ekor sambil memperhatikan gerak tubuh ular.

Ada kekaguman tersendiri yang ditimbulkan oleh ular itu. Kulitnya berwarna emas yang sangat indah. Gerakan tubuhnya lincah dan gesit untuk tubuh sebesar itu. Bahkan gerakan serangannya pun menyerupai serangan-serangan dalam teori ilmu silat.
Ketika diserang, Cio San mencoba menghindar lagi ke samping dan memukul leher ular itu. Gerakan serangan ular dan pukulan balasan Cio San ini sangatlah cepat, bahkan mata seorang ahli silat pun susah untuk melihat ini.

Kaget sekali Cio san ketika mengetahui bahwa kulit ular itu sungguh keras seperti logam. Cio San bergerak menggunakan tenaga dorongan dari ular itu untuk membumbung tinggi. Ia melesat ke arah kepala ular itu. Sebuah tendangan berputar yang ama cepat dilakukannya ke arah kepala, namun ular itu berhasil menghindar.

Kagum sekali Cio San. “ular ini seperti mengerti ilmu silat” pikirnya. Ia malah senang sekali. Akhirnya menemukan juga lawan latih tanding. Walaupun itu sebuah ular besar yang menakutkan.

Begitu ular itu berhasil menghindar, ia malah memutur tubuhnya kebelakang, dan kini menggunakan ekornya untuk menyerang Cio San. Melihat datang serangan ekor itu, Cio San berfikir untuk mencoba menangkisnya. Cio San menyerang tepat pada bagian tubuh yang mengeluarkan suara derik.

Getaran suara derik itu bertubrukan dengan tenaga tangkisan yang dilakukan Cio San. Ia malah terlempar ke belakang dengan tubuh tergetar.

“Sungguh hebat sekali” gumamnya. Ia tidak terluak dalam karena ada tenaga sakti yang melindunginya. Melihat serang ekor derik itu, Cio San sekali lagi mendapatkan ide baru.

“Serangan yang cepat ditambah getaran yang sangat kuat bisa menimbulkan serangan yang dahsyat”

Berdasarkan pemikiran yang timbul di kepalanya itu, Cio San langsung menciptakan pukulan baru. Ia menyalurkan  tenaga dalam ke telapak kanannya. Segera ia bergerak mencari kepala ular itu. Cio San berada di udara dan langsung berhadap-hadapan dengan ular itu.

Saat di udara memang sangat sulit bergerak, karena tidak memiliki pijakan. Tapi entah bagaimana bagaimana Cio San bisa berputar bagai gasing. Ketika ular itu menyerang gerak gasing itu seperti bergerak ke samping karena dorongan patukan kepala ular.

Begitu posisinya sudah berhasil berada disamping, Cio San melepaskan sebuah pukulan telapak. Namun pukulan ini tidak hanya berisi tenaga dalam semata. Cio San juga menggetarkan tangannya mengikuti derik ekor ular itu. Jadi di dalam serangan telapak itu, berisi juga serangan berupa getaran yang menyerupai derik ekor ular.

Cio San sengaja tidak mengincar mata ular itu, walaupun ia bisa. Ada perasaan kasihan terhadap ular yang indah itu. Ia memukul daerah di atas mata luar itu. Hasil pukulan itu sungguh hebat. Kepala itu terpukul mundur 2 tombak.

Melihat jurus pukulan 'baru'nya ini berhasil Cio San semakin bersemangat. Ular yang kena pukul itu kini semakin marah. Kepalanya mematuk-matuk dan ekornya menyerang secara bersamaan. Cio San yang melihat ini memperhatikan dengan seksama gerakan ular itu.

Ia ingin mempelajari gerakan serangan ular itu. Sambil menghindar Cio San memperhatikan terus serangan ekor dan kepala ular itu. Sungguh dahsyat. Air berdeburan dimana-mana. Suara derik ekor ular ditambah suara deburan air terjun semakin membuat suasana di dalam terowongan itu hingar bingar.
Cio San bergerak lincah ditengah liukan tubuh ular. Kadang ia menangkis serangan dengan pukulan barunya itu. Sang ular terpukul mundur untuk kemudian menyerang lebih ganas lagi. Cio San masih menikmati pertempuran ini. Kali ini seluruh pukulan dan tendangannya penuh terasa tenaga dalam yang dahsyat sehingga membuat sang ular kesakitan.

Walaupun memiliki kulit yang sangat keras, ular itu tetap tidak bisa meredam tenaga dahsyat Cio San. Bahkan bebatuan saja akan hancur terpukul pukulan itu. Cuma memang karena kasihan dengan ular itu, Cio San tidak mengerahkan seluruh tenaganya.

Setelah lama mempehatikan gerak serangan ular itu, kini Cio san mencoba menirunya. Ujung telapak tangannya kini membentuk seperti moncong ular. Telapak tangan kirinya berada disamping perut menghadap ke depan, sedangkan jari-jarinya menghadap ke tanah. Namun telapak kiri itu walaupun terlihat diam namun menyimpan getaran yang sama dengan derik ekor ular. Bahkan telapak tangan itu kini berdengung juga seperti suara derik ular karena bergetar hebat.

Kini telapak tangannya bergerak-gerak menyerang dan mematuk bagai kepala ular. Dengan berani ia menggunakan telapak tangan kanan itu menyongsong serangan kepala ular yang ganas. Begitu kepala ular itu dekat dengan tangan kanannya, secara tiba-tiba Cio San berputar sehingga kini posisinya dibawah  kepala ular.

Ternyata tangan kanannya itu hanya tipuan. Begitu ular bergerak mundur menarik kepalanya, dengan secepat kilat tangan kiri Cio San mengirimkan pukulan bergetar. Daya dorongnya, ditambah lagi dengan posisi ular yang menarik mundur kepalanya, membuat hasil dari gerakan itu berlipat-lipat.

Kepala ular yang besar itu terlempar ke belakang sampai menabrak dinding goa. Saat ketika kepala itu tertabrak dinding goa, bersamaan dengan itu Cio San sudah melancarkan tendangan dahsyatnya. Kepala ular itu mengalami goncangan yang sangat berat karena empat hal. Pertama, pukulan getaran tangan kiri Cio San. Kedua, tabrakan dangan dinding goa. Ketiga. Tendangan keras Cio San, dan keempat, tabrakan lagi dengan dinding goa.

Semua itu membuat dinding goa hancur berantakan.

Herannya ular itu seperti tidak merasakan apa-apa. Serangannya tetap ganas, walaupun sudah tidak secepat awal-awal. Mungkin ular itu sudah mulai takut dengan lawan di depannya itu.

Di dalam goa yang gelap itu, bagi mata orang biasa, mungkin hanya bisa melihat cahaya mata ular yang berwarna kuning. Memang ada sedikit cahaya dari api unggun yang dibuat Cio San. Tapi tak akan mungkin bisa melihat gerakan-gerakan yang dihasilkan kedua makhluk yang berbeda ini.

Bahkan sekalipun di tengah lapangan yang disinari cahaya matahari siang bolong pun, tidak banyak orang yang bisa melihat gerakan-gerakan itu. Sungguh aneh, ketika kedua 'makhluk' itu saling menyerang. Terlihat seperti mereka adalah ahli-ahli silat paling ungkulan. Padahal mereka hanyalah seorang anak muda belasan tahun, dan seekor ular raksasa.

Jika gerakan ular semakin perlahan dan terkesan hati-hati, sebaliknya gerakan Cio San sangat cepat dan percaya diri. Dia telah memahami segala bentuk serangan ular itu sehingga dengan mudah membaca arah gerakan serangan.

Selama ini memang serangan sang ular hanyalah berupa 'tipuan' yang dilakukan kepala, dan 'serangan utama' yang dilakukan ekor. Kadang-kadang sang ular menukar-nukarnya saja, yaitu kepala menjadi 'serangan utama' dan ekor menjadi 'tipuan'. Tetapi hanya dengan beberapa kali menghindar saja, Cio San sudah bisa membaca 'maksud' ular ini.

Lama kelamaan Cio San bingung juga. Memang dia sudah bisa menguasai keadaan. Memberikan serangan-serangan dahsyat. Tapi semua itu tidak bisa melemahkan sang ular. Pada dinding goa yang berupa batu karang dan batu-batuan perit bumi yang sangat keras, telah hancur di sana-sini.

Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia telah memutuskan untuk membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada perasaan 'kasihan' yang timbul di hatinya melihat ular itu.

Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu pun diam saja. Namun kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu ular ini bukan ular berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan ular yang beracun dengan yang tidak.

Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular jenis ini. Segala ciri-ciri ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa. Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi berbeda, karena tidak ada ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.

Cio San berpikir keras mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu. Akhirnya dia memutuskan untuk 'bertaruh' saja. “Jika nanti aku mati karena ular ini ya sudahlah. Bisanya pasti akan mematikanku dalam beberapa detik”

Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa tubuhnya kini kebal segala jenis racun, karena khasiat jamur Sin Hong.

Ular itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Ekornya pun mulai berderik mengeluarkan suara bising yang menakutkan. Cio San membuka kuda-kudanya. Gaya kkuda-kuda Thay kek Kun, adalah menggunakan kuda-kuda agak rendah, tubuh tegak, tangan kanan mengambang kedepan, dan telapak tangan menghadap ke wajah sendiri. Sedangkan tangan kiri mengambang agak tinggi ke belakang. Telapak tangan agak dibengkokan ke bawah. Gaya ini melambangkan Im dan Yang.

Tapi dengan kecerdasan Cio San dengan cepat gaya bhesi [kuda-kuda] Thay Kek Kun itu digabungnya dengan jurus ularnya yang baru itu. Tangan kanan kini membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kiri yang mengambang tinggi di belakang, kini mulai bergetar dan menimbulkan suara seperti ekor ular derik.

Suara itu sebenarnya ditembulkan dari getaran jari bertemu dengan jari. Namun karena dilakukan dengan cepat, gerakan itu hampir tidak terlihat.

Sang ular tidak paham apa yang dilakukan Cio San. Nalurinya berkata bahwa ia harus 'menerkam' Cio San. Kepalanya bersiap-siap. Cio San pun menunggu. Ia tahu dengan pasti kapan ular itu akan mematuk. Karena sebelum mematuk ular itu akan mengambil ancang-ancang dulu ke belakang.

Sebenarnya ancang-ancang itu cepat sekali, dan tidak terlihat. Namun mata dan telingan Cio San yang sudah terlatih mampu memperhatikannya.

Ular itu lalu 'menerkan'. Cio San sudah melihat gerakan ancang-ancangnya itu. Tapi Cio San tidak bergerak. Ia malah menunggu kepala itu.

Kepala itu cepat sekali menyambar. Tak terlihat mata. Lalu ketika sudah dekat dengan tubuh Cio San, ular itu membuka mulutnya. Memperlihatkan taringnya yang panjang. Tapi Cio San tidak bergerak.

Hanya kurang beberapa jengkal dari kepala ular itu, baru tubuh Cio San melesat kencang. Tidak ke samping, tidak ke belakang. Tapi langsung menuju mulut ular itu dan masuk di dalamnya.

Dengan kelincahannya Cio San berhasil mengelak dari gigi-gigi ular itu ia masuk ke daerah di belakang gigi itu.

Semua ini dituliskan dengan begini runut, namun pada kenyataannya gerakan-gerakan tadi jauh lebih cepat dari saat kita mengedipkan mata.

Ular yang kaget dan merasa Cio San menginjak bagian dalam mulutnya, dengan serta mengatupkan rahangnya erat-erat untuk melumat tubuh Cio San. Tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar yang sudah ditunggu-tunggu oleh Cio San.

Begitu ular mengatupkan rahangnya, Cio San menggunakan kedua telapak tanggannya untuk menyerang dua bagian berbeda dari ular itu. Yaitu langit-langit mulut, dan lidahnya. Hasilnya dhsyat sekali karena ketika ular itu mengatupkan rahangnya, ia juga menggunakan tenaga yang besar.

Pertemuan tenaga telapak Cio San, serta kuatnya tenaga katupan rahang sang ular mengeluarkan suara yang keras sekali. Bruuuaaaaaaaaakkkkkkkkkk......

Tulang rahang ular itu patah.

Cio San pun keluar dari mulut ular.

Tenaga hasil serangan tadi berkali kali lipat. Selain rahangnya patah, tenaga besar yang dihasilkan itu menggetarkan pula isi dalam tengkoraknya. Ular itu langsung lulai dan pingsan. Bagian dalam mulutnya hancur pula.

Darah pun ada dimana-mana. Bahkan Cio San pun bermandikan darah sang ular. Ada perasaan bersalah di hati Cio San melihat nasib ular itu. Awalnya dia senang bahwa serangan yang sudah direncanakannya itu berhasil. Tetapi saat melihat keadaan ular itu, ia malah menangis.

“ Maafkan aku Sin Coa [ular sakti]....maafkan aku....”

Cio San buru-buru memeriksa keadaan ular itu. Tulang rahangnya patah dan malahan ada yang hancur. Bagian dalam mulutnya pun berlinangan darah.

Bagaimana cara menghentikan pendarahan itu? Cio San mengerti tentang pengobatan manusia seperti yang telah ia baca di dalam buku pemberian A Liang. Tetapi ia sama sekali belum pernah menyembuhkan orang kecuali menyembuhkan racun A Liang. Itu pun tidak berhasil karena beberapa saat setelah itu, A Liang meninggal.

Apalagi kini yang mengalami luka berat adalah seekor ular raksasa, yang bentuk tubuh, aliran darah, serta titik-titik pusat tenaganya berbeda dengan manusia. Di dalam kebingungannya, Cio Sa teringat dengan jamur yang setiap hari ia santap.

Cio San ingat bahwa setiap menyantap jamur itu tubuhnya langsung segar, bahkan luka-luka luar seperti teriris atau lecet pun sembuh dengan cepat. Segera dikumpulkannya jamur-jamur itu dari dinding goa, karena disepanjang terowongan goa itu jamur itu tumbuh dengan lebat.

Setelah jamur-jamur itu terkumpul banyak sekali, dijejalkannya gumpalan kumpulan jamur itu kedalam bagian mulut ular yang terluka. Cio San pun membubuhkan jamur-jamur itu di tulang rahang ular yang patah.

Tak berapa lama darah pun berhenti mengalir, dan daerah yang patah itu sudah mulai menghangat, tanda bahwa tubuh ular itu sendiri pun membantu penyembuhannya dari dalam. Dengan berani Cio San tetap berada di dalam mulut ular yang lunglai dan 'pingsan' itu.

Ia menyalurkan tenaga dalamnya kepada ular itu melalui mulutnya. Karena Cio San tahu, percuma menyaluirkannya melalui tubuh, karena kulit ular itu tebal sekali, dan sepertinya mampu meredam tenaga dalam.

Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu pulih. Memang tubuh ular berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya mati.

Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada mulut dan rahangnya. Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya lunglai. Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang nyaman di dalam mulutnya. Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa sakitnya.

Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan penyaluran tenaganya, dan keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya baru saja menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.

Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.

Related Posts: