EPISODE 2 BAB 26 KEMBALI MENJALANI HIDUP


Melangkah.

Kehidupan manusia pada intinya adalah melangkah. Kehidupan tidak pernah diam. Yang diam hanyalah yang mati. Jika seseorang tetap diam di masa lalunya, maka ia sebenarnya mati walaupun ia masih hidup. Cio San telah mati selama 3 tahun ini.

Tetapi ia sudah datang. Ia sudah pulang.

Melangkah memerlukan keberanian, sebab itu banyak orang yang memilih diam karena ia tidak memiliki keberanian. Bergerak memerlukan tenaga pula. Siapa yang tidak bergerak, maka dia orang yang malas atau sakit.

Diam hanya boleh dilakukan saat kita beristirahat dari gemuruhnya dunia. Setelah mengumpulkan kekuatan, seseorang harus bergerak lagi.

Perjalanan begitu panjang di hadapannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, harus melakukan apa pula. Tapi dari kejadian yang lewat baru-baru ini, Cio San melihat adanya sebuah rencana besar lagi.

Kaum persilatan tidak akan mungkin tertarik dengan Kitab Bu Bok. Kitab ini adalah kitab tentang siasat perang. Tidak ada yang menarik bagi ahli silat. Tetapi kitab ini adalah kitab dambaan para jendral perang. Kitab dambaan para kaisar!

Siapa gerangan La Ma yang sakti itu? Apakah ia benar-benar tertarik dengan kitab Bu Bok? Ataukah dia hanyalah orang suruhan? Ataukah dia adalah bagian dari sebuah persekongkolan jahat yang mempunyai rencana besar?

Ia tahu hidupnya tidak akan tenang lagi. Ia sudah cukup menikmati ketenangan selama 3 tahun. Sekarang saatnya kembali pada kehidupannya yang sebenarnya. Kehidupan yang penuh bahaya sudah menantinya di depan. Jika gerombolan La Ma itu cukup cerdas untuk melacak siapa Sam Siu sebenarnya dan membuat rencana seperti peristiwa yang lalu, mereka pasti juga cukup cerdas untuk mengambil kesimpulan bahwa kitab Bu Bok pasti sekarang berada pada dirinya.

Dengan penuh semangat ia berjalan. Lupa bahwa ia tidak punya uang sepeser pun. Selama ini sepanjang perjalanan ia selalu memetik buah atau menangkap hewan liar. Tetapi jika sudah masuk kota, maka untuk makan, seseorang harus punya uang.

Hal inilah yang membuat Cio San sedikit heran. Saat kecil dulu, ayahnya sering menceritakan kisah-kisah kepahlawanan. Ia sendiri juga sering membaca kisah hidup pendekra-pendekar besar seperti Kwee Ceng, Yo Ko, dan lain-lain. Di waktu dulu, ia merasa sangat kagum dengan kehidupan mereka yang penuh keberanian dan petualangan. Kini, yang ada di dalam kepalanya hanyalah sebuah perasaan heran.

Ya. Heran.

Para pendekar besar ini berkelana kesana kemari, dari mana mereka punya uang? Mungkin mereka bisa memetik buah atau menangkap hewan liar untuk makan. Tetapi apakah mereka tidak butuh baju? Jika mereka masuk ke sebuah kota, di mana mereka makan dan menginap? Menggunakan uang siapa pula? Jika mereka harus menggunakan jasa tukang perahu, siapa yang membayar? Apa mereka tidak butuh kuda? Kuda yang bagus sangat mahal harganya. Setidaknya untuk ukuran kantongnya.

Cio San tersenyum-senyum sendiri. Kehidupan para pendekar memang penuh suka duka. Herannya tak sedikitpun ia pernah membaca atau mendengar bahwa mereka pernah mengeluh kesulitan uang.

Sebenarnya sebagai seorang yang diangkat sebagai jendral kehormatan kekaisaran Beng dengan julukan ‘Hongswee’, harusnya hidup Cio San sangat menyenangkan. Ia bisa hidup nikmat hanya dengan mengandalkan julukan itu saja. Apalagi sang kaisar pun menganugerahkan sebuah lencana naga padanya. Lencana naga ini memberi kekuasaan yang amat sangat besar kepadanya. Siapa yang memiliki lencana naga ini dianggap seperti perwakilan kaisar langsung. Orang yang menunjukkan lencana naga maka seluruh ucapannya harus dituruti. Ini sudah ada dalam undang-undang dasar kekaisaran. Hanya ada 2 atau 3 orang yang memiliki lencana naga kekaisaran. Hanya kaisar pula yang boleh memberi atau mengambil kembali lencana itu.

Sayangnya Cio San tidak suka membawa lencana naga kemana-mana. Ia juga berpikir lencana itu tidak ada gunanya. Kebutuhannya hanya makan dan minum, mungkin 2 helai baju, dan seekor kuda tunggangan. Jadi Cio San tak sanggup membayangkan jika ia tidak punya uang untuk membayar makan di sebuah kedai, ia lantas menunjukkan lencana naga itu.

Mau ditaruh dimana kewibawaan kekaisaran ini jika pembawa lencana naga tidak punya uang untuk membayar makan?

Oleh sebab itu ia menyimpan lencana naga itu di sebuah tempat rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu.

Sebagai ketua perkumpulan terbesar di dunia, Kay Pang, ia juga sebenarnya mempunyai keuntungan yang besar. Partai ini adalah partai pengemis. Pengemis ada di seluruh dunia. Jika ia mau ia bisa memerintahkan para pengemis ini mencarikan makan untuknya. Markas perkumpulan ini pun tersebar di mana-mana. Asal ia memasukinya saja, akan ada ratusan orang berlutut di kakinya memberi hormat. Apalagi cuma urusan makan. Tetapi Cio San ini sudah bukan lagi pangcu (ketua) dari partai terbesar ini. Ia dulu sempat menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, dan menyatakan mengundurkan diri dari partai ini. Jika ia dengan jumawa datang ke markas partai ini, ia tetap akan disambut oleh ratusan orang. Bedanya, mereka akan menyambutnya dengan serangan mematikan. Oleh sebab itu Cio San pun mengurungkan niat untuk menghubungi Kay Pang. Apalagi menghubungi partai terbesar sedunia itu hanya untuk urusan makan atau pinjam uang.

Cio San juga pernah menjabat dari partai nomer dua terbesar di dunia persilatan, yaitu Beng Kauw. Partai ini dulu amat berjaya, bahkan sempat berperan besar dalam mengusir penjajah dan mendirikan kekaisaran Beng. Nama kekaisaran ini pun diambil dari partai ini. Karena banyak kejadian, orang-orang menyebut partai ini Mo Kauw, atau partai ‘iblis’. Cio San dulu pernah tidak sengaja pula diangkat sebagai Kauwcu (ketua) nya. Tetapi ia sudah mengundurkan diri pula dari partai ini. Jabatan ketua ia berikan kepada sahabat baiknya, seorang wanita, Ang Lin Hua. Wanita ini adalah istri dari sahabat baiknya, Suma Sun.

Sebenarnya walaupun sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua, banyak anggota Mo Kauw yang masih menganggapnya ketua. Hal ini terjadi karena mereka sangat mengagumi sepak terjang pemuda ini. Cio San pun mengetahui hal ini, karenanya ia mampu menggerakkan beberapa orang dalam pelaksanaan rencananya beberapa hari yang lalu. Tapi sungguh ia tidak punya muka untuk datang ke markas mereka untuk meminta makan atau meminjam uang. Karena ia tahu, orang-orang ini jauh lebih membutuhkan uang daripada dirinya.

Karena jika menyangkut hal hidup orang banyak, dan kepentingan umum, Cio San akan melakukan apa saja. Tetapi jika menyangkut dirinya sendiri, ia sangat sungkan merepotkan orang lain.

Selain ketiga ‘jabatan’ ini, Cio San pun masih memiliki suatu kelebihan. Yaitu ia telah dianggap bagian dari keluarga ‘Khu’. Keluarga ini adalah salah satu keluarga paling kaya di Tionggoan (China). Usaha mereka meliputi berbagai bidang. Toko dan tempat usaha mereka tersebar dimana-mana. Konon katanya, tempat usaha mereka ini jauh lebih banyak dari kantor pemerintah.

Kepala keluarga ini, yaitu Khu-hujin (Nyonya Khu) sudah menganggapnya seperti ‘anak’ sendiri. Bahkan juga menyetujui hubungannya dengan cucu sang Hujin, yaitu Khu Ling Ling. Mengingat nama ini, dada Cio San serasa sempit. Jantungnya bergetar tak karuan. Meskipun ia sudah melupakan nama ini, tetap saja dadanya terasa sakit saat mendengar namanya. Mungkin karena sebenarnya seseorang tidak bisa melupakan orang yang dicintainya. Ia hanya bisa mencoba untuk tidak mengingatnya.

Karena lupa dan tidak ingat sebenarnya adalah 2 hal yang berbeda.

Jika ia mau, ia bisa masuk ke kota mana saja, mencari cabang usaha keluarga Khu, dan mengambil apapun yang ia suka. Tetapi ia merasa amat tidak pantas jika seorang laki-laki memasuki toko mantan kekasihnya untuk meminta macam-macam. Selain tidak punya harga diri, laki-laki semacam ini juga tidak punya malu.

Oleh karena sebab-musabab di inilah, Cio San tidak melakukan apa-apa dan terus berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai. 

Ia pernah menjadi tukang masak di sebuah kedai. Pekerjaan ini sangat disukainya, bahkan ia yakin ia memiliki bakat dalam hal ini. Saat bekerja sebagai tukang masak inilah ia bertemu dengan Kwee Mey Lan, cinta pertamanya. Dan umumnya, cinta pertama selalu berakhir tidak mengenakkan. Cerita Cio San pun seperti itu. Oleh karena itu Cio San memilih untuk tidak menjadi tukang masak lagi. Ia takut ia akan bertemu dengan Kwee Mey Lan-Kwee Mey Lan berikutnya.

Ia lalu berpikir untuk menjadi pesilat jalanan. Pekerjaan ini cukup menjanjikan. Seseorang cukup memilih sebuah tempat di kota, paling baik jika di pinggir jalan. Ia cukup mempertontonkan kepandaiannya bersilat. Jika penonton kagum atas kepandaiannya, mereka akan memberi uang.

Cio San berpikir sebentar lalu mengambil keputusan. Ya, ia akan menjadi pesilat jalanan!

Setelah berkeliling sebentar di pusat kota, ia akhirnya menemukan sebuah pojok jalanan yang tidak begitu ramai. Dengan suara diberat-beratkan, ia lalu berteriak:

“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian, perkenalkan nama cayhe (saya) adalah A San. Cayhe datang dari jauh bukan untuk memamerkan kepandaian. Cayhe hanya ingin memberi tontonan yang menghibur kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian. Bagi saudara-saudara yang bisa ilmu silat, mohon maafkan cayhe yang sudah lancang. Sungguh cayhe tidak ingin menantang siapa-siapa, cayhe hanya ingin mencari sesuap nasi”

Setelah berteriak lantang, banyak orang yang berkumpul. Mereka penasaran ingin melihat kehebatan silat lelaki ini. Maklum, ilmu silat di jaman ini adalah sesuatu yang mengagumkan. Siapapun yang menguasainya akan memiliki nilai lebih di mata orang. Semakin hebat, semakin tinggi pula nilainya.

“Hooooop!” Cio San mulai bersilat.

Gerakannya mantap, luwes, dan lincah. Tentu saja ia tidak menunjukkan kemampuan silatnya yang sebenarnya. Jika ia mempertunjukkannya, tidak ada satu orang penonton pun yang akan sanggup melihat gerakannya yang sangat cepat itu.

Cio San mencampurkan banyak gaya silat. Ia bergerak dengan langkah gerakan Bu Tong yang terkenal ‘Melangkah Di Atas Awan’ tetapi menggabungkannya dengan pukulan khas Kay Pang, ‘Jurus Tongkat Memukul Anjing’.

Ilmu silat ini seperti asal-asalan, namun cukup indah juga dipandang. Tetapi ahli silat yang paham pasti tahu bahwa gerakan-gerakan seperti ini adalah gerakan ngawur yang tidak ada dalam pelajaran silat manapun.

Setelah bersilat cukup lama, penonton yang hadir pun semakin bertambah. Cio San menjadi semakin bersemangat untuk bersilat. Gerakannya tambah mengada-ada. Entah jurus apa yang sudah ia mainkan, intinya ia hanya ingin memperlihatkan keindahan bentuk, tanpa perduli gerakan itu benar-benar bisa dipakai dalam pertarungan sebenarnya.

“Berhenti!!!! Bubar! Bubar semua!”

Terdengar sebuah teriakan.

Saat orang-orang menoleh, ternyata mereka mengenalnya sebagai Tam-toako, atau kakak Tam. Tidak ada yang tahu nama panjangnya siapa. Semua mengenalnya dengan nama Tam-toako.

Kakak Tam.

Jika kau bertanya kepada seluruh orang-orang kecil di kota ini, mereka tahu siapa Tam-toako. Ia adalah kebanggan kota ini.

Ia adalah seorang pesilat jalanan pula, seperti Cio San. Dan tempatnya bersilat pun tepat di tempat Cio San bersilat. Seluruh orang yang ramai berkumpul di sini sebenarnya ingin tahu mengapa ada orang baru berani bersilat di tempat itu.

“Kau tahu siapa aku?” tanya Tam-toako sambil berjalan menembus kerumunan penonton. Tentu saja mereka semua memberi jalan kepadanya.

“Tidak” kata Cio San tersenyum sambil menggeleng.

“Jika tidak tahu, mengapa kau berani bersilat di sini?”

“Umpama aku mau buang air juga apa harus tahu siapa kau?” Cio San tertawa masam.

“Kurang ajar!” kata-kata dibarengi dengan serangan tendangan Tam-toako.

Untuk kalangan pesilat biasa, serangan ini cukup mengagumkan. Gerakannya cepat, dan tepat. Mengarah ke dagu Cio San. Tetapi mana bisa serangan pesilat biasa ini dipakai untuk menghadapi Cio San?

Ia menghindarinya dengan gaya yang dibuat-buat. Sedikit pura-pura takut dan menghindar ke belakang. “Aih, toako. Kenapa harus berkelahi? Semuanya kan bisa dibicarakan baik-baik.

Tam-toako tidak peduli. Berturut-turut ia melancarkan pukulan. Cio San menangkisnya sambil berpura-pura kesakitan.

Terjadi kekacauan karena semua penonton kini mulai memasang taruhan. Taruhan paling besar tentunya dialamatkan kepada Tam-toako. Selama ini tak ada seorang pun yang mampu menghadapi Ta.-toako!

Melihat ini Cio San bertanya, “Eh, jika aku menang, apakah aku akan dapat uang pula?”

“Tentu saja!” jawab para penonton.

“Kau tak akan menang!” Tam-toako menyerang tanpa kenal ampun.

Di umur 7 atau 8 tahun, saat Cio San masih sakit-sakitan dan belajar silat di Bu Tong pay, ia bisa mengalahkan Tam-toako dalam satu atau dua jurus. Apalagi dalam keadaan sekarang. Sayangnya Cio San sangat menikmati hal ini.

Ia menikmati dianggap remeh orang lain. Karena ia tidak pernah menyukai pujian. Ia mengerti betul bahwa dibalik pujian, terdapat kecemburuan dan iri hati yang besar.

Manusia amat sangat jarang memuji dengan tulus. Mereka memuji untuk menutupi rasa cemburu. Di dalam hati mereka tersimpan niat untuk menjadi lebih baik daripada orang yang dipujinya.

Tetapi memang ada juga orang yang tulus. Cuma jumlahnya amat sangat sedikit.

Mendengar kata ‘uang’ tentu saja Cio San bertambah semangatnya. Ia bukan mata duitan. Tetapi ia perlu makan dan berganti baju. Selama beberapa hari perjalanan, bau keringat dan debu sudah menempel cukup kuat di baju itu.

Dengan sebuah gerakan kecil, Cio San berhasil menjatuhkan Tam-toako. Gerakan ini dilakukan dengan cara pura-pura lari menghindar ketakutan. Tetapi si ‘kakak’ ini dengan cepat berdiri dan menyerang lebih ganas.

Mendapat serangan seperti ini Cio San seolah-olah tidak dapat menghindar. Ia menjadi tersudut karena tidak dapat mundur lagi. Sebuah pukulan memasuki ulu hatinya.

Duggg!

“Uhk!” terdengar suaranya merintih.

“Hahaha. Aku menang! Aku menang!” Tam-toako berteriak senang karena ia melihat Cio San terkapar dan tak dapat bangun lagi.

“Sekarang kau pergi! Jangan pernah bersilat di sini lagi. Tempat ini milikku! Jangan pernah bersilat di kota ini. Pergilah kau sejauh-jauhnya!” bentaknya.

Cio San menunggu agak lama baru ia berdiri. Dengan pelan ia berjalan meninggalkan tempat itu. Orang-orang memandangnya dengan penuh tawa dan cacian.

“Makanya, jangan sok jago! Hahahaha”

Sudah dihajar, tidak dapat uang pula. Ia melangkah dengan gontai. Udara sore bertiup sepoi-sepoi. Langit berwarna kuning cerah.

Ia duduk di pinggiran pantai. Mendengarkan deburan ombak dan angin pantai.
Lama sekali ia duduk di sana, hingga seseorang datang dan mengagetkannya dari lamunannya.

“Selamat sore” kata orang itu menjura.

Cio San tersenyum. Ia balas menjura pula.

“Dari 5 orang yang membuntuti ku sejak 3 hari yang lalu, hanya kau seorang yang tidak tertipu dengan sandiwaraku tadi”

Orang yang datang itu menunduk hormat. Ia masih muda. Pakaiannya rapi, dan wajahnya berwibawa. Sebelum ia berbicara, Cio San sudah membuka suara,

“Ada perlu apa kekaisaran mencariku?”

“Aih....sungguh hamba kagum. Tidak ada hal yang bisa disembunyikan dari Hongswee” kata orang itu menunduk kagum.

“Badanmu tegap. Raut wajah dan gerak tubuh menggambarkan pelatihan ketentaraan yang lama. Kau pasti tentara kerajaan. Apalagi aku baru saja melihat sebuah lencana ketentaraan tersembunyi di balik sakumu,” jelas Cio San.



Orang ini kembali tersenyum kagum. Katanya, “Sebaiknya hamba memang tidak perlu berbasa-basi kepada Hongswee. Nama hamba Nio Sin Kung. Sesungguhnya hamba mencari Hongswee karena ditugaskan oleh atasan hamba.”

“Siapa?”

“Kao Ceng Lun”

“Oh. Ada apa?” tanya Cio San penasaran.

“Telah terjadi pencurian di gudang istana kaisar”

Cio San terhenyak dan kaget. Kekagetannya bukan karena mendengar gudang istana dibobol maling. Melainkan karena ia heran mengapa mereka mencari dirinya, bukan Cukat Tong.

“Kenapa tidak bertanya kepada Cukat Tong? Aih....apakah ada sesuatu terjadi padanya?” ia bertanya cemas.

“Hamba hanya diperintahkan menyampaikan ini kepada Hongswee. Mengenai urusan lain, harap Hongswee tanyakan kepada atasan hamba, Kao-Bu Ciang (kolonel Kao)” jelas orang itu.

“Dia sudah berpangkat Bu Ciang? Hebat. Semuda itu. Di mana aku bisa menemuinya?”

“Beliau sedang berada di kota kelahirannya. Beberapa hari yang lalu, saat beliau sedang bertugas menyelidiki beberapa perkara, beliau mampir ke kota kelahirannya. Tak tahunya, di sana malah terjadi kejadian yang sama sekali tidak beliau duga. Ayah beliau dibunuh orang!”

“Hah?”

“Sebuah kejadian yang mengerikan sekali, Hongswee. Karena itu beliau tidak dapat menjemput sendiri dan memerintahkan hamba untuk menjemput”.

“Siapa yang memberitahukanmu tentang keberadaanku? Suma-tayhiap (pendekar Suma)?”

“Benar. Selama ini Suma-tayhiap selalu mengikuti perkembangan kehidupan Hongswee. Entah bagaimana caranya. Hamba mencari Hongswee sampai ke rumah Yan-wangwe, mendengar bahwa terjadi keributan. Lalu hamba mengusut hingga ke bio (kuil) di gunung timur. Kembali hamba terlambat pula karena ketika sampai di sana ternyata bio ini sudah kosong. Kemudian hamba mencari lagi hingga akhirnya sampai kemari”

Dalam hati Cio San tertawa. Memang tak ada satu hal pun yang bisa ia sembunyikan dari ‘serigala’. Ia juga cukup kagum dengan kecerdasan Nio Sin Kung yang mampu mencarinya sampai kemari.

“Aku akan segera berangkat. Kau pulanglah dahulu.” Kata Cio San kepadaa Nio Sin Kung.

“Apakah Hongswee akan berkunjung ke tempat Cukat-tayhiap (pendekar Cukat)? Beliau sekarang tidak menetap lagi di kota yang lama. Ini hamba bawakan peta tempat tinggalnya. Ini ada juga uang seadanya untuk perjalanan. Hamba juga suda menyediakan kuda. Itu yang tertambat di sana” katanya sambil menunjuk sebuah kuda putih yang amat gagah.

“Kalian para petugas kerajaan, memang sangat penuh perhitungan, sudah tahu apa yang akan kulakukan”

‘Semua ini atas petunjuk Suma-tayhiap, dan Kao-bun ciang (kolonel Kao). Mereka sudah memberitahukan kepada hamba bahwa Hongswee pasti akan mencari kabar Cukat-tayhiap dahulu. Oleh karena itu mereka berdua pun sudah menitip janji untuk bertemu dengan Hongswee di sana pada tanggal 14 bulan depan”

Cio San mengangguk.

“Untuk sekadar pengetahuan Hongswee, empat orang lain yang membuntuti Hongswee sudah pergi karena tertipu sandiwara Hongswee. Tetapi kami sudah mengirim orang juga untuk membuntuti mereka. Dalam satu dua hari, kami akan mendapatkan kabar jati diri mereka.”

Cio San tahu, yang dimaksud dengan ‘kami’ adalah ‘Kim Ie Wie’, yang berarti ‘Pengawal Baju Sulam’. Pasukan ini adalah pasukan rahasia milik kekaisaran. Bertugas untuk menyelidiki segala urusan rahasia. Mereka bahkan diberi kekuasaan untuk menangkap, menghukum, dan membunuh jika diperlukan. Mereka tidak membutuhkan ijin untuk melakukan itu semua. Kaisar telah memberi kekuasaan yang besar kepada pasukan ini.  Sebuah pasukan yang menakutkan.

Ia hanya mengangguk, dan berkata “Baik, terima kasih. Sekarang juga aku berangkat.”

“Selamat jalan. Semoga Thian (langit) memberi perlindungan hingga sampai di tujuan”


“Terima kasih”


(Kim Ie Wie/Jinyiwei: http://en.wikipedia.org/wiki/Jinyiwei)

Related Posts:

CATATAN KECIL TENTANG KEKAISARAN MING (BENG)


Cio San hidup pada jaman kekaisaran Beng. Dalam dialek mandarin, disebut kekaisaran ‘Ming’. Mengapa saya menyukai kekaisaran ini, saya pun kurang tahu. Rasanya lebih longgar aja menulis cerita dengan latar belakang kekaisaran Beng ini.

Saya sempat menyusun ‘timeline’ kekaisaran ini untuk dicocokkan dengan kisah di novel ini. Dan yang saya temukan menarik. Timeline nya sungguh sangat cocok dengan isi cerita yang saya karang. Jadi seolah-seolah seperti fiksi dan fakta bercampur menjadi satu. Terus terang, sebuah cerita fiksi akan lebih asik dinikmati jika memiliki latar belakang fakta yang benar-benar terjadi.

Sekedar fakta untuk diketahui teman-teman, kekaisaran Beng ini berdiri di tahun 1368. Saat itu pendirinya yang bernama ‘Cu Goan Ceng’ berusia 40 tahun. Kaisar ini kemudian mempunyai namanya bangsawan ‘Hong wu’. Jadi, ia dikenal dengan nama kaisar Hongwu. Di dalam novel ini, kaisar ini merupakan sahabat karib dari kakeknya Cio San. Mereka bersama bahu membahu mengusir penjajah Mongol, dan mendirikan kerajaan Beng. Kaisar Hongwu inilah yang di dalam cerita ‘Golok Membunuh Naga’ karya Chin Yung, merupakan orang yang diberikan kitab Bu Bok oleh Thio Bu Kie.

Seperti layaknya kekaisaran, seorang putra mahkota harus dipilih sejak awal oleh sang kaisar sendiri untuk kemudian menggantinya bertahta. Putra mahkota ini menurut tradisi, dipilih dari antara anak-anaknya sendiri yang semuanya bergelar ‘Pangeran’. Sayang, putra mahkota yang telah terpilih itu meninggal di usia muda sebelum ia menjabat menjadi kaisar menggantikan ayahnya, kaisar Hong Wu. Di jaman itu, menikah di usia remaja adalah hal yang biasa. Sebelum meninggal sang putra mahkota ini sudah memiliki seorang anak.

Masalah kemudian terjadi ketika kaisar Hongwu tidak memilih putra mahkota dari pangeran-pangeran yang ada, yang nota bene adalah anak kandungnya sendiri. Ia malah memilih putra mahkota dari anak putra mahkota yang meninggal tadi. Dengan kata lain, kaisar Hongwu tidak memilih penggantinya dari para pangeran yang ada (anak-anaknya sendiri), tetapi ia malah memilih pengganti dari para cucunya.

Maka saat kaisar Hongwu meninggal, naiklah cucunya menjadi penggantinya, pada umur 14 tahun. Hal ini menimbulkan kecemburuan tersendiri dari para pangeran, yang merupakan paman dari kaisar muda ini. Kaisar muda belia ini bernama kaisar Jian Wen dalam dialek mandarin (terus terang dialek hokkiannya saya tidak tahu. Kiam Wan mungkin? Entahlah). Kaisar Jian Wen inilah yang menjadi tokoh bhiksu, ayah dari Sam Siu, alias Cu Wan Gui.

Dalam sejarah yang asli, kaisar ini hanya memerintah selama 3 tahun, sebelum salah pamannya melakukan pemberontakan. Saat pemberontakan itu, sang paman menyerbu dengan ribuan pasukan, serta membakar istana kekaisaran. Dikabarkan kaisar Jian Wen mati dalam serangan itu. Tetapi dalam sejarah tertulis, kaisar ini berhasil selamat bersama anaknya yang baru berumur 1 tahun, yaitu Cu Wan Gui (di dalam novel KPPL bernama Sam Siu).

Sejarah menceritakan pula, bahwa permaisuri  yang bermarga ‘Ma’, tidak berhasil menyelamatkan diri, dan membiarkan tubuhnya terbakar, demikian pula anak mereka yang pertama tewas pula dalam kejadian itu. Setelah kejadian ini, ada beberapa catatan yang menceritakan bahwa kaisar yang terusir ini mengasingkan diri sebagai bhiksu Buddha secara rahasia.

Sang paman, yang kini menjadi kaisar baru berjulukan kasiar Yong Lu, mengadakan banyak penugasan rahasia untuk menyelediki dimana keberadaan keponanakannya itu. Bahkan katanya, ekspedisi armada laut Ceng Ho pun ada hubungannya dengan pencarian kaisar yang hilang itu.

Nah, kaisar Yong Lu ini adalah kaisar yang muncul di KPPL pertama. Sebagai orang yang hampir dibunuh oleh Beng Liong dan komplotannya. Dan juga sebagai kaisar yang memberi julukan ‘Hongswee’ pada Cio San.

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, kaisar ini memerintah dengan cukup adil dan cerdas. Ekonomi rakyat bertambah maju dan dan banyak penemuan-penemuan mutakhir pada jamannya. Ekspedisi mencari dunia baru melalui armada maritim Ceng Ho juga sangat terkenal.

Sedikit informasi, Cio San lahir tepat di tahun 1400. Kaisar Jian Wen diturunkan dari tahta oleh pamannya, kaisar Yong Lu, di tahun 1402. Jadi saat itu Cio San baru berumur 2 tahun. Ketika Cio San menyelamatkan kaisar Yong Lu dari serangan Beng Liong, saat itu Cio San berumur 20 tahun. Berarti kejadian itu terjadi di tahun 1420.

Cio San kemudian berkelana di dunia persilatan dan menjadi terkenal selama 5 tahun. Berarti kejadian di Lembah Naga dimana Khu Ling Ling memutuskan cinta mereka, saat itu tahun 1425, Cio San berumur 25 tahun.

Seperti yang kita ketahui, Cio San lalu menghilang selama 3 tahun. Selama menghilang itu dipecah menjadi 1 tahun berkelana seorang diri, dan 2 tahun tinggal bersama Sam Siu/Cu Wan Gui. Jadi ketika kejadian Cio San mematahkan persekongkolan kitab Bu Bok ini terjadi saat ia berusia 28 tahun.

Oh iya, secara singkat saya ceritakan tentang asal-usul kitab Bu Bok. Dalam dialek mandarin, kitab ini di sebut kitab Wu Mu, atau Book of Wu Mu. Kitab ini ditulis oleh seorang jendral ternama bernama Gak Hui atau lebih terkenal dalam ejaan mandarin, Yue Fei. Jenderal ini sangat legendaris, karena dianggap sebagai salah satu jenderal terbaik yang ada di dunia.

Book of Wu Mu ini kemudian berpindah tangan sampai jatuh ke tangan pendekar Kwee Ceng dalam fiksi karangan Chin Yung berjudul ‘Legend of Condor Heroes’ (Sin Tiauw Eng Hiong/ Shen Dao Ying Xiong). Lalu berpindah lagi ke tangan Ciu Cie Jiak, ketua Go Bi-pay. Lalu berpindah lagi ke tangan Thio Bu Kie, lalu berpindah ke tangan Cu Goan Cu alias kaisar pertama kerajaan Beng. Konon dengan ilmu dari buku inilah Cu Guan Cu meraih kemenangan dan berhasil mengusir penjajah.

Sekarang, menurut novel KPPL episode 2 bab 25, book of Wu Mu, atau Kitab Bu Bok tersebut berada di tangan Cio San. Yang ia terima dari kaisar kedua, sang kaisar terusir, Jian Wen.

Anyway, ini link wikipedia:

Jendral Gak Hui atau Yue Fei: http://en.wikipedia.org/wiki/Yue_Fei

Kitab Bu Bok atau Book of Wumu: http://en.wikipedia.org/wiki/Book_of_Wumu

Related Posts:

EPISODE 2 BAB 25 YANG MULIA



Wan Gui masih menatap jauh ke depan. Matanya tak pernah ingin melepas bayangan itu pergi. Cio San tahu, tak ada yang sanggup ia lakukan.
Ia berbalik lalu menghadap kepada ayah Wan Gui. Ia berlutut dan memberi hormat,

“Semoga Kaisar panjang umur!”

Ayah Wan Gui diam saja. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Lalu dengan suara halus ia berkata, “Aku sudah bukan kaisar lagi, tidak perlu sungkan”
Cio San masih berlutut.

“Bangkitlah!” perintahnya masih berwibawa. Suaranya masih membuat hati gentar. Orang ini masih pantas menjadi kaisar.

Cio San berdiri, ia tahu sang ‘kaisar’ ini tidak ingin diperlakukan seperti kaisar lagi. Sambil menjura, Cio San berkata, “Hamba mengusulkan bagi Yang Mulia untuk segera menyelamatkan diri dari sini”

“Kami pun mengusulkan hal yang sama” sahut kelima orang bhiksu pengawalnya.

Ayah Wan Gui lalu bepikir sebentar, ia berkata, “Aku tidak ingin lari dan bersembunyi lagi. Biarlah mereka datang. Aku hanya ingin menitipkan Kitab Bu Bok kepada kau, Cio San. Bawalah dan jaga kitab ini jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat”

Cio San menunduk, betapa ia tidak mungkin memaksa orang ini untuk berubah pendapat.

“Yang mulia, jika jalan kehidupan masih bisa diambil, mengapa memilih jalan kematian?” tanyanya sopan.

Sang ‘kaisar’ menatap Cio San dalam-dalam dan berkata, “Aku sebenarnya sudah mati sejak dahulu. Tetapi langit masih memberi kesempatan untuk bertobat dan mengikuti jalan buddha. Kehidupan sudah tidak berarti bagiku,” jawabnya datar.

 Cio San menjura lagi, “Jalan buddha adalah jalan kehidupan, pengasihan, dan pengampunan. Hamba yakin, Yang Mulia akan memilih jalan ini.”

Lelaki setengah baya itu terdiam. Di matanya mengambang air mata. Ia menatap pula punggung anaknya yang masih berdiri di kejauhan, melepas pergi orang yang dikasihinya.

“Kehidupan manusia penuh nafsu. Seseorang tak pernah bisa lepas dari hal ini sampai ia mati,” katanya sambil menerawang jauh. “Tapi kau benar, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang tidak menghargai kehidupan”

Betapa bahagianya Cio San mendengar hal ini.

Sang ‘kaisar’ menoleh kepada para bhiksu pengawalnya dan berkata, “Para saudaraku sekalian, mari kita pergi!”

Agak terhenyak juga Cio San mendengar ini. Pergi ke mana? Kenapa tidak membuat persiapan? Bekal?

Tapi ia adalah orang yang berpikiran ‘mengalir’. Ia cuma tidak menyangka ada orang yang berpikiran yang sama seperti dirinya.

Kelima hweesio itu memimpin jalan di depan. Sang ‘kaisar’ mengikuti dari belakang. Cio San menoleh kepada sahabatnya yang jauh berdiri di sana.
Ia berjalan padanya dan menyentuh pundaknya.

“Siu-ko, ayo kita pergi”

Sahabatnya itu menoleh kepadanya sebentar. Lalu membuang muka. Cio San mengerti bahwa sahabatnya ini sedang murka kepadanya. “Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu” katanya pelan.

Sam Siu tidak menoleh. Ia berjalan mengikuti rombongan yang tadi sudah berangkat. Cio San mengikutinya dari belakang.

Perjalanan ini melalui gerbang belakang bio (kuil). Seorang bhiksu pengawal mundur ke belakang Cio San dan mulai menghapus jejak. Nampaknya ia sangat terlatih dalam hal ini. Setelah beberapa jam mereka berjalan menembus hutan dan menaiki bukit, sampailah mereka di depan sebuah air terjun kecil yang indah.

Cio San terkagum-kagum saat melihat keindahan ini. Apalagi pantulan percikan air menciptakan pelangi kecil yang melengkung indah. Selain dia, tiada satu pun dari rombongan ini yang kagum. Sepertinya mereka memang sudah sering ke tempat ini.

Jalan yang kemudian mereka ambil adalah sebuah jalan setapak yang sangat licin. Bebatuan pegunungan yang keras dan terjal pun mereka lalui. Bahkan sampai harus merangkak, memanjat, dan merayap.

Lalu mereka sampai tepat di balik air terjun. Suara air terjun itu lumayan keras juga. Percikan airnya sampai membasahi tubuh mereka semua. Salah satu bhiksu pengawal lalu menekan sebuah batu. Ternyata batu ini berfungsi sebagai sejenis tuas yang membuka sebuah pintu rahasia.

Di balik pintu ini ternyata adalah sebuah goa rahasia yang indah. Mereka semua masuk, dan kembali si pengawal menutup pintu rahasai dari dalam.

Melihat keadaan goa ini, Cio San teringat keadaan dulu saat ia terjebak di goa bawah tanah. Suasananya hampir mirip, kecuali bahwa goa ini ternyata memiliki sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding batu yang memiliki lubang-lubang.

Di dalam goa pun mengalir sungai kecil serta memiliki tumbuh-tumbuhan beraneka ragam. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk, serta persediaan yang cukup banyak, tanaman ini dapat tumbuh dengan subur.

Persedian makan dan minum yang berlimpah, tempat tinggal yang tersembunyi, suasana yang bersih dan sehat, goa ini adalah sebuah tempat persembunyian yang sempurna!

“Kau pasti heran melihat keadaan goa ini. Aku justru menemukan tempat ini berdasarkan petunjuk yang berada di dalam kitab Bu Bok,” kata sang ‘kaisar’ kepada Cio San yang mendengarkan dengan mengangguk-angguk.

Mereka kemudian beristirahat dengan cara duduk bersandar. Beberapa orang pengawal memetik buah dan mengambilkan air minum.

Setelah selesai menikmati makanan ini, sang ‘kaisar’ berkata, “Kau nampaknya harus menceritakan asal mula keadaan ini, Cio-hongswee.”

Bahkan kaisar yang ini pun memanggilnya dengan sebutan Hongswee. Sang jenderal Phoenix!

Cio San bercerita tentang awal pertemuannya dengan Sam Siu atau Wan Gui. Ia bercerita pula saat mereka di terima kerja di rumah keluarga Yan.

“Ketika mengetahui bahwa nona Yan menyukai Siu-ko (kakak Siu), hamba menjadi curiga. Walaupun cinta antara wanita kaya raya dan pemuda miskin memang pernah ada, tetapi hal ini lebih banyak terjadi di dalam puisi dan cerita-cerita karangan penyair belaka,” jelas Cio San.

Sang ‘kaisar’ hanya tersenyum. “Lanjutkan.”

Sam Siu atau Wan Gui yang mendengarkan dari jarak yang cukup jauh hanya memandang wajah tak perduli. Ia menatap kosong ke langit-langit goa.

“Hamba hanya curiga, apa maksud nona Yan sebenarnya. Apalagi ada kejadian ia dijodohkan lalu seolah-olah memancing Siu-ko untuk kawin lari. Dalam pengetahuan hamba, seorang perempuan secantik nona Yan, yang hidup dalam kemewahan dalam seumur hidupnya, pasti akan berpikir 1000 kali untuk kawin lari dengan seorang pemuda....yang...eh..tidak memiliki apa-apa”.

Si kaisar tak tahan untuk memotong, “Kau nampaknya memiliki kebencian terhadap perempuan?”

Cio San ingin tertawa dan berdalih, tapi akhirnya ia berkata, “Walaupun hamba tidak membenci perempuan, hamba memeiliki beberapa pengalaman yang mengajarkan kepada hamba untuk lebih hati-hati dalam menghadapi perempuan”

Sang ‘kaisar’ ini tersenyum bijak.

Cio San melanjutkan, “Hamba terpaksa harus menyelidiki hal ini. Kecurigaan hamba terbukti ketika suatu hari, saat hamba sedang berjalan dengan Siu-ko, hamba ditotok seorang tidak dikenal. Ini bukan totokan mematikan. Si pelaku hanya ingin tahu apakah hamba bisa silat. Dengan begitu dia bisa menyusun rencana seandainya hamba terlibat dalam urusan ini. Dia pun hanya ingin tahu apakah hamba merupakan pengawal rahasia dari Siu-ko. Oleh karena itu hamba merelakan ditotok, agar jati diri hamba tidak diketahui.”

Lanjutnya,


“Kecurigaan hamba bertambah pula saat hamba menyadari bahwa kuda kesayangan Yan-wangwe (hartawan Yan) ternyata tidak menyukai tuannya sendiri”

“Dari mana kau tahu?” tanya sang ‘kaisar’.

“Hamba menyadari saat Siu-ko berkata si kuda ini merasa tidak nyaman saat dikendarai Yan-wangwe. Padahal kuda itu sudah menjadi tunggangannya selama setahun lebih. Kesimpulan yang hamba ambil adalah bahwa, sang kuda tahu bahwa orang yang menungganginya ini bukan lah tuannya”

‘Kaisar’ tua itu hanya mengangguk-angguk.

“Begitu menyadari ini, hamba mencari tahu keadaan pengurus kuda sebelum kami. Katanya ia dipecat tanpa sebab. Ia kemudian mati bunuh diri meminum racun. Tapi menurut perhitungan hamba, ia tentu dibunuh. Mengapa dibunuh? Karena sebagai pengurus kuda, ia pasti sadar juga bahwa Yan-wangwe yang ini adalah Yan-wangwe palsu! Kudanya sendiri tidak mengenalnya. Padahal selama ini Yan-wangwe begitu akrab dengan kudanya. Karena hal inilah si tukang kuda itu dibunuh untuk menghilangkan kecurigaan. Ia katanya mati bunuh diri dengan mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumannya. Tetapi orang yang mau berpikir akan mengerti bahwa jika seseorang ingin bunuh diri dengan racun, ia akan langsung meminumnya. Tidak perlu mencampurkan dengan makanan atau minuman. Pasti ada orang lain yang menaruh racun di makanan dan minumannya”

“Pemikiran yang bagus” puji sang ‘kaisar’.

“Setelah mengetahui bahwa Yan-wangwe ini palsu, maka hamba pun mengambil kesimpulan bahwa Yan-siocia (nona Yan) juga palsu. Kini yang hamba perlukan hanyalah alasan mereka melakukan semua ini.”

Lanjutnya, “Hamba baru bisa mengerti alasan semua ini, setelah hamba, eh, menemukan cincin milik Siu-ko (kakak Siu)”

“Oh, jadi kau pun memeriksa barang ku pula. Bagus sekali perbuatanmu” tukas Sam Siu dari jauh.

“Lanjutkan ceritamu, Cio San” perintah sang ayah.

“Dari cincin itu, hamba mengetahui siapa Siu-ko yang sebenarnya”

“Nah, menarik. Coba jelaskan bagaimana kau mengetahui jati dirinya hanya berdasarkan sebuah cincin.”


“Awalnya tiada yang aneh. Sebuah cincin berwarna merah dengan ukiran huruf “Ma” atau yang berarti ‘Kuda’. Pertamanya hamba mengira huruf ini adalah she (marga) asli dari Siu-ko. Atau juga mungkin nama julukan, karena Siu-ko sangat ahli dalam urusan kuda”

Lanjutnya,

“Sampai saat itu, hamba belum bisa menebak siapa Siu-ko sebenarnya. Pikiran hamba baru terbuka setelah hamba menyadari bahan cincin itu. Cincin itu terbuat dari bahan yang tidak umum. Walaupun bahan itu bahan umum, tetapi jarang sekali orang membuat cincin dari bahan ini. Bahan ini bernama ‘Cu’ (Zhu dalam dialek mandarin. Berarti ‘Vermililion’, atau bahan ‘Cinnabar’ sejenis bebatuan yang dipakai juga untuk bahan pewarna).”

“Apa yang kau temukan dalam bahan ‘Cu’ itu?” tanya sang ‘kaisar’.

“Nama asli keluarga kekaisaran yang sekarang adalah she (marga) 'Cu'. Hamba menemukan setelah mencoba mengingat-ingat sejarah. Kaisar kedua di dalam dinasti ini, bernama Cu Yun Wan. Ia diangkat menjadi kaisar pada umur 14 tahun, menggantikan ayahnya yang meninggal sebelum menjadi kaisar. Pengangkatan ini mengakibatkan adik dari ayahnya yang merasa lebih berhak, untuk memberontak. Sang pemberontak itu kemudian menjadi kaisar ketiga dinasti Beng, bernama kaisar Yong Lu.”

Si bhiksu ini hanya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.

“Nasib kaisar kedua ini tiada seorang pun yang tahu. Istananya dibakar seluruh keluarganya meninggal. Tapi hamba mengetahui dari cincin itu, dengan bahan ‘Cu’ yang melambangkan nama keluarga, serta huruf ‘Ma’ atau ‘kuda’ yang merupakan nama marga asli dari permaisuri. Setelah hamba mengingat-ingat, nama permaisuri itu adalah...”

“Cukup. Jangan kau sebut namanya,” air mata telah meleleh di pipi sang ‘kaisar’. “Lanjutkan saja ceritamu.”

“Setelah hamba mengetahui latar belakang ini, hamba mengambil kesimpulan bahwa Siu-ko adalah keturunan dari kaisar ini. Ia mungkin selamat dari pembakaran istana dan pembunuhan keluarganya. Dan mungkin saja ia membawa pusaka-pusaka berharga. Karena setahu hamba, banyak pusaka dan kitab yang hilang saat pembakaran istana itu.”

“Mengetahui ini, hamba mencoba memainkan saja permainan ini. Menyusun rencana sebaik mungkin agar para penjahat ini tidak mengetahui bahwa hamba sengaja melakukannya justru agar dapat membongkar persekongkolan ini. Karena jika tidak ditangkap tangan, amat sangat sulit membuktikannya.”

Lanjutnya,

“Hamba menuliskan rencana dengan matang, lalu mengumpulkan beberapa anak buah hamba yang tersebar di kota itu. Kemudian  membuntuti para penjahat itu kemari. Sisanya, Yang Mulia sudah mengerti sendiri.”

“Bagus” tukas sang kaisar. “Kau memang memiliki kemampuan. Sungguh tidak menyesal aku bertemu denganmu. Tidak menyesal”

Tetapi di seberang sana, anaknya merasa sungguh menyesal. Wajahnya masih membatu, matanya pun masih menerawang.

“Kau telah bercerita cukup panjang. Kini giliranku yang bercerita.”

“Hamba mendengar dengan seksama, Yang Mulia” kata Cio San.

“Kejadian itu pemberontakan itu memang benar. Pamanku sendiri yang menghancurkan istanaku. Saat itu aku menggendong Wan Gui, dan anakku yang pertama digandeng oleh istriku. Entah bagaimana ia sedikit tertinggal di belakang, lalu sebuah kayu palang atap terbakar dan roboh. Memisahkan kami. Aku hendak kembali tetapi para pengawal melumpuhkanku dan aku hilang kesadaran. Tahu-tahu aku sudah berada di tempat lain. Saat kami kabur, beberapa pengawalku sempat menyelamatkan sebagain pusaka yang penting, termasuk Kitab Bu Bok. Berdasarkan petunjuk dalam kitab inilah aku menemukan tempat ini. Dengan sisa uang yang ada kami membangun kuil buddha dan hidup menyepi disini. Kau tentu tahu apa isi kitab Bu Bok bukan?”

Cio San mengangguk dan menjawab, “Kitab itu adalah kitab kuno yang ditulis oleh jendral Gak Hui (Yue Fuei dalam dialek mandarin). Kitab ini berisikan segala petunjuk mengenai peperangan. Konon katanya siapapun yang menggunakan petunjuk yang ada di dalamnya tidak ada kalah dalam perang. Saat menghadapi serbuan bangsa Goan (Mongol) dahulu, leluhur pendekar besar nan sakti, Kwee Ceng, menyimpan kitab ini di dalam golok sakti bernama ‘Golok Pembunuh Naga’. Dalam perjalanannya, tetua hamba di Bu Tong-pay, Thio Bu Kie-cianpwee (yang lebih tua) lah yang memiliki kitab itu. Kemudian saat beliau mengundurkan diri, kitab ini beliau serahkan kepada orang yang kemudian menjadi kaisar pertama, Yang Mulia Cu Guan Ceng, yang merupakan kakek dari anda, Yang Mulia.”

“Benar sekali. Oleh karena itu, kitab ini adalah warisan leluhur kita. Harus dijaga dan tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat. Jika tidak, seluruh kerajaan ini akan hancur.”

Cio San menjura.

“Ketahuilah bahwa kerajaan pun selama ini mengejar-ngejar aku. Mereka mengira dengan membawa kitab ini, aku akan mengumpulkan pasukan dan memberontak. Padahal tidak ada niatku sama sekali. Aku hanya berharap kitab ini jangan lagi digunakan untuk menyerang dan membunuh orang lain. Sampai kaisar yang ketiga, yaitu pamanku, wafat pun, kerajaan sampai saat ini masih mengejarku. Oleh karena itu, jika kau bersedia, kumohon bawalah saja kitab ini. Biarkan aku hidup tenang, dan mengikuti jalan Buddha” sambil berkata begitu, ia lalu beranjak mengambil sesuatu dari balik dinding di belakang tempat duduknya. Sebuah kitab. Lalu ia menyerahkannya dengan sopan dan sambil menunduk kepada Cio San.

Sekali lagi pendekar muda ini menjura. Diberikan tugas seberat ini, entah bagaimana ia menjalankannya. Apalagi sang kaisar yang terusir ini sampai membungkuk sedemikian rupa kepadanya.

“Terima kasih atas apa yang sudah kau perbuat. Omitohoud (Buddha welas asih)...Omithoud....” sang kaisar memberi salam seperti kaum Buddha lalu memejamkan matanya dan bersemedi.

Cio San bersoja (berlutut dan memberi hormat) sebentar, lalu berdiri dari situ. Kelima pengawal pun nampaknya sudah menutup mata dan bersemedi pula.

Hanya Sam Siu atau Cu Wan Gui yang masih membuka mata. Sepasang mata itu pun menatap Cio San dengan sangat tajam.

“Ada banyak hal yang harus kau jelaskan kepadaku”

“Begitu banyak, dari mana harus ku mulai?”

“Tentang cinta sejati. Kau berjanji menunjukkan kepadaku tentang cinta sejati. Nampaknya berupa kebohongan belaka.”

“Justru apa yang terjadi padamu adalah cinta sejati” kata Cio San sungguh-sungguh.

“Jelaskkan kepadaku”

“Cinta sejati, bukanlah cinta yang berakhir dengan kebahagiaan. Walaupun banyak yang berakhir dengan bahagia, banyak pula yang berakhir menyedihkan. Tetapi cinta sejati adalah cinta sejati. Memiliki dirinya atau tidak, kau tetap menyayanginya. Mengharapkan kebahagiaan dan kehidupan terbaik kepadanya. Mendoakannya, bahkan menantinya. Ia akan melukaimu berkali-kali, tapi kau tahu dengan pasti, kau pun akan memaafkannya berkali-kali pula. Karena cinta sejati mengalahkan takdir. Takdir mungkin akan mempersatukan dua orang di dalam pernikahan, tetapi takdir tak dapat menghalangi seseorang untuk terus mencintai meskipun apapun yang terjadi. Karena cinta sejati adalah milik hatimu. Bukan milik orang lain, bukan milik takdir. Engkaulah yang akan menentukan untuk terus mencintainya atau tidak. Kau menuliskan takdirmu sendiri terhadap perasaan cintamu. Inilah yang dinamakan cinta sejati”

Mendengar penjelasan yang panjang lebar itu, Cu Wan Gui hanya terdiam. Air mata mengalir deras di pipinya.

Cio San melanjutkan,

“Jika kau tidak mengalami kejadian memilukan seperti ini, kau tak akan pernah tahu cinta yang sebenarnya. Jika aku membongkar semua persekongkolan ini dari awal, kau tak akan mencintai Lim Siau Ting dengan begitu dalam. Walaupun ia palsu, yang kau tak tahu wajah aslinya seperti apa, sifatnya seperti apa, kehidupannya seperti apa, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu memaafkan segala kebohongannya. Akan membuatmu menerima dia apa adanya. Membuatmu menanti di dalam penantian yang panjang hanya untuk bertemu dengannya sekali saja”

“Kau rela membiarkanku jatuh ke dalam penderitaan sekejam itu?” tanya Cu Wan Gui.

“Umpama aku harus membuangmu ke dalam sebuah jurang penuh ular berbisa, asalkan aku yakin kau akan selamat dan akan berubah menjadi seorang lelaki yang lebih baik, aku akan tetap melakukannya”

Cu Wan Gui mengangguk. Ia mengerti sekarang. Air mata masih meleleh di pipinya. Air mata persahabatan!

“Baik! Kau pergilah. Saat aku telah menjadi lelaki sejati seperti yang kau inginkan, aku akan mencarimu!” katanya tegas dan lantang.

Cio San mengangguk, “Ketika saat itu tiba, giliran kau yang akan melemparkanku ke jurang penuh ular agar aku bisa menjadi orang sepertimu!”

“Baik!”

“Baik!”

“Aku pergi!”


“Selamat jalan, sahabat!”

Jian Wen emperor

Related Posts:

EPISODE 2 BAB 24 LELAKI YANG MENUNGGU

Sang ayah terkejut melihat hal ini, tetapi wajahnya tenang. Lalu dengan dingin ia bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”

“Kitab Bu Bok” jawab si bhiksu hitam.

Ayah Sam Siu tersenyum dingin. “Walaupun kalian membunuh kami, kitab itu tak akan ku serahkan”

“Sayang....sayang...apa yang kau lakukan?” Sam Siu bertanya tak percaya. Jauh di dalam hatinya ia telah mengerti apa yang terjadi.

Yan Niu Niu tertawa dingin, “Kau lelaki bodoh. Sampai kapan kau mau menutupi jati dirimu?”

Sam Siu terkulai lemas, tidak menyangka jika selama ini ia telah dijebak. “Apakah...apakah...A San mengkhianatiku pula? Aih....”

“Sahabatmu itu sudah jadi abu gosong” sahut nona mungil pelayan.

Tak terkira betapa hancur hati Sam Siu. Ia kehilangan seluruh tenaga dan semangatnya.

Beberapa bhiksu muda yang berjumlah 5 orang itu diam tak bergerak. Berdiri tegak melindungi ayah Sam Siu.

“Jika kau tidak menyerahkannya baik-baik, aku akan membunuh kalian semua dan mengobrak abrik kuil ini. Bukankah lebih baik kau berikan saja kitab itu dan kami akan pergi secara baik-baik,” kali ini Yan-wangwe yang berbicara.

“Umpama kau benar-benar mau menghancurkan kami semua pun, buku itu tersimpan di tempat rahasia. Kau tak akan bisa menemukannya”

“Siau Ting, petehkan saja leher anak itu,” perintah si bhiksu hitam. Ternyata nama asli Yan Niu Niu adalah Siau Ting.

Saat Siau Ting akan menggerakaan tangannya, tahu-tahu angin deras telah menghantam tubuhnya dari belakang. Tak ayal tubuhnya terlempar ke depan dan Sam Siu lepas dari pegangannya. Kelima orang Bhiksu pengawal ayah Sam Siu dengan sigap menangkapnya.

Begitu terkejut si Bhiksu hitam ketika mengetahui ada orang bisa membokong tanpa sepengatahuannya. Dengan cepat ia menyerang ke arah pembokong itu.
Si pembongkong tidak menerima serangan itu, malahan ia berjumpalitan menghindar sambil melepaskan sebuah pukulan.

Sebuah pukulan yang amat sangat terkenal.

“Naga Menggerung Menyesal”

Terdengar suara raungan naga saat si pembokong meneriakan kata-kata itu. Dari tangannya pun terlihat sinar keemasan yang berbentuk meneyrupai naga.
Si bhiksu tua yang kulitnya hitam legam itu terkaget. Ia tidak menyangka akan diserang dengan pukulan yang sedemikan dahsyat.

Seorang laki-laki muda berdiri di sana.

Tepat di antara rombongan si bhiksu hitam, dan rombongan ayah Sam Siu.
“Kau? Bukankah kau sudah mati jadi abu gosong?” kali ini si nona mungil pelayan yang berbicara.

“Kalian bisa menipu, masakah orang lain tidak bisa menipu pula?” jawab lelaki ini. Wajahnya masih tertutupi jenggot lebat. Tapi kini pakaiannya bersih dan rapi. Rambutnya pun sudah disanggul pula.

“A San!” teriak Sam Siu.

“Maaf aku terlambat,” kata A San sambil menoleh dan tersenyum.

“Hati-hati. Mereka semua licik dan jahat” kata Sam Siu mengingatkan.

“Ada aku di sini. Apa yang harus kau takutkan?”

Itulah jawaban seorang sahabat!

Inilah nilai seorang sahabat!

Jika kau memiliki seorang sahabat seperti ini, kau telah memiliki segalanya.

“Hissss, budak tolol macam begini biar aku yang menghadapi” Yan-wangwe maju dengan gagah.

Tetapi belum lagi ia melangkah, si bhiksu telah menamparnya.
“Mundur!” bentaknya.

Yan-wangwe tak tahu sebab musabab ia ditampar. Yang ia tahu pipinya sudah memerah dan panas membara.

Lalu si bhiksu hitam bertanya dengan sopan,

“Apakah pinceng (saya, ucapan untuk bhiksu) berhadapan dengan Cio-hongswee yang tersohor itu?”

Cio San menjura, “Pendangan La Ma (panggilan untuk bhiksu asal tibet) sungguh tajam dan luas”

Si La Ma menatapnya.

“Di dunia ini, orang yang sanggup bergerak diam-diam di belakang pinceng (saya) bisa di hitung dengan jari. Apalagi pukulan sakti itu, mungkin cuma seorang di dunia ini yang mampu melakukannya” jelas si La Ma.

Yan-wangwe dan yang lain tersentak mendengar nama itu disebut. Sedari tadi ia sudah curiga siapa A San sebenarnya, tetapi ia tidak yakin orang sehebat Cio San ini menerima saja dipukul ramai-ramai oleh anak buahnya. Bahkan sempat menjadi jongos pula di kandang kudanya.

Kini ia dan kawan-kawannya hanya bisa melongo. Yan Niu Niu alias Siau Ting yang sedang tergeletak di tanah pun hanya melongo. Ia tadi mendapatkan serangan yang cukup kuat, tetapi tidak melukainya dengan berat. Meskipun begitu, ia was-was juga. Khawatir jika Cio San akan menghajarnya. Tubuhnya memang paling dekat dengan pendekar itu.

“Namamu Siau Ting?” tanya Cio San.

“Lim Siau Ting” jawab nona itu.

Cio San mengangguk. “Pergilah,” Ia lalu menoleh kepada Sam Siu, “Kau ingin aku menjelaskan semua ini?”

Sam Siu mengangguk.

“Mereka-mereka ini adalah sebuah komplotan. Mereka telah mengetahui jati dirimu sebenarnya. Untuk itulah mereka menyusun rencana agar kau dapat membawa mereke bertemu...eh..ayahmu..”

Saat menyebut ‘ayahmu’, entah kenapa Cio San sungkan sendiri.

“Jadi...jadi..keluarga Yan itu tidak pernah ada?” tanya Sam Siu dengan wajah sedih.

“Ada. Hanya saja Yan-wangwe dan Yan-siocia yang asli...sudah..” Cio San tidak tega meneruskan kata-katanya.

Sam Siu pun sudah mengerti kelanjutan kata-kata itu.

“Ketika kau sudah mengerti ini, mengapa tidak kau jelaskan kepadaku?” air mata Sam Siu akhirnya tumpah. “Aku dapat menerima pengkhianatan mereka kepadaku. Tetapi aku tak sanggup menerima kebohonganmu! Kau menutupi kebenaran dariku!”

Cio San hanya menatapnya terharu. Terharu karena lelaki di hadapannya itu menganggapnya sebagai seorang sahabat!

“Aku akan menjelaskan seluruhnya kepadamu saat ini semua selesai”

“Aku tidak butuh!” dengan mantap ia berdiri maju dan berjalan menuju rombongan La Ma.

“Kalian ingin bunuh kami? Silahkan bunuh. Namun kami tidak akan memberikan apa yang kalian cari!”

Cio San maju meraih tangannya.

Sam Siu menarik tangannya dengan kasar. “Kau, tiada beda dengan mereka. Kau pun memanfaatkan aku!”

Seorang kekasih dapat menghina, menolak, atau mencapakkannya. Ia akan mampu menerima semua itu. Tetapi jika seorang sahabat yang melakukannya, hidupnya seolah-olah tidak berguna lagi.

Begitu dalam kata ‘persahabatan’ dipegangnya erat-erat. Berapa banyak dari kita yang mampu melakukannya?

Air mata Cio San mengalir deras.

Rombongan para penjahat yang ada di depan mereka terkejut heran, “Eh, kalian pencinta sesama jenis?” tanya nona mungil pelayan.

Plak!

Sekali lagi La Ma menampar.

“Kalian lihat baik-baik. Itulah yang dinamakan setia kawan”

Meskipun ia terlihat jelas sebagai tokoh Liok Lim (golongan hitam), tetapi La Ma ini menjunjung tinggi rasa setia kawan.

“Wan Gui, mundur!” kali ini ayah Sam Sui yang bersuara. Ternyata nama asli Sam Siu adalah Wan Gui.

Mendengar bentakan ayahnya, Wan Gui tersentak.

“Anak mendengar” ia menunduk patuh dan berjalan kembali ke tempat semula.

Suara sang ayah memang penuh wibawa. Siapapun yang mendengar suara ini, hatinya pasti bergetar.

“Pendekar muda,” kata si ayah kepada Cio San. “Kau tidak perlu mengorbankan jiwa bagi kami. Semua ini sudah takdir dan merupakan kehendak langit. Biar pun mereka memaksa dan menghancurkan kami, mereka tak akan menemukan kitab itu”

“Yang Mulia,” Cio San mengangguk dengan hormat. “Karena siauwjin (saya orang yang rendah) pun sudah berada di sini, bukankah tidak mengapa jika siauwjin ikut dihancurkan pula oleh mereka” ia menjura dengan sangat dalam.
“Kau sudah tahu siapa aku”

Kalimat ini bukan pertanyaan, bukan pula pernyataan.

Di dunia ini orang disebut “Yang Mulia” hanya satu orang.

“Jika aku memiliki 5 orang saja seperti engkau, maka kejadian dahulu kala tak akan terjadi. Aih.....takdir terjadi, masa lalu tak dapat terlupa. Omitohoud....omitohuuuud... (Buddha welas asih)”

“Yang Mulia silahkan turunkan perintah!” salah satu dari kelima orang bhiksu pengawal itu berteriak.

Sang La Ma pandai membaca gelagat. Ia tahu jika ia bertempur mati-matian, kemungkinannya masih seimbang. Jika ia melawan Cio San, ia belum tahu hasilnya seperti apa. Meskipun ia tidak meragukan kekuatannya sendiri, ia pun tidak meragukan kekuatan Cio San.

Sedangkan ketiga orang anak buahnya jika dikeroyok oleh kelima Bhiksu itu pun kemungkinan besar akan kalah atau seimbang.

Tetapi jika mengundurkan diri, ia tak tahu harus di mana menaruh muka. Akhirnya ia memilih melawan. Lebih baik mati ketimbang malu.

“Cio-hongswee, aku mengajakmu bertaruh” kata si La Ma.

“Silahkan”

“Jika aku menang bertaruung melawanmu, maka kalian harus menyerahkan kitab itu dan membiarkan kami pergi. Tetapi jika aku kalah, maka aku dan rombonganku akan pergi dari sini dengan tenang.”

Betapa pintar kakek ini mengatur siasat. Dengan melakukan taruhan ini, dia memilih jalan mundur yang aman. Jika kalah toh ia tak akan mati terbunuh. Anak buahnya pun tidak harus bertarung.

“Kitab itu bukan milikku. Aku tidak berhak menjawab” kata Cio San.

“Jadi kau menolak tantanganku?”

Kembali si kakek hitam legam ini menggunakan kata-kata berbisanya.

Jika Cio San menolak maka ia mengaku kalah!

Dengan melipat satu tangan ke belakang, dan dengan memainkan rambutnya, Cio San berkata dengan tenang. “Ada dua hal yang harus kau pahami. Pertama, kami semua disini lebih memilih menyerahkan nyawa ketimbang menyerahkan kitab itu. Kedua, aku tak akan kalah”

“Pendekar muda yang sombong” kata si La Ma perlahan. “Baiklah. Aku menawarkan tawaran kedua”

“Silahkan”

“Jika aku menang, maka kau tidak boleh menghalangi kami menyerang bhiksu-bhiksu ini dan mengobrak-abrik tempat ini. Tapi jika aku kalah, aku akan pergi dengan tenang”

Cio San tersenyum, enak sekali kakek tua ini mengajukan tawaran.

“Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau dan rombonganmu tidak akan mengganggu ‘Yang Mulia’ atau mencari kitab itu lagi.”

Si La Ma berpikir sebentar, lalu berkata, “Baik lah”.

Ia lalu maju 3 langkah ke depan. “Kita mulai” ia mengangkat tangannya menjura.

Cio San pun maju 3 langkah dan menjura. “Silahkan”

Tak ada kuda-kuda yang dilakukannya. Berdiri santai dengan satu tangan terlipat ke belakang, dan jemarinya memainkan rambutnya yang jatuh di bahu.

Melihat gaya berdiri ini si La Ma terhenyak juga, tetapi hatinya terasa panas. Anak muda sombong ini meremehkan dirinya!

“Awas serangan!” ia bergerak dengan cepat.

Tak ada seorang pun yang dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana bayangan itu bergerak, tahu-tahu ia sudah berada di atas kepala Cio San.

Telapaknya menyerang ke depan, mengincar batok kepala pendekar muda itu. Menerima serangan ini Cio San tidak melangkah menghindar. Ia hanya membengkokan tubuhnya ke samping. Dari telapak tangan kanannya terdengar suara berderik.

Inilah jurus ciptaannya yang menggoncang dunia, “Telapak Ular Derik”

Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan si La Ma. Melihat serangan itu, sang La Ma menjulurkan telapak tangan yang satunya pula.

Kedua telapak itu beradu!

Blaaaaaaaaaaaaaam!!!!!!

Terdengar suara menggelegar!

Tanah tempat Cio San berpijak hancur tak beraturan. Tetapi tubuh pendekar itu tetap tegak. Rupanya sang La Ma dengan nekat mengajak Cio San beradu tenaga dalam.

Sebagai orang yang lebih tua dan pelatihan tenaga dalamnya lebih lama, sang La Ma yakin ia mempunyai tenaga dalam yang lebih dahsyat. Oleh karena itu ia berlaku nekat.

Begitu tenaga itu beradu, tubuh Cio San secara alami menggerakkan ‘Thay Kek Kun’. Ilmu andalan Bu Tong-pay ini adalah ilmu ciptaan pendeta Thio Sam Hong yang amat termahsyur.

Ilmu ini menyerap tenaga sang La Ma ke dalam sebuah kekosongan yang dalam. Kakek tua itu merasa tenaga dalamnya amblas hilang kemana, tahu-tahu tenaga itu seperti muncul kembali dan malah menyerang dirinya!

Tak hilang akal, si kakek berputar mencoba mengimbangi kekuatan arus pusaran yang muncul dari serangan Cio San. Sebuah tindakan yang pintar yang lahir dari kemampuannya memahami jurus orang lain.

Dengan berputar seperti itu mengikuti pusaran yang ada, sang kakek membuat pusaran tenaga itu jsutru bertambah besar dan semakin membesar. Para penonton yang berada di pinggiran merasa terdorong oleh besarnya kekuatan yang diciptakan. Jika tidak segera memasang kuda-kuda, seseorang bisa terdorong jatuh.

Kekuatan yang membesar itu mengeluarkan sinar kilat yang bercahaya!

Tubuh kedua orang ini melayang di udara. Tetapa karena pusaran ini, tubuh mereka hanya berputar-putar di tempat. Semakin lama semakin kencang!

Angin yang tercipta oleh putaran kedua orang ini malah telah menderbangkan atap kuil, debu, dan kayu-kayu serta bebatuan kecil.

Sungguh tak terduga bagaimana kekuatan kedua orang ini bisa menghasilkan badai yang kencang.

Cio San tenang. Wajahnya memerah pertanda ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya sekuat yang ia bisa. Di pihak lain, wajah si kakek yang hitam legam terlihat memutih pucat.

Adu tenaga ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai baju yang mereka pakai pun koyak moyak.

Betapa pun mereka berdua mencoba untuk bertahan.

Cio San tak dapat menggunakan ilmu lainnya, yaitu ‘Ilmu Menghisap Matahari’. Jika ia menggunakan ilmu ini, maka justru akan berbahaya bagi dirinya. Arus pusaran kekuatan itu begitu kuat sehingga ia menyerap tenaga pusaran itu, malah akan menyerang dirinya sendiri.

Ibarat air yang meluber karena ember yang terlalu penuh. Atau ibarat balon udara yang pecah karena kelebihan angin.

Satu-satunya cara yang bisa mereka berdua lakukan adalah tetap mempertahankan keadaan dan menambah tenaga.

Pertarungan adu tenaga ini sungguh tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Tanah di bawah mereka pecah berhamburan. Batu-batuan terlempar ke segala arah. Yang menonton pun terpaksa menghindar dan berlindung di balik apapun yang bisa melindungi mereka.

Kedua tangan mereka menempel. Tapi masing-masing memiliki satu tangan lagi yang mereka persiapkan untuk serangan pamungkas.

Seolah-olah pikiran mereka sudah tersambung, gerakan serangan pamungkas ini dilancarkan dengan bersamaan pula. Si kakek mengisi tangannya dengan tenaga yang ia simpan sedari tadi. Tenaga paling dahsyat yang pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya.

Cio San menerimanya pula dengan telapak tangannya. Tetapi ia tidak mengisi telapak tangan itu dengan kekuatan. Ia bahkan tidak mengisi telapak tangannya dengan apapun.

Kosong!

Dalam Thay Kek Koen, kosong dapat mengalahkan isi.

Karena dengan kekosongan inilah, Cio San menyerap seluruh tenaga serangan sang La Ma dengan menggunakan ‘Ilmu Menghisap Matahari’ lalu menyalurkannya melalui telapak tangannya yang menempel ke tangan si kakek, dengan menggunakan Thay Kek Koen.

Sang kakek tahu Cio San mampu menggunakan Thay Kek Koen, dan Ilmu Menghisap Matahari. Yang tidak ia ketahui adalah Cio San mampu menggunakan jurus itu secara bersamaan!

Itulah kesalahannya!

Dan keselahan ini membuatnya terlempar beberapa tombak jauhnya. Ia memuntahkan darah segar yang amat banyak. Seluruh organ tubuhnya terluka dalam dengan amat sangat hebat.

Ia terluka karena pukulannya sendiri.

Untunglah Cio San tidak menyalurkan seluruh tenaga itu. Begitu kakek itu terlempat, ia menggunakan tangannya yang lain untuk menyalurkan tenaga sisa. Tangan itu memukul ke daerah kosong yang tidak ada seorang pun berdiri di situ.

Kekuatan yang keluar sanggup menghancurkan apapun yang berada di sana. Tembok, batu besar, pepohonan, segalanya berterbangan berhamburan ke segala arah.

Alangkah menakutkannya lelaki ini.

Lelaki yang begitu muda, tetapi sudah sedemikian hebatnya.

Sang La Ma pingsan. Ia bahkan sekarat.

“Bantu dia!” perintah Cio San, “Kerahkan tenaga kalian ke bagian pusarnya” 
kata-kata ini ia ucapkan kepada ketiga orang anak buah sang La Ma.

Mereka dengan buru-buru melakukan yang ia perintahkan.

“Rasakan tenaga yang berputar itu, tahan di sana jangan sampai bergerak. Biarkan saja titik jantungnya. Jika kalian menambah tenaga di sana, justru urat jantungnya akan putus”

Ia memberi perintah dengan tenang sehingga para anak buah ini pun tenang juga melakukannya. Mereka percaya Cio San memang benar-benar ingin menyelematkan majikan mereka. Karena jika Cio San mau, ia sanggup membunuh sang La Ma sejak tadi!

Setelah lama bersemedi dan menyalurkan tenaga, akhirnya tenaga di pusar si kakek dapat dikendalikan. Mereka semua mengakhiri semedi dan penyaluran tenaga itu.

“Bawa dia pergi dan jangan kembali lagi” perintah Cio San.

Tentu saja mereka tidak perlu diperintah dua kali. Ketika hendak pergi, Sam Siu atau Wan Gui berteriak, “Berhenti”

Mereka berhenti.

Wan Gui menatap Lim Siau Ting. Tatapan yang penuh kesedihan.

“Jika kau berjanji untuk mengubah dirimu, aku masih mempertahankan janjiku”

Nona ini terdiam sejenak. Lalu tersenyum sinis,

“Cih” ia membuang ludah dan berbalik badan.

Meninggalkan seorang lelaki yang mencintainya begitu dalam.

Perempuan selalu menyakiti lelaki yang mencintainya terlalu dalam. Ini mungkin sudah sifat mereka. Sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Seorang lelaki memang tidak boleh mencintai perempuan terlalu dalam. Apabila ia nekat melakukannya, ia akan terluka berkali-kali.

Berkali-kali.

Karena berapa kali pun perempuan itu melukainya, ia akan terus memaafkan dan mengharapkannya kembali.

Jika seorang lelaki telah berjanji untuk menunggu seorang perempuan, maka walaupun perempuan itu menghancurkannya berkali-kali, lelaki itu akan tetap menunggunya.

Jumlah lelaki seperti ini memang tidak banyak. Namun jumlah mereka sungguh tidak sedikit pula.

Wan Gui adalah jenis lelaki semacam ini.

Cio San memandangnya dengan kagum. Lalu menjura.

Sesungguhnya ada begitu banyak hal yang bisa ia pelajari dari lelaki muda ini. Lelaki yang dipermalukan dan dikhianati namun tetap memperlihatkan cinta sejati.

“Aku akan menunggumu” bisik Wan Gui lirih. Bayangan Lim Siau Ting sudah begitu jauh. Lelaki muda ini tetap berdiri tegak menatap punggung sang perempuan.

Perempuan yang sudah pergi.

Yang sudah pergi belum tentu tidak akan kembali lagi.

Itulah yang berada di benaknya. Ia akan menunggu. Menunggunya berubah. Menunggunya menyadari bahwa tiada seorang lelaki pun yang akan mencintainya setulus dan sedalam ini.

Apakah ini kesalahan terbesarnya?

Hanya waktu yang dapat menjawab semua ini.

Jika itu merupakan kesalahan, toh ia tidak akan menyesal.

Seseorang tidak perlu menyesal jika ia mencintai orang lain dengan begitu dalam. Justru orang yang dicintai itulah yang sesungguhnya menyesal karena meninggalkannya.

Ya. Jauh di lubuk hati mereka, siapapun itu, baik ia lelaki maupun perempuan, jika ia pergi meninggalkan orang yang mencintainya teramat dalam, maka ia akan menyesal.

Menyesalnya pun sedalam cinta yang ia sia-siakan.


Hal ini sesungguhnya adalah hal yang paling menyedihkan dalam kehidupan umat manusia.



Related Posts: