Bab 25 Perpisahan dan Perjalanan



Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan “Ehm”, “Tidak tahu”, atau “Mungkin”.

Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.

Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang ‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.

Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.

“Meymey…meymey…” panggilnya halus sambil mengetuk

Tidak ada jawaban. Tapi dari pendengarannya yang tajam, Cio San tahu Mey Lan sedang menangis.

“Meymey bukakan pintunya” masih dengan nada yang halus.

Lama sekali Cio San mengetuk, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata.

“Meymey, maafkan aku harus pergi ya. Aku akan kembali lagi untukmu. Semoga pada saat itu, aku tidak akan pergi lagi” Ia menghela nafas dan akhirnya pergi.

Laki laki kebanyakan menghela nafas. Perempuan kebanyakan meneteskan air mata. Jika pihak lelaki dan perempuan bisa saling mengerti, tentunya tidak akan banyak lelaki yang menghela nafas, dan perempuan yang menangis.

Laki-laki yang menghela nafas seperti ini, sebenarnya juga menangis dalam hati. Jika kau ingin menangis sedangkan engkau tidak bisa, bukankah itu sebuah penderitaan yang besar?. Sayangnya banyak perempuan yang tidak tahu. Mereka pikir lelaki berhati kejam dan tak berperasaan. Padahal sesungguhnya lelaki lebih sering menangis daripada perempuan. Hanya saja yang menangis adalah hati mereka, dan bukan mata mereka.

Dan tak jarang juga perempuan menangis hanya di mata mereka dan bukan di hati mereka. Jika ada perempuan yang menangisi laki-laki dari hatinya, maka laki-laki itu adalah laki-laki yang beruntung. Karena jarang sekali perempuan menangis untuk lelaki. Biasanya mereka menangis untuk diri mereka sendiri.

Hujan turun. Masih rerintikan. Angin dingin menyapa kalbu.
Duhai siapa gerangan yang mampu menenangkan hati yang tersayat cinta?

Seandainya hujan bukanlah air, melainkan pedang
Tentulah tidak banyak kesedihan di muka bumi ini.

Seandainya yang bersinar bukanlah matahari, melainkan mata hati
Tentulah hanya kebahagiaan yang merona di seluruh penjuru langit.

Tapi langit berwarna biru bukan?
Itu menandakan kesedihannya

Langit tak pernah bening,
Seperti air yang tulus
Seperti kaca yang tanpa rahasia

Langit selalu sedih,
Memandang begitu banyak luka hati manusia


Dan Cio San pun melangkah. Langkah kakinya ringan. Tapi hatinya berat. Meninggalkan orang yang dikasihinya.

“Jika perpisahan seberat ini, tentulah banyak orang yang tak ingin ada pertemuan. Bukankah akhir dari pertemuan selalu adalah perpisahan?”

Ia baru beberapa langkah dari pintu depan Lai lai. Ketika sebuah suara memanggil,

“San-ko, San-ko…..”

Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu adalah suara Mey Lan.

Mey Lan berlari. Hujan yang mengguyurnya seperti memberi limpahan airmata baru padanya.

“Benarkah kau berjanji untuk kembali kepadaku? Suatu saat nanti?” tanyanya. Pandangan matanya. Laki-laki mana yang sanggup menatap pandangan seperti itu.

“Aku berjanji Kwee Mey Lan. Aku akan kembali untukmu. Entah kapan. Tapi demi Tuhan aku berjanji untuk kembali. Mau kah kau menungguku?”

Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban. Pandangan mata itu telah menjawab semuanya.

Mereka berpegangan tangan. Seperti merasa mereka tak akan bertemu kembali.

Di dunia ini, cerita apa yang lebih menyedihkan selain perpisahan dua orang kekasih?


Tapi sesedih apapun Cio San, ia kini lebih bersemangat. Kekasihnya menunggu kepulangannya. Dunia menanti kedatangannya. Laki-laki cukup mempunyai dua hal ini saja sudah membuat dirinya merasa sebagai penguasa dunia.

Ia tak tahu kemana ia akan pergi. Tapi ia tahu, perjalanannya tak akan sia-sia. Maka ia melangkah saja. Entah kemana. Kemudian ia teringat dengan Khu Hujin. Pastinya sekarang beliau telah kembali ke kediamannya di kota Wang An. Kota itu hanya berjarak sekitar 1-2 hari dari sini. Karena tak tahu hendak kemana, Cio San memutuskan pergi saja ke kota Wang An. Memang pada awalnya ia ingin kembali ke desa kakeknya. Berhubung arah daerah itu sama dengan arah kota Wang An, maka Cio San memilih untuk ke kota Wang An saja dulu.

Dari tengah hari ia berjalan sampai gelap. Berhenti hanya untuk beristirahat dan makan. Ia membawa sedikit alat masak. Sedangkan bahan-bahan memasaknya ia kumpulkan di sepanjang perjalanan. Kota Liu Ya yang ramai ini ternyata ramai sampai ke pelosok-pelosoknya. Tapi jika di pusat kota ramai karena orang berniaga, di bagian pelosok ramai oleh perkebunan dan pertanian.

Ia sangat menikmati perjalanan ini. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan juga ramah-ramah. Jika kehidupan biasa bisa setenang ini, kenapa banyak orang ikut ramai ke dalam dunia Kang Ouw? Barangkali karena tantangan. Manusia memang banyak menyukai tantangan. Bisa juga karena kemasyhuran. Bisa juga karena uang.

Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.

Sekali lentingan saja Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di hadapannya. Sekali pandang ia sudah tahu kalau itu adalah Butongpay Ngo Kiam (5 pedang Butongpay). Siapa lawan mereka ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.

Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk ‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.

Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Butongpay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau Cio San harus kagum. Serangan demi serangan mengalir hebat. Sepertinya kelima orang ini sudah menjadi satu jiwa dan satu tubuh. Seakan-akan mereka dilahirkan dengan tangan, kaki, pikiran, dan hati yang sama.

Cahaya pedang menyambar-nyambar. Inilah ilmu pedang Butongpay yang menggetarkan dunia itu, Tarian Pedang Butongopay. Thio Sm Hong menciptakannya sebelum ia menciptakan Thay Kek Kun. Namun dasar-dasar dan unsur Thay Kek Kun sudah terlihat di situ.

Gerakannya lembut namun cepat. Mengalir bagai air, tapi menghujam bagai ombak menghantam karang. Cahaya cahaya pedang ini sangat rapat sehingga hujan pun belum tentu menembus cahaya itu.

Tapi yang lebih membuat Cio San kagum adalah lawan mereka. Orang yang bertubuh kekar itu dengan gagah menantang hujan pedang. Senjatanya adalah sebuah tombak yang bermatakan golok. Tangkai tombaknya yang berwarna emas menimbulkan suara mender-deru ketika ia memutar-mutarkannya untuk menghalau serangan pedang.

Tubuh orang itu sudah terluka di sana-sini. Cio San memperkirakan setidaknya mereka telah bertanding ratusan jurus. Tapi tenaga dan kekuatan serangannya masih tetap dahsyat. Jika bertarung satu lawan satu, Butongpay Ngo Kiam pastilah bukan tandingannya. Tapi sejak awal, Butongpay Ngo Kiam adalah Butongpay Ngo Kiam. Melawan satu orang atau melawan ribuan orang, mereka tetap berlima.

Bayangan pedang seperti hujan. Kibasan tombak golok seperti angin puyuh. Siapa saja yang berdiri dekat-dekat pertempuran itu setidaknya akan lecet-lecet terkena anginnya saja.

Lima pedang Butongpay memang tidak malu menyandang nama itu. Gerakan mereka yang lincah dan halus berganti-gantian bagai gelombang. Satu pedang mengincar leher. Yang satu mengincar dada, yang satu mengincar perut, yang satu mengincar paha, dan yang satu lagi mengincar betis.

Sang lawan dengan berani menerima serangan itu. Ia memutar tombaknya di depan dada dengan kedua tangannya. Terdengar suara bagai angin puyuh.

Traaaannnnng!

Serangan pedang buyar. Namun si pemilik tombak golok pun terjengkang ke belakang. Dengan satu kali gerakan memutar ia telah memunahkan serangan 5 pedang Butongpay. Tapi tak urung gerakan itu menghabiskan banyak tenaga. Ia memang memilih melakukan adu tenaga ketimbang menghindari serangan-serangan dahsyat itu.

Itu karena ia sendiri yakin akan lwee-kang (tenaga dalam) nya. Hasil yang didapatkannya setelah latihan puluhan tahun, dan meminum berbagai macam ramuan-ramuan. Tapi sudah jelas 5 pedang Butongpay ini bukan pendekar sembarangan. Walaupun masih muda usianya, tenaga dalam mereka adalah tenaga dalam pesilat kelas satu.

Melihat lawan mereka terjengkang ke belakang, serta merta tubuh mereka melenting juga ke depan. Kini mereka berbaris dalam satu barisan. Yang di belakang meletakkan tangan ke punggung yang di depannya. Begitu seterusnya sampai yang paling depan merasa ada tambahan ribuan energy yang memasuki tubuhnya. Begitu merasa saluran dan dorongan tenaga yang dahsyat ini, Gak Siauw Hong yang merupakan orang paling depan di barisan itu langsung melesat ke depan bagai anak panah! Tidak ada tubuh yang kelihatan. Hanya terlihat bayangan pedangnya saja. Itu pun bagaikan kilat.

Ujung pedang sudah terhunus. Tubuhnya bagai terbang dan kini telah sejajar dengan tanah. Lawan di depannya sudah seperti kehabisan tenaga. Tapi dengan sisa semangat dan tenaga dalamnya yang paling akhir, sang lawan ini melenting ke samping.

Baru sekali ini jurus Panah Pedang dari Butongpay luput. Dari beratus kali pertarungan, inilah kalinya yang pertama.

Tak urung mereka kagum juga. Dengan jarak yang sesempit itu, dan waktu yang singkat sepersekian detik, lawan mereka sanggup menghindari serangan sedahsyat itu. Mereka memang hebat dan sakti. Tapi bicara tentang pengalaman bertarung, lawan di depannya ini punya pengalaman bertarung ratusan kali lebih banyak. Ia tahu, bahwa menghindari serangan “hanyalah” masalah penempatan waktu. Jika lebih cepat, maka lawan akan mengetahui pergerakanmu. Jika lebih lambat nyawamu melayang.

“Bun Tek Thian!, ku akui kehebatanmu menghindari jurus panah pedang kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong

“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian anggota partai putih. Cuih!” orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut ‘partai putih’.

Dengan geram Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.

Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.

Tapi belum sampai pedang itu menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Cio San.

Tidak dapat dibayangkan perasaan kelima murid Butongpay itu. Tadi serangan dahsyat mereka berhasil dihindari. Sekarang serangan pedang mereka juga ada yang menangkisnya dengan tangan kosong. Mimpi pun, tidak ada seorang murid Butongpay pun yang akan menyangka jurus pedang mereka bisa ditangkis oleh tangan kosong.

Pemuda yang menangkis pedang itu berdiri sambil tersenyum. Tangan kanannya mengelus helaian rambutnya yang ‘jatuh’ di pundak. Tangan kirinya dilipatnya ke belakang.

“Masih ingat padaku?” tanyanya masih sambil tersenyum.

“Cio San!” mereka berteriak berbarengan.

“Hai pengkhianat! Akhirnya kami menemukanmu. Berlututlah minta ampun agar kami membawamu menemui Lau-Ciangbunjin. Atau tidak kami akan memancung kepalamu dan akan kami bawa ke Butongsan”
“Aku akan berlutut minta ampun, jika kalian bisa mengalahkanku.” Ia masih tetap saja tersenyum. Senyum semacam ini jika kau berikan kepada musuhmu, malah akan membuatnya ingin menelanmu hidup-hidup.

“Baiklah!. Di Butongsan dulu kau cuma anak bawang. Coba kita lihat hasil pencurian dan pengkhiatanmu. Apakah sebanding.”

“Tunggu dulu, jika aku menang bagaimana?” tanya Cio San lagi.

“Tidak mungkin. Tapi jika kau menang, kami akan tunduk apa katamu!”

“Baik. Kata-kata murid Butongpay adalah emas. Aku percaya”

Hanya sebentar mereka memasang kuda-kuda. Hanya sekian detik.

Detik yang penuh kesunyian.

Yang kemudian di penuhi oleh suara pertempuran lagi.

Cahaya dan bayangan pedang menghambur menjadi satu. Mereka mengepung tubuh Cio San. Pedang datang dari segala penjuru arah. Bahkan yang menusuk ke kepala dari arah atas pun ada.

Menghadapi hal ini Cio San tidak panic. Ia malah melenting ke atas menyongsong pedang yang menyerang menghujam kepalanya. Tinggal menggelengkan kepalanya sedikit, pedang telah lewat dari kepalanya. Tapi pedang itu sekarang meluncur turun di depannya. Jika pemilik pedang menggerakkan tangannya sedikit saja, tentulah robek isi dada dan tenggorkan Cio San.

Tapi memang Cio San telah siap. Tangan kirinya yang brgetar meniru ekor ular derik telah berada di depan dadanya. Dengan telapak menghadap ke luar. Dan dengan telapak yang berbunyi aneh itu, ia telah berhasil menangkap pedang itu.

Tangan kanannya yang membentuk moncong ular telah menyerang tangan yang memegang pedang tadi. Dan entah bagaimana tahu-tahu pedang itu telah berpindah ke tangan Cio San!

Seluruh gerakan ini perlu waktu lama untuk diceritakan. Tapi sesungguhnya hanya membutuhkan waktu sekejap mata!

Lalu bagaimana dengan bagian bawah tubunya yang juga terancam pedang?

Setelah melompat ke atas, kakinya melakukan tendangan berputar yang meruntuhkan pedang keempat orang lainnya. Gerakan yang harus dilakukan dengan teliti karena salah sedikit saja, bukan pedang yang terhempas, melainkan kakinya yang menjadi buntung.

Kelima Pendekar pedang Butongpay itu terhenyak setengah mati. Bun tek thian pun tak kalah kagetnya. Cio San telah menaklukan Butongpay Ngo Kiam hanya dalam satu jurus!

Pendekar pedang tanpa pedang, maka bukanlah pendekar namanya. Kelima orang ini telah kehilangan pedang. Itu berarti mereka kalah.

Entah karena mengetahui isi hati kelima lawannya, atau melihat dari raut wajah mereka yang aneh karena bercampurnya perasaan heran, takut, kagum, dan benci, maka Cio San pun berkata,

“Para kakak jangan bersedih. Aku bisa menaklukan jurus kalian, karena sebelumnya aku sudah tahu jurus itu. Sudah puluhan kali aku melihat kalian melatihnya saat kita masih di Butongsan dulu. Aku pun pernah ikut-ikutan melatihnya”

“Jangan panggil kami ‘kakak’, karena kami bukan kakakmu!” ini adalah suara Sengkoan Pit.

“Kau menang, Cio San. Sesuai janji kami, kami semua menurut apa katamu. Jika mau membunuh kami, maka bunuhlah” kata Gak Siauw Hong.

Mereka memang harus mengaku kalah. Jika dalam satu jurus saja, pedang mereka melayang, buat apa memaksa bertarung pada jurus-jurus berikutnya?

“Kitab sakti yang kau curi memang sangat hebat, sehingga kami bisa kau taklukan dalam satu jurus” kata Lau Han Po.

“Ketahuilah aku tidak mencuri kitab sakti apa-apa.” Tukas Cio San

“Lalu darimana kau bisa mempelajari ilmu yang sedemikian hebat seperti itu? Lwee Kang (tenaga dalam) mu maju sangat pesat. Gin Kang (ilmu meringankan tubuh)mu sungguh lihay.” Tanya Ko Kam Sing.

“Aku mempelajarinya dari seekor ular saat aku terdampar di sebuah goa” jawab Cio san jujur

“Mengapa tidak kau bilang saja dewa dari langit turun ke bumi dan mengajarkan jurus itu kepadamu!?” sahut Lau Han Po

Memang jika orang sudah tidak menyukaimu, kata-kata dan perbuatan apa saja yg kau lakukan selalu tidak akan pernah diterimanya.

Apalagi cerita belajar ilmu silat kepada seekor ular juga bukan sebuah cerita yang bisa masuk akal sehat.

Menyadari ini akhirnya Cio San hanya bisa berkata,

“Sudahlah jika kalian tidak mau percaya. Suatu hari nanti, aku akan naik ke butongsan dan menjelaskan semua kejadian yang ada. Aku akan menjelaskan sendiri kepada Lau Ciangbunjin. Sekarang permintaanku hanyalah satu, lepaskan saja Bun Tek Thian. Dia sudah tidak berdaya. Dan menyerang orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan para enghiong”

“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya Gak Siauw Hong

“Tidak ada hubungan apa-apa” Cio San menjawab sambil mengelus lagi helaian rambutnya.

“Lalu kenapa kau menolongnya?” sahut Lau Han Po

“Tidak ada alasan. Aku cuma tidak suka melihat nama baik Butongsan rusak karena nanti di kalangan bu lim orang akan membicarakan bahwa Butongpay mempunyai anak murid pengecut yang membunuh orang yang sudah tidak bisa melawan”. Melawan orang bermulut tajam seperti Lau Han Po memang juga harus menggunakan mulut yang tak kalah tajam.

“Alasan! Manusia hati pengkhianat seperti kau pastinya sudah menjadi anggota Ma Kauw sejak dulu”

Karena memang kurang berbakat adu mulut, maka Cio San hanya berkata,

“Kalian pergilah! Sebelum kupotong urat nadi kalian sampai lumpuh seluruh badan”

Di dunia ini, yang paling ditakuti oleh orang Kang-ouw lebih dari kematian, memang hanyalah menjadi lumpuh.

“Kau…kau melepaskan kami?”

“Benar” ia menjawab pendek saja

“Pergilah. Ambil pedang kalian dan pergilah dari sini”

Tidak perlu menunggu perintah kedua, kelima orang itu sudah melesat jauh dan menghilang.

Sebenarnya Cio sn ingin bertanya apa masalah sampai mereka mengadu nyawa dengan Bun Tek Thian. Tapi ia sudah terlanjur menyuruh pergi. Memanggil mereka kembali dan bertanya tentu tidaklah lucu.

Ia lalu menuju ke Bun Tek Thian yang dari tadi duduk bersila menyembuhkan luka dalamnya. Cio San membantu menyalurkan tenaga dalamnya sendiri melalui punggung orang itu. Tak berapa lama, Bun Tek Thian membuka mata dan merasa tubuhnya sudah lumayan segar.

Begitu segaria segera berbalik menghadap Cio San yang sedang bersila di belakangnya. Ia tidak bersoja dan mengucapkan terima kasih.

Ia malah menyerang Cio San dengan sebuah totokan ke Hiat To.

Kini Cio San tertotok!

Seluruh tubuhnya lumpuh!

“Salam kenal Cio San! Perkenalkan aku Bun Tek Thian, Tiangloo (penasehat) dari partai Ma Kauw!”




Related Posts:

Bab 24 Lima Pedang Butongpay


Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan kejadian di rumah Teng Teng semalam. Kalangan Bu Lim tidak ada satu pun yang pernah mendengar nama, atau mengetahui asal usul si Baju Putih itu.

Ilmu silatnya asing. Gerakannya aneh. Tindak tanduknya pun tidak kalah aneh. Mereka yang beruntung menyaksikan kejadian semalam, seperti menjadi orang terkenal karena banyak orang yang mencari mereka untuk meminta cerita yang jelas.

Sejak pagi itu munculah julukan baru: Dewa Pedang Berambut Merah, Ang Hoat Kiam Sian

Ang Hoat Kiam Sian. Nama yang indah, tapi terasa menakutkan.

Cio San tersenyum-senyum sendiri mendengar tamu-tamu di Lai Lai mulai membicarakan si Dewa Pedang ini. Banyak dari cerita itu yang dilebih-lebihkan. Malah semakin menambah rasa penasaran orang yang mendengarkan.

Kwee Mey Lan tak urung juga penasaran mencuri-curi dengar cerita ini. Memang kehadiran si Dewa Pedang yang amat sangat tampan, tidak hanya membuat kaum bu lim heboh. Bahkan orang paham yang tidak mengerti silat pun ikut tertarik membicarakannya.

Kebanyakan membanding-bandingkan si Dewa Pedang ini dengan Beng Liong,  Ji Hau Leng sang ketua Kay Pang, dan pendekar yang baru muncul juga belakangan ini, Cio San!

Cio San tertawa dalam hati. Kini namanya sudah disejajarkan dengan orang-orang itu? Tidak dapat dipercaya.

“Beng Liong lebih tampan” kata salah seorang

“Ang Hoat Kiam Sian lebih tampan!” kata yang salah seorang lagi

“Kay Pang Pang cu (ketua Kay Pang) Ji Hau Leng lebih gagah!”

“Kira-kira apa julukan orang kepadaku ya?” batin Cio San dalam hati. Ia tidak berani berfikir aneh-aneh khwatir dianggap sinting karena tertawa sendirian.

“Eh meymey (adik) apakah kau dengar cerita-cerita para tamu?”

“Iya aku dengar San-ko (kakak San), menarik sekali orang yang berjulukan Ang Hoat Kiam Sian itu ya” sahut Mey Lan

“Sebenarnya semalam aku menyaksikan juga. Cuma tidak sampai melihat saat ia bertarung. Saat aku datang, semua musuhnya sudah mati.” Kisah Cio San

“Benarkah dia sehebat itu?”

“Hebat sih aku tidak tau meymey, tapi kalau tampan sekali, memang benar. Seumur hidup aku setahuku yang paling tampan adalah pendekar Butong Beng Liong, yang beberapa hari lalu ke sini itu, meymey. Tapi ketampanan si Dewa pedang ini agak aneh. Mungkin dia bukan keturunan Han (orang china) asli.”

“Jadi menurut San-ko, lebih tampan si Dewa Pedang itu daripada Butong enghiong Beng Liong?” tanya Mey Lan lagi.

“Menurutku mereka sama tampannya. Cuma masing-masing punya ciri khas yang berbeda. Kalo Butong enghiong Beng Liong tampannya itu tampan yang membuat hati tentram. Melihat wajahnya orang pasti langsung kagum dan merasa nyaman. Tapi melihat wajah si Dewa Pedang, orang malah  kagum dan takut”

“Kalau dibandingkan dengan enghiong Cio San yang juga sempat bikin kehebohan di sini itu?”

“Ah kalau dia, tidak setampan mereka lah. Kau tidak pernah bertemu dia ya? Bukankah pada saat dia beraksi di Lai Lai, meymey sedang pergi mencari keluarga wanita yang meninggal itu?”

“Iya San-ko. Tapi dari yang kudengar dari orang-orang, pendekar Cio San ini pun tidak kalah tampan dengan Butong enghiong Beng Liong”

“Kalau tampan sih masih jauh dari Beng Liong, hahahaha. Tapi entahlah Meymey. Aku tidak pernah memperhatikan ketampanan seorang lelaki. Apa kau pikir aku ini penyuka sesame jenis? Hahahaha”

Mereka berdua bercanda dan tertawa sambil bekerja.

Jika dua orang saling mencinta, dan juga melakukan pekerjaan yang sama, bukankah sungguh menyenangkan?

Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa Pedang yang menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang sempat mampir ke Lai Lai hanya untuk mendengarkan cerita tentang si Dewa Pedang ini. Lai lai memang kini sudah menjadi “tempat berkumpul tidak resmi” bagi kalangan Bu-Lim.

Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang sangat ringan, dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap orang-orang Bu Lim yang sangat menghormati mereka, bisa disimpulkan mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.

Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian putih dengan jubah hitam tipis. Di punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai lai ramai sekali, mereka terpaksa berdiri menunggu. Cio San yang kala itu sedang membantu pelayan membereskan piring bekas makan di atas meja tamu, langsung mengenal mereka.

Mereka adalah bagian dari 15 Naga Muda Butongpay. Kelima orang ini, seingat Cio San, adalah bagian 15 Naga Muda yang mempunyai kekhususan belajar ilmu Pedang Butong. Bakat mereka memang berada di situ. Entah karena tertarik dengan kejadian Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Berambut Merah), ataukah hanya karena kebetulan mereka berada di kota ini.

Ingin Cio San menyapa mereka. Karena walau bagaimanapun, mereka pernah bersama-sama hidup di Butongsan. Bahkan pernah menjadi saudara seperguruan. Walaupun dulu perlakuan mereka kepada Cio San kurang mengenakkan. Tidak ada dendam sedikit pun di hati Cio San.

Cio San bahkan masih ingat nama-nama mereka. Yang pertama adalah Gak Siauw Hong. Orangnya berperawakan sedikit kecil. Namun lincah. Cocok sekali dengan namanya, Siauw Hong yang artinya burung phoenix kecil. Seingat Cio San, Gak Siauw Hong berkelakukan baik terhadapnya. Walaupun tidak terlalu akrab, setidaknya Siauw Hong dulu tidak pernah mengganggunya.

Yang kedua adalah Sengkoan Pit. Orang ini sudah bertubuh besar sejak dulu. Sikapnya garang, berangasan, dan tidak sabaran. Dulu waktu di Butongsan, Sengkoan Pit ini termasuk salah seorang yang suka meremehkan Cio San. Kadang-kadang ia menantang Pi-Bu (latih tanding) Cio San hanya untuk menghajar Cio San saja. Dalam hati Cio San penasaran sekali apakah kelakuan Sengkoan Pit ini masih seperti dulu, ataukah sudah berubah?

Pendekar Butong ketiga adalah Lau Han Po. Walaupun sama-sama bermarga Lau, Han Po ini tidak ada hubungan dengan Lau-Ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Lau Han Po juga berbadan tegap seperti Sengkoan Pit. Tapi jauh lebih pendiam. Cuma saja, sekali buka mulut pasti ucapannya tidak mengenakkan. Cio San sering dicercanya sebagai anggota naga muda yang “tidak becus”. Saat di Butongsan dulu, memang setahu Cio San dia ini salah satu yang paling berbakat dalam ilmu pedang.

Kho Kam Sing adalah yang keempat. Dia ini berkulit kecoklatan. Lahir dari keluarga nelayan, sejak kecil sudah ikut ayahnya melaut. Sinat matanya mencorong, tapi terlihat tulus. Kadang-kadang dia suka menyapa Cio San juga dulu. Tapi mereka tidak pernah akrab karena Kam Sing ini sibuk berlatih sendiri. Memang terkadang Cio San merasa kehidupan di Butongsan itu lumayan berat juga bagi 15 Naga Muda. Harapan terhadap mereka terlalu besar, sehingga tekanan untuk menjadi yang terbaik, membuat kadang mereka saling bersaing sendiri-sendiri.

Yang kelima, adalah salah satu yang paling muda dalam 15 Naga Muda. Biarpun termasuk yang muda, tubuhnya tinggi dan kurus. Orang-orang di Butongsan memanggilnya si Pohon Bambu. Dia senang-senang saja. Pemuda yang bernama Lu Ting Peng memang bersifat riang gembira. Ia hampir selalu tersenyum. Tapi biarpun riang gembira, Ting Peng ini selalu serius dalam belajar silat juga. Cio San ingat mereka memang tidak terlalu akrab juga. Ting Peng ini selalu berkumpul dengan sekelompok murid-murid tertentu. Sehingga jarang bertegur sapa dengan Cio San. Apalagi sekelompok murid itu memang tidak suka padanya.

Kelima orang ini menunggu lumayan lama sampai ada pelanggan yang selesai makan dan pergi dari Lai Lai. Pelayan kemudian membersihkan meja dan mempersilahkan mereka duduk. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka duduk diam saja dan tidak mengobrolkan apa-apa.

Cio San memutuskan untuk memasak sendiri pesanan mereka. Karena sudah sejak lama Cio San tidak turun tangan langsung memasak jika tidak benar-benar diperlukan. Sudah ada banyak tukang masak di Lai Lai dan Cio San memang berencana untuk mendidik mereka sampai mahir.

Pesanan makanan 15 Naga Muda Butongpay ini adalah masakan yang sering mereka makan di Butongsan. Mengetahui apa pesanan mereka membuat Cio San tersenyum. Dalam hati ia memutuskan untuk membuat masakan ini seenak mungkin. Memang butuh waktu sedikit lebih lama. Tapi hasilnya pasti mencengangkan.

Dan benar saja. Suapan pertama membuat mata kelima orang itu berbinar binar.

“Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali.” Kata Lu Ting Peng.

Yang lain mengangguk-angguk.

Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan restoran ini kepada orang-orang di Butongsan. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan diri menyapa mereka,

“Selamat siang tuan-tuan, nama saya A San, saya adalah koki disini. Boleh saya tahu pendapat tuan-tuan tentang masakan kami?”

“Hmmm…enak sekali A San. Masakanmu sungguh hebat”  Gak Siauw Hong memuji. Yang lain ikut manggut-manggut.

“Ah baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak tuan-tuan. Eh kalau boleh tahu tuan tuan ini berasal dari mana?” tanya Cio San lagi.

“Kami adalah Butongpay Ngo Kiam (5 Pedang Butongpay)” kali ini Lu Ting Peng yang menjawab.

“Butongpay? Wah jadi tuan-tuan ini adalah para enghiong dari Butongpay? Sebuah kehormatan bagi Lai lai bahwa para enghiong sudi mampir kemari”  Ia lalu bersoja, sambil melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu Butong enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid Butongpay yang datang juga, sayang saya tidak sempat berkenalan dengan mereka”

“Iya kami tahu. Bahkan Beng Liong-ko sendiri yang menceritakan tentang restoran ini kepada kami. Dan ceritanya memang tidak salah. Tempat ini nyaman. Masakannya sangat enak. Dan tentunya ramai”

Yang dimaksud dengan ramai tentunya, ramai oleh orang Kang-ouw. Dari sini berkembang berbagai cerita dan kabar yang berkembang di dunia Kang-ouw. Itulah kenapa banyak orang Bu Lim rajin kesini. Mereka tidak ingin tertinggal berita.

Cio San meminta diri.

Dari obrolan singkat dia bisa melihat bahwa kelima orang ini sifatnya masih belum begitu berubah. Ia hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud sedikit pun untuk membalas perlakuan mereka. Bahkan jika bisa, ia malah ingin memperkenalkan siapa ia sebenarnya. Memeluk hangat mereka dan bertanya tentang kabar perguruan.

Kadang-kadang kerinduan bisa membuat orang lupa akan sakit hatinya.
Mengalami berbagai hal semacam ini kadang membuat Cio San berfikir harus ia mulai dari mana langkah-langkahnya. Apakah dia harus tetap diam di Lai Lai, ataukah memulai petualangan menyelediki segala kejadian. Meninggalkan Lai lai sungguh berat, karena terus terang dia berat meninggalkan Mey Lan. Tapi ada banyak pertanyaan yang harus segera dicari jawabannya, dan tak mungkin bisa ditemukan dengan hanya duduk menunggu di Lai-Lai.

Ia harus melakukan sesuatu.

Laki-laki memang jika sudah menemukan tambatan hati, terkadang susah untuk melakukan banyak hal. Bahkan impiannya sendiri ia lupakan jika sudah bertemu dengan wanita yang disukainya. Ini berbeda dengan perempuan. Mereka lebih suka meninggalkan cintanya demi impiannya.

Cerita begini siapapun mengalami tapi jarang ada yang menyadari.

Menyadari pun sudah terlambat.

Cio San memang tidak menyadari ini. Tapi ia sendiri berfikir menggunakan otaknya. Tidak mengikuti dorongan hatinya belaka. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk mengambil pilihan kedua. Pergi dari Lai Lai. Entah bagaimana ia menjelaskan ini kepada Mey Lan dan ayahnya. Tapi sejak awal dia memang tidak berniat untuk menetap di sana. Sebab itulah mengapa ia ‘menularkan’ semua ilmu masaknya kepada koki-koki yang lain.

Ia merasa semua tugasnya telah selesai di Lai lai. Ia telah membuat Lai lai mampu berdiri tegak. Bahkan juga mendapatkan sedikit nama. Di sana ia telah mendapat banyak kabar perkembangan dunia Kang Ouw. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah bertindak.

Entah dari mana memulai. Harus ada langkah yang diambil.

Maka malam itu, Cio San sudah membereskan beberapa barang-barangnya. Beberapa helai baju. Dan juga baju yang dipakainya saat menjadi “Cio San” yang sebenarnya. Baju itu ia simpan baik-baik di tempat tersembunyi. Kini semua miliknya telah rapih tersimpan di dalam buntalan kecilnya. Uang tabungan hasil bekerjanya selama ini pun telah ia masukkan ke dalam kantong khusus. Sebagian ia sisakan untuk ia berikan kepada Mey Lan, dan beberapa pelayan.

Kwee Lai, si pemilik restoran sedang menghitung-hitung pemasukan di meja kerjanya. Walaupun restoran sudah tutup dari tadi. Pekerjaan memang tidak serta merta selesai. Begitu melihat Cio San datang, segera Kwee Lai tersenyum dan berkata, “Hey, A San, pemasukan hari ini sungguh bagus. Ini sampai sekarang belum selesai ku hitung”

Sambil tersenyum Cio San berkata, “Syukurlah tuan. Koki-koki yang sekarang masakannya sudah sangat lezat. Saya saja yang mengajarai mereka malah terkagum-kagum”

“Eh,..duduklah. Kenapa kau masih seperti dulu? Terlalu sopan dan terlalu sungkan. Kalau dipikir-pikir seharusnya aku yang sopan dan sungkan terhadapmu. Ayo duduklah”

Cio San kemudian duduk dengan sopan. Ia memang orang yang sopan. Kepada siapa saja ia sopan. Melihat Cio San duduk saja dan lama tak berkata apa-apa, akhirnya Kwee Lai bertanya, “Ada apa A San? Ada yang ingin kau sampaikan?”

Meskipun agak ragu, Cio San akhirnya berani berkata,

“Tuan Kwee, sebenarnya saya sungkan mengatakan ini, tapi saya masih ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan. Sehingga dengan berat hati saya harus meninggalkan Lai Lai”

Kwee Lai biarpun tidak kaget, setidaknya ya berubah juga raut wajahnya.

“Sebenarnya aku sudah paham sejak awal bahwa suatu hari kau akan pergi. Tapi, apakah keputusanmu itu sudah kau bicarakan dengan Mey Lan?” tanya Kwee Lai

Belum sempat Cio San bilang “belum”, Mey Lan sudah menghambur dari belakang,

“Koko, apa maksudmu bilang begitu?”

Cio San tersenyum. Sejak dulu dia sudah tahu. Cara menghadapi wanita yang sedang marah adalah dengan diam. Mey Lan memang sedang marah. Tidak ada perempuan yang bahagia jika akan ditinggal pergi lelakinya.

“Koko mau pergi kemana?” Dahi dan alis matanya merengut. Jika ada perempuan memandangmu seperti itu, lebih baik segera lari atau minta ampun.

Tapi Cio San tidak melakukannya.

“Meymey duduk dululah. Mari kita bicarakan” katanya.

“Kalau aku tadi tidak kebetulan mendengar percakapan kau dan ayah, apakah kau akan mengajakku duduk dan bicara baik-baik” tanya Mey Lan masih dengan raut muka yang sama. Tapi dia sudah duduk.

Selain tersenyum, cara apa lagi yang bisa kau lakukan menghadapi perempuan yang sedang marah?

“Meymey, aku memang ingin membicarakannya dengan dirimu. Tapi bukankah aku disini bekerja sebagai pegawai tuan Kwee? Bukankah sudah seharusnya aku membicarakan dulu dengan beliau? Kata orang bijak seharusnya kita mengutamakan urusan pekerjaan dulu baru urusan pribadi. Meymey bisa mengerti?”

Meminta perempuan mengerti sesuatu, rasanya seperti minta harimau menjadi domba.

“Tapi bukankah kepergianmu ini karena urusan pribadi, San-ko? Jangan menggunakan alasan pekerjaan. Jika kau memang mau meninggalkan kami. Ya pergi saja. Tidak usah pakai alasan macam-macam” kata Mey Lan ketus sambil membanting kaki.

Melihat Cio San tidak berkata apa-apa, Mey lan malah tambah merajuk,

“Ya sudah kalau mau pergi ya pergi saja”

Ia lalu berdiri dari duduknya dan menuju kamarnya. Terdengar suara bantingan pintu.

Cio San dan Kwee Lai hanya bisa saling bertatapan. Lalu Kwee Lai berkata,

“Biarkan dulu saja. Ia mungkin sedang marah karena mendengar kau akan pergi. Jika marahnya sudah reda, ajak dia bicara baik-baik. Eh kapan kau akan pergi A San?”

“Paling lambat besok siang tuan. Saya mungkin akan membantu dulu pekerjaan besok. Jika sudah selesai, baru saya akan berangkat” jawabnya

“Ah tidak perlulah kau mengerjakan tetek bengek dapur. Cukup perhatikan saja segala keperluanmu, A San. Eh apakah sangu mu sudah cukup?” Sambil berkata begitu ia merogoh uang dari laci.

“Tabungan saya cukup banyak tuan”

“Ah sudahlah ambil ini sebagai tambahan. Dan jangan membantah. Haha, ku tau kau pasti menolak A San. Terimalah. Sekedar rasa terima kasihku atas segala yang kau lakukan di sini selama ini.”

Jika orang sudah memaksa, maka tak enak rasanya menolak. Cio San menerima uang itu. Jumlahnya sangat banyak. Entah mau dia apakan uang itu.

Dengan sopan ia lalu meminta diri. Cio San sebenarnya ingin berbicara dengan Mey Lan saat itu, tapi akhirnya memutuskan untuk menemui Mey Lan besok paginya saja.

Related Posts:

Bab 23 Sebuah Teka Teki Yang Terkuak



Keramaian sudah usai.

Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun yang terjadi.

Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi? Apakah dia yang disebut Pendekar Kelana Hu Liu Hoa? Tapi di lihat dari umurnya, tidak mungkin si Baju Putih itu adalah sang pendekar Hu Liu Hoa. Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup sepuh.

Lalu siapa dia?

Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang otaknya bekerja lebih baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan berputar-putar tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.

Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi. Dengan serta merta ia melompat ke atas atap. Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau mengedipkan matamu.

Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun sedang berdiri di hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini menggunakan baju hitam-hitam. Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar matanya, ia sepertinya kaget bahwa Cio San kini berdiri di hadapannya.

“Selamat malam, Yap-heng (kakak Yap)” Cio San memberi hormat.

Orang bertopeng di hadapannya itu lebih kaget lagi.

“Da…dari mana kau tahu namaku?”

“Cayhe banyak berpikir akhir-akhir ini, Yap-heng” jawab Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, “Kau pasti kaget aku tahu rahasiamu bukan?”

Orang yang disebut Yap-Heng itu tidak mampu berkata apa-apa.

Cio San lalu berkata,

“Aku tahu sejak beberapa bulan ini ada orang yang terus menguntitku. Pada awalnya aku tak tahu siapa itu. Jadi ku biarkan saja kau mengikutiku sampai saat ini. Setelah kejadian kematian Tionggoan Ngo Koay beberapa saat tadi, aku baru yakin bahwa kaulah yang menguntitku selama ini”

“Ba..ba..bagaimana bisa?” tanya si orang bertopeng.

“Sejak kejadian penghancuran goa dan pembunuhan sahabatku, Kim Coa (ular emas), kau sebenarnya sudah tertarik kepadaku. Kau tahu aku tidak mati, makanya kau sangat kaget. Bahwa aku mampu menahan pukulan kalian. Ketika kau tahu aku tidak mati, timbul pikiran dalam otakmu untuk menyelidiki aku lebih lanjut. Maka kau membiarkan aku pingsan. Selanjutnya kau memberikan aku baju dan uang. Kau melakukan itu bukan untuk menolongku, melainkan karena penasaran terhadap rahasia siapa sebenarnya aku.”

“Setelah itu kau menguntitku sampai ke kota ini. Ketika ada 2 orang asing yang menguntitku, kau khawatir bahwa keberadaanku yang penuh rahasia ini akan bocor ke pihak lain, maka kau membunuh mereka dengan am gi (senjata rahasia).”

“Pada awalnya kupikir mereka adalah anak buahmu, dan kau membunuh mereka karena takut rahasia mereka bocor. Tapi setelah kupikir-pikir, sebenarnya tidak ada alasan bagimu untuk membunuh mereka jika mereka memang betul-betul anak buahmu. Justru karena mereka bukan anak buahmu maka kau membunuh mereka. Karena kau khawatir ada pihak lain juga yang penasaran dengan keberadaanku.”

“Jadi kesimpulanku adalah, ada dua pihak yang mengikutiku. Yang pertama adalah kau. Dan yang kedua adalah pihak petani tua yang memberikanku sepatu. Mungkin saja ia mengirimkan kabar kepada anak buahnya untuk menguntitku. Lalu karena khawatir saingan, kau lalu membunuh mereka”

Si orang bertopeng lalu mencopot topengnya. Dan berkata,

“Memang sungguh aku kagum kepada kecerdasanmu, Cio San. Di dunia ini belum pernah ketemui orang secerdas kau. Tak ada guna lagi aku memakai topeng ini”.

Ia lalu bertanya, “Lalu bagaimana kau sampai tahu bahwa aku Yap-heng yang kau duga tadi?”

“Awalnya aku tidak tahu. Aku selama ini membiarkan jendela kamarku terbuka pada saat tidur, sebenarnya untuk memancingmu untuk melakukan sesuatu. Tapi kau tidak melakukan apapun. Berarti mungkin selama ini, kau masih penasaran siapa sebenarnya aku. Lalu sejak kejadian pertarunganku dengan pasangan suami-istri iblis itu, kau lalu tahu siapa aku. Dari namaku saja, kau tahu bahwa aku adalah buronan yang dituduh membawa kabur kitab silat sakti.”

“Aku sebenarnya menunggu-nunggu tindakan apa yang kau lakukan. Tapi kau tidak bertindak. Bisa kau jelaskan kenapa?” tanya Cio San

“Bagaimana mungkin aku bertindak saat banyak mata-mata Khu Hujin yang tersebar di sana? Tidak hanya orang-orang Khu Hujin yang berada di sana, tapi juga banyak dari pihak-pihak lain juga. Melakukan sesuatu malah akan membocorkan identitasmu. Itu malah akan merupakan suatu kerugian bagiku, jika ada orang lain yang tahu identitasmu yang sebenarnya. Oleh karena itu aku menunggu saat yang tepat. Cio San, sebenarnya aku masih bingung bagaimana kau bisa tahu identitasku?” tanya Yap-heng.

“Ketika orang yang berbaju putih tadi membunuh Tioanggoan Ngo Koay. Aku baru tersadar bahwa mereka sebenarnya 6 orang, bukan 5. Jika mereka dalam bahaya, kau seharusnya turun tangan membokong musuh mereka. Tapi tadi kulihat tidak ada mayatmu. Jika kau bersembunyi pun, aku tahu si baju putih tadi pasti akan tahu dan menemukanmu. Jadi ku pikir, pasti kau berada di suatu tempat. Sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang menjadi bayangan Ngo Koay. Jika dihubungkan dengan kejadian saat peledakan goa, maka masuk akal lah, bahwa selama ini kau lah yang  menguntitku.”

“Selama ini aku pun selalu mengawasimu. Mengingat-ingat gerakanmu. Menghafalkan dengan benar langkah kakimu. Walaupun harus ku akui langkah kakimu sangat ringan dan tak terdengar. Untunglah kupingku masih bekerja dengan baik.”

“Kau,,,bisa membedakan langkah kaki orang?” Yap heng bertanya dengan terbata-bata

“Sekali tahu, tidak pernah lupa” jawab Cio San sambil tersenyum. Lalu ia menambahkan,

“Aku pun bisa tahu, bahwa begitu kau tahu bahwa Tionggoan Ngo Koay sudah mati, konsentrasimu sedikit terganggu. Langkah mu menjadi sedikit berat. Desahan nafasmu pun mulai berbeda. Kau tahu saat aku berjalan-jalan tadi, aku memperhatikan bahwa kau tidak bisa memusatkan perhatianmu kepadaku, sehingga jarak antara kita menjadi sangat dekat. Aku bisa “mendengar” apa yang terjadi denganmu. Mungkin kau bingung antara mengurusi jenazah kawanmu 5 orang itu, atau terus mengikutiku. Karena aku yakin, kau sebenarnya ingin melakukan sesuatu malam ini terhadapku ”

Kata Yap-Heng, “Di dunia ini belum pernah kutemui orang yang lebih menakutkan daripada engkau, Cio San. Sekarang, apa yang akan kau lakukan kepadaku? Lari pun aku tak mampu, apalagi melawanmu” katanya pasrah

“Kau boleh pergi” kata Cio San dengan ringan

“Apa?” Yap heng sudah mulai tidak percaya dengan telinganya

“Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah aku tidak membawa lari kitab apapun. Semua ilmu yang kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (ular emas). Oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku. Aku pun tak akan membalaskan dendam kematian Kim Coa, karena bagiku kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah datang dengan matinya kelima sahabatmu itu.”

“Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau menggangguku, atau mengganggu orang-orang di Lai-Lai. Aku mempunyai kemampuan yang sangat menakutkan. Aku akan mencarimu.”

“Baiklah” kata Yap-Heng. “Kemurahan hatimu akan kuingat terus. Ampunanmu ini tidak akan terlupakan. Selamat tinggal Cio San” Yap-heng bersoja (memberi hormat ala kaum Bu Lim) lalu ia pun menghilang dari hadapan Cio San.

Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berfikir, “Alangkah sialnya orang yang dimusuhi oleh Cio San!”

Related Posts:

Bab 22 Sang Dewa Kematian


Cio San memandang Khu Hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah dia mendengar orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam. Begitu ringkas. Tetapi sangat membekas.

Angin bertiup menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San pun tak tahu lagi, apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angina, ataukah karena kata-kata Khu Hujin.

Itulah mengapa Khu Hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya. Menjadi wanita ‘terkuat’, tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru karena ia tidak mengandalkan ilmu silat maka Khu Hujin menjadi seperti itu. Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya paham. Bahwa mereka tercipta sebagai ‘makhluk terkuat’. Sudah terlalu banyak kisah yang menceritakan betapa wanita mampu menundukkan  laki-laki terhebat sekalipun.

“Cio San…..” sapaan lembut Khu Hujin membuyarkan lamunannya

“Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini sejak engkau kabur dari Butongpay dahulu, sampai saat ini?” tanya Khu Hujin

“Eh, saya hanya mendengar beberapa kabar dari cerita-cerita orang bu lim (kaum persilatan) yang mampir ke Lai Lai. Tapi semua belum begitu jelas, karena mungkin hanya berupa kabar burung” jawab Cio San

“Ceritakan kepadaku”

“Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi pembunuhan misterius. Pelakunya adalah beberapa orang bertopeng yang memiliki ilmu silat sangat tinggi. Mereka membunuh dengan sangat kejam. Dan banyak korban mereka yang merupakan terkemuka seperti ketua partai persilatan, pejabat Negara, dan masih banyak lagi”

Lanjut Cio San, “Kelompok pembunuh ini sangat rahasia. Tidak ada seorang pun yang tahu dari mana mereka. Asal usul ilmu silat mereka. Dan juga tujuan mereka. Saya sendiri berkesimpulan, pembunuhan keluarga besar saya, guru saya, dan juga peracunan ciangbunjin Butongpay juga ada hubungannya dengan kelompok pembunuh rahasia ini”


“Pada awalnya saya berfikir, mungkin pembunuhan-pembunuhan ini ada hubungannya dengan kitab-kitab sakti yang banyak dibicarakan orang. Tetapi jika dilihat dari banyaknya korban yang bukan hanya berasal dari kaum bulim. Saya mengambil kesimpulan bahwa tujuan kelompok pembunuhan ini bukan hanya sekedar mengesai ilmu-ilmu silat tertinggi. Melainkan juga mungkin hal yang lebih besar daripada itu”

“Seperti?” tanya Khu Hujin

“Mungkin mereka bertujuan untuk mengacaukan dunia kangouw, dan malah berusaha untuk menguasainya.”

“Kesimpulan yang bagus”, sahut Khu Hujin. “Tetapi karena belum ada perkembangan dan kabar yang jelas, maka kau jangan terlebih dahulu mengambil kesimpulan apapun. Karena kesimpulan yang terlalu cepat diambil, akan menjauhkanmu daripada kebenaran yang sebenarnya”

“Saya mengerti hujin. Terima kasih”

“Selain kabar ini, apalagi kabar yang kau dengar?” tanya Khu Hujin lagi.

“Saya mendengar kabar bahwa Butongpay masih tetap mencari saya. Bahkan orang-orang bu lim masih terus mencari keberadaan saya. Apalagi sejak kemunculan saya di Lai Lai tempo hari. Saya juga sudah tahu, bahwa Butongpay telah mengirimkan surat pengumaman ke berbagai kalangan yang memberitahukan bahwa saya sudah dipecat dari Butongpay, dan segala tingkah laku dan perbuatan saya, tidak ada hubungannya lagi dengan butongpay.”

“Apakah kau sedih, Cio San?”

“Sangat sedih hujin, tapi saya bisa mengerti keadaannya. Memang sudah seharusnya.”

Khu Hujin mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah, malam sudah larut dan aku pun butuh beristirahat. Kau pulanglah. Dan lakukanlah hal yang harus kau lakukan. Aku sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan hari ini. Ingat-ingatlah dengan kata-kataku tadi. Jadilah manusia terbaik, Cio San”

“Terima kasih Hujin. Apa yang sudah Hujin berikan kepada juga sangat tak ternilai. Segala perkataan, djuga hadiah dari hujin, amatlah sangat berharga bagi saya. Terima kasih Hujin sudah meluangkan waktu. Terima kasih banyak Hujin” sambil berkata begitu, Cio San memberi salam hormat.

Ia lalu pulang.

Ia pulang dengan hati yang lapang. Karena beban di hatinya sedikit lebih ringan. Karena perkataan Khu Hujin yang sangat membekas di hatinya.

Cio San kini berjalan dengan tenang. Rembulan bersinar dengan terang. Jalanan kota walaupun sudah mulai sepi, masih terasa hiruk pikuknya. Cio San saat ini, bukanlah Cio San beberapa jam yang lalu. Sepertinya ia telah menemukan semangat tambahan, bagi perjalanan hidupnya yang masih panjang.

Perjalanan hidup manusia, adakah mahkluk apapun di dunia ini yang bisa mengerti?

Langkahnya lebih ringan. Hatinya lebih mantap. Pandangan matanya lebih bersinar. Rembulan, jika dibandingkan dengan sinar mata Cio San saat ini, seharusnya merasa malu menjadi rembulan.

Dan karena matanya ini jugalah, Cio San segera sadar.

Ada sesuatu yang sedang terjadi. Memang telinganya dari tadi sudah paham bahwa ada suatu keramaian di depan sana. Ia masih belum tahu keramaian apa. Ternyata banyak orang sedang menonton ‘pertunjukan’.

Di malam seperti ini, memangnya ada pertunjukan?

Jika ada, itu pasti hanya satu.

Pertunjukan ‘manusia membinasakan manusia’.

Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.

Namun ini pertarungan yang aneh. Banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.

Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.

Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Ia tegak bagai karang. Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.

Dia berdiri gagah.

Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat tampan. Saking tampannya sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan manusia.

Matanya. Berwarna biru.

Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang china asli) masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.

Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik. Pastilah manusia yang sangat jahat.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana. Tidak mengeluarkan suara apapun. Tidak berkata apapun. Bahkan raut wajahnya pun tidak mengatakan apa-apa.

Kosong. Seperti padang pasir di tengah sunyinya malam. Sepi dan dingin.

Cio San seumur hidupnya baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini. Ia tertarik sekali. Sekali pandang ia tahu, semua mayat ini mati karena sebuah tusukan pedang di dahi mereka. Tapi tidak ada darah setetes pun yang mengalir dari luka itu.

Sebuah tusukan pedang. Tidak ada darah. Dan nyawa pun melayang. Penulis yang paling pandai pun mungkin tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya ilmu pedang ini.

Cio San akhirnya memberanikan diri untuk bersuara,

“Tayhiap (pendekar besar) yang terhormat, apakah salah belasan orang ini sampai mereka harus mati?” sambil bicara ia memberi hormat ala kaum bulim.

Orang tampan berbaju putih itu menoleh ke asal suara,

Ia memandangi Cio San. Tatapan mata biasa. Tidak ada yang bisa membaca arti pandangan itu. Memandangi wajah orang itu, seperti memandang lukisan kosong berupa kertas putih.

Lama baru ia menjawab,

“Lima orang yang di sebelah sana, adalah Tionggoan Ngo Koay (5 orang aneh tionggoan). Mereka pantas mati karena banyak memperkosa perempuan.”

Cio San terhenyak. Bukankah mereka itu yang dulu membunuh Kim Coa (ular emas), sahabatnya.

Si Baju putih melanjutkan lagi,

“Yang di dekat kakimu adalah Sie Kow Lam. Yang berjulukan Beruang dari Barat. Pantas mati karena membunuh pejabat Kho An Gan.”

Sie Kow Lam, Cio San tidak pernah dengar. Tapi siapa yang tidak kenal Kho An Gan? Pejabat Negara yang dikenal sangat jujur dalam pekerjaannya.

“Enam orang yang mati di sebelah sana, adalah Enam Bersaudara Berbau Darah. Siapapun tahu mereka pantas mati”

Memang Cio San tahu 6 Bersaudara Berbau Darah sudah sangat dikenal perbuatan sesatnya.

“Dan 3 sisanya adalah 3 orang mantan anggota perguruan Kun Lun Pay yang kedapatan merencanakan pembunuhan ketua mereka sendiri.”

Si Baju putih selesai bicara. Ia tetap menatap Cio San. Tetap tanpa apapun dalam raut wajahnya. Tidak ada kebanggan bahwa ia baru saja membunuh orang-orang berilmu tinggi yang namanya lumayan ditakuti dalam kalangan Bu Lim.

Membunuh belasan orang-orang hebat ini dengan sebuah tusukan pedang. Bahkan cerita kuda masuk lubang jarum pun rasa-rasanya jauh lebih masuk akal ketimbang mempercayai ada orang sehebat itu ilmu pedangnya.

“Kau tidak terima?” Ia bertanya. Masih dengan pandangan yang sama.

Cio San tersenyum, lalu berkata, “Semua orang tahu mereka memang pantas dihukum. Tayhiap beruntung sekali menemukan mereka semua sekaligus disini. Tapi memang untuk mencari bajingan-bajingan seperti mereka, rumah bordil macam Teng Teng ini adalah tempat yang cocok”

Ada sedikit perubahan di wajah si Baju Putih. Matanya bersinar sekilas. Dan bibirnya sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Senyum itu pun hilang secepat datangnya. Tapi Cio San bisa melihat itu dengan jelas.

Wajah si baju putih sudah kembali seperti sedia kala, saat ia berkata,

“Pikiran tuan cukup cerdas. Memang tidak salah dugaan tuan. Aku mengejar Sie Kow Lam sampai ke rumah bordil ini. Tak tahunya secara tidak sengaja bertemu dengan bajingan lain.”

“Perkenalkan nama cayhe (saya) Cio San. Bolehkah cayhe mengetahui nama tayhiap yang terhormat?” tanya Cio San sopan sambil memberi hormat.

“Aku tidak suka bersahabat dengan manusia.” Jawaban itu datang dengan dingin dan menusuk. Ia berbalik dan berjalan dengan tenang.

Cio San tetap tersenyum, lalu berkata,

“Cayhe mengerti, memang pedang jauh lebih berharga untuk dijadikan sahabat. Tidak mengenal nama pun tak mengapa. Toh manusia dikenal karena perbuatannya. Terima kasih untuk kehormatan ini. Cayhe sungguh kagum”

Si baju putih tetap melangkah pergi. Sekali meloncat ia sudah berada diatas rumah Teng Teng. Cio San dan para hadirin yang berada di sana hanya menatap punggungnya saja. Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia bertemu orang sehebat ini. Bahkan sikapnya saja sudah setajam pedang, bagaimana pula dengan permainan pedangnya?

Cio San bergidik. Alangkah sialnya orang-orang yang dimusuhi oleh si baju putih ini!


Related Posts: