Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan “Ehm”, “Tidak tahu”, atau “Mungkin”.
Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.
Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang ‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.
Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.
“Meymey…meymey…” panggilnya halus sambil mengetuk
Tidak ada jawaban. Tapi dari pendengarannya yang tajam, Cio San tahu Mey Lan sedang menangis.
“Meymey bukakan pintunya” masih dengan nada yang halus.
Lama sekali Cio San mengetuk, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata.
“Meymey, maafkan aku harus pergi ya. Aku akan kembali lagi untukmu. Semoga pada saat itu, aku tidak akan pergi lagi” Ia menghela nafas dan akhirnya pergi.
Laki laki kebanyakan menghela nafas. Perempuan kebanyakan meneteskan air mata. Jika pihak lelaki dan perempuan bisa saling mengerti, tentunya tidak akan banyak lelaki yang menghela nafas, dan perempuan yang menangis.
Laki-laki yang menghela nafas seperti ini, sebenarnya juga menangis dalam hati. Jika kau ingin menangis sedangkan engkau tidak bisa, bukankah itu sebuah penderitaan yang besar?. Sayangnya banyak perempuan yang tidak tahu. Mereka pikir lelaki berhati kejam dan tak berperasaan. Padahal sesungguhnya lelaki lebih sering menangis daripada perempuan. Hanya saja yang menangis adalah hati mereka, dan bukan mata mereka.
Dan tak jarang juga perempuan menangis hanya di mata mereka dan bukan di hati mereka. Jika ada perempuan yang menangisi laki-laki dari hatinya, maka laki-laki itu adalah laki-laki yang beruntung. Karena jarang sekali perempuan menangis untuk lelaki. Biasanya mereka menangis untuk diri mereka sendiri.
Hujan turun. Masih rerintikan. Angin dingin menyapa kalbu.
Duhai siapa gerangan yang mampu menenangkan hati yang tersayat cinta?
Seandainya hujan bukanlah air, melainkan pedang
Tentulah tidak banyak kesedihan di muka bumi ini.
Seandainya yang bersinar bukanlah matahari, melainkan mata hati
Tentulah hanya kebahagiaan yang merona di seluruh penjuru langit.
Tapi langit berwarna biru bukan?
Itu menandakan kesedihannya
Langit tak pernah bening,
Seperti air yang tulus
Seperti kaca yang tanpa rahasia
Langit selalu sedih,
Memandang begitu banyak luka hati manusia
Dan Cio San pun melangkah. Langkah kakinya ringan. Tapi hatinya berat. Meninggalkan orang yang dikasihinya.
“Jika perpisahan seberat ini, tentulah banyak orang yang tak ingin ada pertemuan. Bukankah akhir dari pertemuan selalu adalah perpisahan?”
Ia baru beberapa langkah dari pintu depan Lai lai. Ketika sebuah suara memanggil,
“San-ko, San-ko…..”
Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu adalah suara Mey Lan.
Mey Lan berlari. Hujan yang mengguyurnya seperti memberi limpahan airmata baru padanya.
“Benarkah kau berjanji untuk kembali kepadaku? Suatu saat nanti?” tanyanya. Pandangan matanya. Laki-laki mana yang sanggup menatap pandangan seperti itu.
“Aku berjanji Kwee Mey Lan. Aku akan kembali untukmu. Entah kapan. Tapi demi Tuhan aku berjanji untuk kembali. Mau kah kau menungguku?”
Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban. Pandangan mata itu telah menjawab semuanya.
Mereka berpegangan tangan. Seperti merasa mereka tak akan bertemu kembali.
Di dunia ini, cerita apa yang lebih menyedihkan selain perpisahan dua orang kekasih?
Tapi sesedih apapun Cio San, ia kini lebih bersemangat. Kekasihnya menunggu kepulangannya. Dunia menanti kedatangannya. Laki-laki cukup mempunyai dua hal ini saja sudah membuat dirinya merasa sebagai penguasa dunia.
Ia tak tahu kemana ia akan pergi. Tapi ia tahu, perjalanannya tak akan sia-sia. Maka ia melangkah saja. Entah kemana. Kemudian ia teringat dengan Khu Hujin. Pastinya sekarang beliau telah kembali ke kediamannya di kota Wang An. Kota itu hanya berjarak sekitar 1-2 hari dari sini. Karena tak tahu hendak kemana, Cio San memutuskan pergi saja ke kota Wang An. Memang pada awalnya ia ingin kembali ke desa kakeknya. Berhubung arah daerah itu sama dengan arah kota Wang An, maka Cio San memilih untuk ke kota Wang An saja dulu.
Dari tengah hari ia berjalan sampai gelap. Berhenti hanya untuk beristirahat dan makan. Ia membawa sedikit alat masak. Sedangkan bahan-bahan memasaknya ia kumpulkan di sepanjang perjalanan. Kota Liu Ya yang ramai ini ternyata ramai sampai ke pelosok-pelosoknya. Tapi jika di pusat kota ramai karena orang berniaga, di bagian pelosok ramai oleh perkebunan dan pertanian.
Ia sangat menikmati perjalanan ini. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan juga ramah-ramah. Jika kehidupan biasa bisa setenang ini, kenapa banyak orang ikut ramai ke dalam dunia Kang Ouw? Barangkali karena tantangan. Manusia memang banyak menyukai tantangan. Bisa juga karena kemasyhuran. Bisa juga karena uang.
Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.
Sekali lentingan saja Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di hadapannya. Sekali pandang ia sudah tahu kalau itu adalah Butongpay Ngo Kiam (5 pedang Butongpay). Siapa lawan mereka ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.
Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk ‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.
Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Butongpay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau Cio San harus kagum. Serangan demi serangan mengalir hebat. Sepertinya kelima orang ini sudah menjadi satu jiwa dan satu tubuh. Seakan-akan mereka dilahirkan dengan tangan, kaki, pikiran, dan hati yang sama.
Cahaya pedang menyambar-nyambar. Inilah ilmu pedang Butongpay yang menggetarkan dunia itu, Tarian Pedang Butongopay. Thio Sm Hong menciptakannya sebelum ia menciptakan Thay Kek Kun. Namun dasar-dasar dan unsur Thay Kek Kun sudah terlihat di situ.
Gerakannya lembut namun cepat. Mengalir bagai air, tapi menghujam bagai ombak menghantam karang. Cahaya cahaya pedang ini sangat rapat sehingga hujan pun belum tentu menembus cahaya itu.
Tapi yang lebih membuat Cio San kagum adalah lawan mereka. Orang yang bertubuh kekar itu dengan gagah menantang hujan pedang. Senjatanya adalah sebuah tombak yang bermatakan golok. Tangkai tombaknya yang berwarna emas menimbulkan suara mender-deru ketika ia memutar-mutarkannya untuk menghalau serangan pedang.
Tubuh orang itu sudah terluka di sana-sini. Cio San memperkirakan setidaknya mereka telah bertanding ratusan jurus. Tapi tenaga dan kekuatan serangannya masih tetap dahsyat. Jika bertarung satu lawan satu, Butongpay Ngo Kiam pastilah bukan tandingannya. Tapi sejak awal, Butongpay Ngo Kiam adalah Butongpay Ngo Kiam. Melawan satu orang atau melawan ribuan orang, mereka tetap berlima.
Bayangan pedang seperti hujan. Kibasan tombak golok seperti angin puyuh. Siapa saja yang berdiri dekat-dekat pertempuran itu setidaknya akan lecet-lecet terkena anginnya saja.
Lima pedang Butongpay memang tidak malu menyandang nama itu. Gerakan mereka yang lincah dan halus berganti-gantian bagai gelombang. Satu pedang mengincar leher. Yang satu mengincar dada, yang satu mengincar perut, yang satu mengincar paha, dan yang satu lagi mengincar betis.
Sang lawan dengan berani menerima serangan itu. Ia memutar tombaknya di depan dada dengan kedua tangannya. Terdengar suara bagai angin puyuh.
Traaaannnnng!
Serangan pedang buyar. Namun si pemilik tombak golok pun terjengkang ke belakang. Dengan satu kali gerakan memutar ia telah memunahkan serangan 5 pedang Butongpay. Tapi tak urung gerakan itu menghabiskan banyak tenaga. Ia memang memilih melakukan adu tenaga ketimbang menghindari serangan-serangan dahsyat itu.
Itu karena ia sendiri yakin akan lwee-kang (tenaga dalam) nya. Hasil yang didapatkannya setelah latihan puluhan tahun, dan meminum berbagai macam ramuan-ramuan. Tapi sudah jelas 5 pedang Butongpay ini bukan pendekar sembarangan. Walaupun masih muda usianya, tenaga dalam mereka adalah tenaga dalam pesilat kelas satu.
Melihat lawan mereka terjengkang ke belakang, serta merta tubuh mereka melenting juga ke depan. Kini mereka berbaris dalam satu barisan. Yang di belakang meletakkan tangan ke punggung yang di depannya. Begitu seterusnya sampai yang paling depan merasa ada tambahan ribuan energy yang memasuki tubuhnya. Begitu merasa saluran dan dorongan tenaga yang dahsyat ini, Gak Siauw Hong yang merupakan orang paling depan di barisan itu langsung melesat ke depan bagai anak panah! Tidak ada tubuh yang kelihatan. Hanya terlihat bayangan pedangnya saja. Itu pun bagaikan kilat.
Ujung pedang sudah terhunus. Tubuhnya bagai terbang dan kini telah sejajar dengan tanah. Lawan di depannya sudah seperti kehabisan tenaga. Tapi dengan sisa semangat dan tenaga dalamnya yang paling akhir, sang lawan ini melenting ke samping.
Baru sekali ini jurus Panah Pedang dari Butongpay luput. Dari beratus kali pertarungan, inilah kalinya yang pertama.
Tak urung mereka kagum juga. Dengan jarak yang sesempit itu, dan waktu yang singkat sepersekian detik, lawan mereka sanggup menghindari serangan sedahsyat itu. Mereka memang hebat dan sakti. Tapi bicara tentang pengalaman bertarung, lawan di depannya ini punya pengalaman bertarung ratusan kali lebih banyak. Ia tahu, bahwa menghindari serangan “hanyalah” masalah penempatan waktu. Jika lebih cepat, maka lawan akan mengetahui pergerakanmu. Jika lebih lambat nyawamu melayang.
“Bun Tek Thian!, ku akui kehebatanmu menghindari jurus panah pedang kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong
“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian anggota partai putih. Cuih!” orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut ‘partai putih’.
Dengan geram Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.
Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.
Tapi belum sampai pedang itu menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Cio San.
Tidak dapat dibayangkan perasaan kelima murid Butongpay itu. Tadi serangan dahsyat mereka berhasil dihindari. Sekarang serangan pedang mereka juga ada yang menangkisnya dengan tangan kosong. Mimpi pun, tidak ada seorang murid Butongpay pun yang akan menyangka jurus pedang mereka bisa ditangkis oleh tangan kosong.
Pemuda yang menangkis pedang itu berdiri sambil tersenyum. Tangan kanannya mengelus helaian rambutnya yang ‘jatuh’ di pundak. Tangan kirinya dilipatnya ke belakang.
“Masih ingat padaku?” tanyanya masih sambil tersenyum.
“Cio San!” mereka berteriak berbarengan.
“Hai pengkhianat! Akhirnya kami menemukanmu. Berlututlah minta ampun agar kami membawamu menemui Lau-Ciangbunjin. Atau tidak kami akan memancung kepalamu dan akan kami bawa ke Butongsan”
“Aku akan berlutut minta ampun, jika kalian bisa mengalahkanku.” Ia masih tetap saja tersenyum. Senyum semacam ini jika kau berikan kepada musuhmu, malah akan membuatnya ingin menelanmu hidup-hidup.
“Baiklah!. Di Butongsan dulu kau cuma anak bawang. Coba kita lihat hasil pencurian dan pengkhiatanmu. Apakah sebanding.”
“Tunggu dulu, jika aku menang bagaimana?” tanya Cio San lagi.
“Tidak mungkin. Tapi jika kau menang, kami akan tunduk apa katamu!”
“Baik. Kata-kata murid Butongpay adalah emas. Aku percaya”
Hanya sebentar mereka memasang kuda-kuda. Hanya sekian detik.
Detik yang penuh kesunyian.
Yang kemudian di penuhi oleh suara pertempuran lagi.
Cahaya dan bayangan pedang menghambur menjadi satu. Mereka mengepung tubuh Cio San. Pedang datang dari segala penjuru arah. Bahkan yang menusuk ke kepala dari arah atas pun ada.
Menghadapi hal ini Cio San tidak panic. Ia malah melenting ke atas menyongsong pedang yang menyerang menghujam kepalanya. Tinggal menggelengkan kepalanya sedikit, pedang telah lewat dari kepalanya. Tapi pedang itu sekarang meluncur turun di depannya. Jika pemilik pedang menggerakkan tangannya sedikit saja, tentulah robek isi dada dan tenggorkan Cio San.
Tapi memang Cio San telah siap. Tangan kirinya yang brgetar meniru ekor ular derik telah berada di depan dadanya. Dengan telapak menghadap ke luar. Dan dengan telapak yang berbunyi aneh itu, ia telah berhasil menangkap pedang itu.
Tangan kanannya yang membentuk moncong ular telah menyerang tangan yang memegang pedang tadi. Dan entah bagaimana tahu-tahu pedang itu telah berpindah ke tangan Cio San!
Seluruh gerakan ini perlu waktu lama untuk diceritakan. Tapi sesungguhnya hanya membutuhkan waktu sekejap mata!
Lalu bagaimana dengan bagian bawah tubunya yang juga terancam pedang?
Setelah melompat ke atas, kakinya melakukan tendangan berputar yang meruntuhkan pedang keempat orang lainnya. Gerakan yang harus dilakukan dengan teliti karena salah sedikit saja, bukan pedang yang terhempas, melainkan kakinya yang menjadi buntung.
Kelima Pendekar pedang Butongpay itu terhenyak setengah mati. Bun tek thian pun tak kalah kagetnya. Cio San telah menaklukan Butongpay Ngo Kiam hanya dalam satu jurus!
Pendekar pedang tanpa pedang, maka bukanlah pendekar namanya. Kelima orang ini telah kehilangan pedang. Itu berarti mereka kalah.
Entah karena mengetahui isi hati kelima lawannya, atau melihat dari raut wajah mereka yang aneh karena bercampurnya perasaan heran, takut, kagum, dan benci, maka Cio San pun berkata,
“Para kakak jangan bersedih. Aku bisa menaklukan jurus kalian, karena sebelumnya aku sudah tahu jurus itu. Sudah puluhan kali aku melihat kalian melatihnya saat kita masih di Butongsan dulu. Aku pun pernah ikut-ikutan melatihnya”
“Jangan panggil kami ‘kakak’, karena kami bukan kakakmu!” ini adalah suara Sengkoan Pit.
“Kau menang, Cio San. Sesuai janji kami, kami semua menurut apa katamu. Jika mau membunuh kami, maka bunuhlah” kata Gak Siauw Hong.
Mereka memang harus mengaku kalah. Jika dalam satu jurus saja, pedang mereka melayang, buat apa memaksa bertarung pada jurus-jurus berikutnya?
“Kitab sakti yang kau curi memang sangat hebat, sehingga kami bisa kau taklukan dalam satu jurus” kata Lau Han Po.
“Ketahuilah aku tidak mencuri kitab sakti apa-apa.” Tukas Cio San
“Lalu darimana kau bisa mempelajari ilmu yang sedemikian hebat seperti itu? Lwee Kang (tenaga dalam) mu maju sangat pesat. Gin Kang (ilmu meringankan tubuh)mu sungguh lihay.” Tanya Ko Kam Sing.
“Aku mempelajarinya dari seekor ular saat aku terdampar di sebuah goa” jawab Cio san jujur
“Mengapa tidak kau bilang saja dewa dari langit turun ke bumi dan mengajarkan jurus itu kepadamu!?” sahut Lau Han Po
Memang jika orang sudah tidak menyukaimu, kata-kata dan perbuatan apa saja yg kau lakukan selalu tidak akan pernah diterimanya.
Apalagi cerita belajar ilmu silat kepada seekor ular juga bukan sebuah cerita yang bisa masuk akal sehat.
Menyadari ini akhirnya Cio San hanya bisa berkata,
“Sudahlah jika kalian tidak mau percaya. Suatu hari nanti, aku akan naik ke butongsan dan menjelaskan semua kejadian yang ada. Aku akan menjelaskan sendiri kepada Lau Ciangbunjin. Sekarang permintaanku hanyalah satu, lepaskan saja Bun Tek Thian. Dia sudah tidak berdaya. Dan menyerang orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan para enghiong”
“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya Gak Siauw Hong
“Tidak ada hubungan apa-apa” Cio San menjawab sambil mengelus lagi helaian rambutnya.
“Lalu kenapa kau menolongnya?” sahut Lau Han Po
“Tidak ada alasan. Aku cuma tidak suka melihat nama baik Butongsan rusak karena nanti di kalangan bu lim orang akan membicarakan bahwa Butongpay mempunyai anak murid pengecut yang membunuh orang yang sudah tidak bisa melawan”. Melawan orang bermulut tajam seperti Lau Han Po memang juga harus menggunakan mulut yang tak kalah tajam.
“Alasan! Manusia hati pengkhianat seperti kau pastinya sudah menjadi anggota Ma Kauw sejak dulu”
Karena memang kurang berbakat adu mulut, maka Cio San hanya berkata,
“Kalian pergilah! Sebelum kupotong urat nadi kalian sampai lumpuh seluruh badan”
Di dunia ini, yang paling ditakuti oleh orang Kang-ouw lebih dari kematian, memang hanyalah menjadi lumpuh.
“Kau…kau melepaskan kami?”
“Benar” ia menjawab pendek saja
“Pergilah. Ambil pedang kalian dan pergilah dari sini”
Tidak perlu menunggu perintah kedua, kelima orang itu sudah melesat jauh dan menghilang.
Sebenarnya Cio sn ingin bertanya apa masalah sampai mereka mengadu nyawa dengan Bun Tek Thian. Tapi ia sudah terlanjur menyuruh pergi. Memanggil mereka kembali dan bertanya tentu tidaklah lucu.
Ia lalu menuju ke Bun Tek Thian yang dari tadi duduk bersila menyembuhkan luka dalamnya. Cio San membantu menyalurkan tenaga dalamnya sendiri melalui punggung orang itu. Tak berapa lama, Bun Tek Thian membuka mata dan merasa tubuhnya sudah lumayan segar.
Begitu segaria segera berbalik menghadap Cio San yang sedang bersila di belakangnya. Ia tidak bersoja dan mengucapkan terima kasih.
Ia malah menyerang Cio San dengan sebuah totokan ke Hiat To.
Kini Cio San tertotok!
Seluruh tubuhnya lumpuh!
“Salam kenal Cio San! Perkenalkan aku Bun Tek Thian, Tiangloo (penasehat) dari partai Ma Kauw!”