Suling Emas & Naga Siluman Jilid 170

“Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... aku tidak mau terpisah darimu lagi.... lebih baik aku mati saja daripada harus berjauhan darimu....“

Bukan main kagetnya hati Hong Bu mendengar ini. Memang dia tahu bahwa gadis ini mencintanya, akan tetapi kalau gadis ini akan terus bersamanya, tidak mungkin pula, dia mencinta Ci Sian, bukan gadis ini. Akan tetapi dengan halus dia melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya perlahan dan sambil memegang kedua pundak itu dengan lengan diluruskan, dia memandang wajah yang manis dan basah air mata itu. Gadis ini masih terisak, sesenggukan.

“Sumoi, dengarlah baik-baik. Bukan aku tidak suka kalau engkau ikut denganku, akan tetapi engkau tentu tahu bahwa aku mempunyai tugas yang luar biasa beratnya dan berbahayanya. Pertama, aku menjadi orang buruan dan dikejar-kejar oleh utusan Kaisar yang amat sakti. Engkau sendiri tahu betapa ayahmu dan Susiok Cu Seng Bu yang demikian saktinya, tidak mampu menandingi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Dan aku dicari oleh pendekar itu dan isterinya dan puteranya, jenderal muda yang juga amat lihai. Ke dua, aku harus menebus kekalahan para guru dari Naga Sakti Gurun Pasir, tugas yang amat berat dan berbahaya. Ke tiga, aku harus menebus kekalahan Suhu dari Suling Emas Kam Hong. Nah, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Membela diri sendiri saja sudah amat berat bagiku, apalagi harus melindungi engkau?”

“Aku tidak akan mengganggumu, Suheng. Engkau tidak perlu melindungi aku, karena aku dapat membela diri sendiri. Kalau perlu, jangan kau cari mereka, pendeknya, terserah apa saja yang hendak kau lakukan, tapi aku tidak mau kau tinggal lagi, tidak mau aku berpisah darimu.”

“Tapi, Sumoi, Suhu akan marah kepadaku. Engkau harus kembali ke lembah Sumoi. Aku berjanji, kalau sudah selesai semua urusan dan tugasku, aku pasti akan kembali ke sana....”

“Tidak, aku tidak mau kembali ke tempat yang sunyi itu. Aku bisa mati kesepian di sana, tanpa engkau. Aku ingin mati hidup bersamamu, Suheng.”

“Ahh....!” Hong Bu menjadi bingung sekali.

Dia tahu bahwa Pek In adalah seorang gadis yang keras hati dan yang sejak kecil terlalu dimanja oleh ayahnya sehingga apapun yang diinginkannya, harus terlaksana! Kalau dia menolak, tentu Pek In akan marah dan sukar dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh gadis yang keras hati ini. Dia lalu berjalan pergi dari situ dengan muka tunduk, maklum bahwa gadis itu mengikutinya dari belakang.

Sampai lama mereka berjalan tanpa berkata-kata. Akhirnya Pek In mempercepat langkahnya berjalan di samping suhengnya dan menyentuh lengan suhengnya itu.

“Suheng, apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya sambil memandang wajah yang tampan itu.






“Hemm....? Tidak marah, aku hanya bingung, Sumoi.”

“Suheng, kau maafkanlah diriku kalau aku menyusahkan dan membingungkan hatimu. Akan tetapi sungguh mati, aku tidak dapat berpisah darimu, Suheng. Aku.... aku cinta padamu dan lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan....”

Hong Bu menarik napas panjang. Sejenak ia menatap wajah itu. Wajah yang manis. Seorang gadis yang baik dan gagah perkasa keturunan pendekar. Alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini, kalau saja dia tidak lebih dulu tergila-gila kepada Ci Sian. Bagi seorang pemburu sederhana seperti dia, Pek In merupakan dara yang sudah terlampau baik. Akan tetapi, apa hendak dikata, dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ci Sian, dan tidak mungkin agaknya untuk melupakan Ci Sian dan menengok kepada gadis lain, walaupun dia masih merasa perih hatinya melihat Ci Sian tidak membalas cintanya, bahkan memusuhinya!

“Ahhh, betapa penuh derita hidup ini,” pikirnya, “Dara yang dicintanya malah memusuhinya, dan dara yang mencintanya tak mungkin dibalasnya.”

Demikianlah, dengan terpaksa sekali Hong Bu melakukan perjalanan bersama Pek In. Dia masih bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia teringat bahwa mereka berada dekat dengan kota Cin-an di mana menurut berita yang didengarnya terdapat sarang pendekar patriot. Memang sejak lama Hong Bu telah merasa setia kawan dengan para pendekar patriot, terutama sekali setelah terjadi pembakaran biara Siauw-lim-si.

Memang tadinya dia sudah mempunyai keinginan untuk singgah di Cin-an dan mengunjungi pusat perkumpulannya para pendekar patriot itu. Kini setelah Pek In ikut bersamanya, timbul pikirannya bahwa sebaiknya kalau dia mengajak gadis itu ke pusat para pendekar. Siapa tahu Pek In yang berwatak pendekar itu akan tertarik hatinya dan kalau saja dia bisa menitipkan Pek In untuk sementara di tempat itu, bersama dengan para pendekar patriot, maka selain dia sendiri tidak dibebani berat untuk melindunginya, juga mungkin gadis itu mau ditinggalkannya. Orang seperti Pek In harus diberi kesibukan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.

Demikianlah, Hong Bu lalu mengajak sumoinya melanjutkan perjalanan menuju ke Cin-an. Akan tetapi karena mereka memasuki kota Cin-an setelah lewat senja, maka Hong Bu merasa tidak enak untuk langsung mencari dan mengunjungi para pendekar. Maka dia lalu mencari penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan untuk melewatkan malam itu.

“Suheng, engkau sengaja menuju ke kota ini, hendak mencari siapakah?”

Pek In bertanya setelah mereka makan malam dan duduk di ruangan dalam, tak jauh dari kamar mereka. Melihat di kanan kiri tidak ada orang Hong Bu lalu menjawab sambil berbisik,

“Sumoi, selama engkau meninggalkan lembah, di dalam perantauanmu, apakah engkau mendengar tentang para pendekar patriot yang mulai bergerak karena penekanan Kaisar?”

Pek In mengangguk.
“Aku pernah mendengar tentang dibakarnya biara Siauw-lim-si, Suheng. Mereka itukah yang kau maksudkan?”

Hong Bu mengangguk.
“Mereka dan banyak orang lagi yang merasa tidak suka melihat kelaliman Kaisar dan tidak suka melihat penjajahan bangsa Mancu atas bangsa kita. Apakah engkau tidak tertarik?”

Pek In mengangguk
“Memang mereka itu hebat dan gagah sekali, Suheng. Akan tetapi apa hubungannya dengan kita?”

“Memang tidak ada hubungannya secara langsung, Sumoi. Akan tetapi apakah kita juga harus diam saja menyaksikan kelaliman Kaisar itu? Bayangkan saja. Para pendeta di Siauw-lim-si, para pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, yang selalu membela kaum lemah tertindas dan menentang mereka yang jahat sewenang-wenang, dibasmi dan biaranya dibakar. Entah berapa banyaknya pendekar gagah perkasa yang tidak berdosa dibunuh, dibantai oleh pasukan besar. Bukankah kita ini juga merasa sebagai pendekar, Sumoi?”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan, Suheng?”

“Aku ingin menemui mereka, ingin berkenalan dengan orang-orang gagah itu.”

“Baik sekali! Di mana? Di sini?”

Hong Bu mengangguk.
“Ya, aku mendengar bahwa mereka berkumpul di Cin-an ini, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Kabarnya, aku mendengar dari seorang pendekar yang hidup sebagai nelayan sungai yang kulalui, mereka itu berkumpul di sebuah rumah kuno yang disebut Gedung Mawar Kuning. Kiraku tidak sukar mencari rumah dengan nama seperti itu.”

“Baik, aku ikut, Suheng. Aku pun senang sekali kalau dapat berkenalan dengan mereka, dan....“

Tiba-tiba Hong Bu mengeluarkan bunyi
“Ssttt....!” dan memberi tanda agar Sumoinya tidak bicara lagi.

Seorang pelayan rumah penginapan membawa lentera mengantar masuk tiga orang tamu baru yang agaknya baru tiba di malam itu. Karena mereka diberi kamar agak ke belakang, maka mereka itu melewati kamar-kamar Hong Bu dan Pek In ketika diantar oleh pelayan ke kamar mereka di belakang. Diam-diam Hong Bu memperhatikan mereka, juga Pek In dan wajah Pek In berubah pucat sekali, lalu gadis ini menundukkan mukanya, atau lebih tepat menyembunyikan mukanya dan memutar tubuh membelakangi tamu-tamu itu. Hong Bu memandang dengan penuh perhatian dan jantungnya berdebar tegang. Dia tidak mengenal mereka itu, akan tetapi mereka segera dapat menduga siapa adanya pria setengah tua gagah perkasa yang buntung sebelah lengannya itu!

Ciri khas dari Pendekar Sakti Gurun Pasir! Kalau saja orang ini tidak datang bersama seorang wanita setengah tua yang cantik jelita dan gagah dan seorang pemuda yang ganteng sekali, juga amat gagah, tentu dia dapat menduga bahwa mungkin saja orang itu bukan Si Pendekar Buntung Lengan. Akan tetapi, melihat dua orang teman Si Buntung itu, hatinya tidak ragu-ragu lagi. Siapa lagi kalau bukan Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya yang lihai itu? Akan tetapi tiga orang itu agaknya tidak mempedulikan dia, juga tidak melihat kepada Pek In yang sudah membuang muka.

Setelah mereka itu lewat dan memasuki tikungan, barulah Pek In memegang lengan Hong Bu dan berbisik,

“itu mereka....”

Hong Bu mengangguk dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk memasuki kamar sumoinya. Setibanya di dalam kamar, Hong Bu berkata,

“Aku mengenal mereka. Tentu inilah Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya, bukan?”

“Benar! Apakah mereka melihatku, Suheng? Mereka tentu mengenalku.”

“Agaknya mereka tidak menoleh kepadamu, akan tetapi siapa tahu? Mereka adalah orang-orang sakti, dan kedatangannya di rumah penginapan ini sungguh suatu hal yang terlalu kebetulan. Mereka mencari-cariku, kenapa kebetulan mereka datang ke rumah penginapan di mana aku berada? Sumoi, kita harus pergi sekarang jugal”

“Tidak, aku tidak takut!” Pek In berseru dan mengepal tinju. “Aku tidak sudi melarikan diri!”

“Bukan melarikan diri karena takut, Sumoi melainkan....”

“Apa....?”

“Sudahlah,” Hong Bu tidak mau mengatakan bahwa dia terpaksa melarikan diri karena dia berada bersama Pek In.

Betapapun lihainya Pek In, gadis ini sama sekali bukan tandingan para pendekar sakti itu dan kalau harus melindungi gadis itu, tentu dia tidak akan dapat bergerak leluasa.

“Sumoi, bukankah engkau ingin ikut denganku?”

“Benar....” dan wajah yang manis itu kembali nampak khawatir. “Jangan.... tinggalkan aku, Suheng!”

“Nah, aku mau pergi sekarang. Engkau ikut ataukah tidak?”

Setelah berkata demikian, Hong Bu meninggalkan gadis itu, memasuki kamarnya dan mengambil buntalan pakaiannya. Pek In tidak menjawab, akan tetapi tahu-tahu ia telah mengikuti pemuda itu dan sudah membawa pula buntalan pakaiannya. Wajahnya cemberut, akan tetapi masih manis. Setelah mereka meninggalkan rumah penginapan itu melalui jalan jendela dan melakukan perjalanan cepat, Pek In mengomel,

“Sungguh memalukan sekali kalau kita harus melarikan diri dari mereka.”

“Sumoi, seorang pendekar bukan saja harus berani dan gagah perkasa, akan tetapi juga harus cerdik. Aku bukan takut kepada mereka, akan tetapi kita harus cerdik. Mereka bertiga itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi sekali. Sebaiknya kalau kita lebih dulu menemui para pendekar patriot yang tentu tidak bersahabat dengan mereka, mengingat mereka itu adalah kaki tangan Kaisar.”

“Huh, jadi engkau hendak mencari teman?”

“Bukan, hanya hendak mengimbangi mereka kalau-kalau mereka maju mengeroyok.”

Pek In memandang dengan tajam.
“Aih, bagaimana engkau dapat menduga serendah itu kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan anak isterinya mendatangi lembah bertiga saja, sama sekali tidak takut akan dikeroyok, karena mereka percaya bahwa seorang pendekar tidak nanti akan berlaku curang! Dan aku pun percaya bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bukanlah orang yang curang!”

Hong Bu hanya tersenyum. Tetap saja dia tidak mau mengatakan bahwa tindakannya itu bukan sekali-kali karena takut, melainkan karena dia harus menyelamatkan pedang, jangan sampai terampas utusan Kaisar. Pula, dia pun harus melindungi Pek In.

Bagaimana mungkin dia sekaligus melindungi pedang dan Pek In? Kecuali kalau Pek In sudah berada di tempat aman, misalnya di antara para pendekar patriot itu barulah dia akan merasa lega dan mungkin saja dia malah akan menantang siapa yang berhak memiliki pedang pusaka juga menebus kekalahan gurunya.

Tidak sukar bagi mereka untuk mencari Gedung Mawar Kuning itu. Setiap orang tahu di mana adanya gedung tua itu yang kini menjadi sebuah perkumpulan silat yang bernama perguruan silat Kim-jiauw-eng (Garuda Kuku Emas). Memang gedung ini pernah menjadi pusat perguruan silat yang masih merupakan cabang dari Siauw-lim-pai itu.

Gurunya adalah seorang she Ciong yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai dan memang Ilmu Silat Kim-jiauw-eng yang diajarkannya itu masih bersumber pada ilmu silat Siauw-lim-pai. Karena itulah, maka ketika ada pergerakan para pendekar patriot, gedung tua yang besar ini dipilih menjadi pusat tempat pertemuan mereka.

Gedung itu dikurung pagar tembok yang tingginya hampir tiga meter. Akan tetapi bukan merupakan penghalang yang sulit bagi Hong Bu dan Pek In. Mereka meloncat ke atas pagar tembok itu dan melayang ke sebelah dalam. Akan tetapi begitu kedua kaki mereka turun ke atas tanah, terlihat berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu mereka telah dikepung oleh belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi! Kiranya gerak-gerik mereka sejak mendekati gedung sampai ketika mereka berdua melompat ke atas pagar tembok telah diketahui oleh para penjaga dan hal ini saja menunjukkan betapa kuatnya penjagaan para pendekar di ternpat itu!

“Kami bukan musuh!” Hong Bu cepat berkata sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Kami adalah sahabat-sahabat yang ingin bertemu dengan pimpinan para Enghiong di sini!”

Tentu saja ucapan itu tidak bisa diterima begitu saja. Dua orang ini masuk secara gelap bukan melalui pintu sebagai tamu, mana bisa mereka mempercayai keterangan itu? Pula, keadaan para pendekar patriot di situ merupakan rahasia, tidak ada yang tahu bahwa tempat itu menjadi sarang mereka. Maka, orang yang datang dan tahu akan hal itu, sungguh merupakan orang yang patut dicurigai.

“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka.

“Namaku Sim Hong Bu, dan ini adalah Cu Pek In....”

“Aihh, kiranya benar Pek In....!”

Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan seorang wanita berkelebat datang dan berdiri di depan Pek In. Tempat itu mendapat penerangan dari obor yang dibawa datang seorang pendekar sehingga mereka dapat saling memandang. Kini Hong Bu dan Pek In segera mengenal wajah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Melihat bibinya, Pek In cepat memberi hormat, diturut pula oleh Hong Bu.

“Dan ini Hong Bu malah! Ah, masuklah. Kawan-kawan, mereka ini adalah keponakan-keponakanku sendiri!”

Hong Bu dan Pek In merasa terheran-heran melihat bahwa bibi mereka berada di tempat itu, akan tetapi keheranan mereka lenyap ketika mereka dihadapkan dengan pimpinan para pendekar itu yang ternyata adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap! Biarpun di dalam hatinya ada rasa tidak senang, namun Pek In dapat mengerti mengapa bibinya berada di situ. Kiranya bibinya ini telah menyusul bekas kekasihnya, si pendekar perayu wanita itu yang sekarang telah menjadi pimpinan para pendekar patriot!

Bu-taihiap girang bukan main menerima Hong Bu dan Pek In. Dia sudah mendengar dari isterinya, yaitu Tang Cun Ciu tentang diri pemuda ini yang katanya merupakan pewaris pedang Koai-liong Po-kiam berikut Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang tiada tandingannya di dunia ini! Maka pemuda itu merupakan tenaga yang amat boleh diandalkan, dan juga dia sudah mendengar tentang Cu Pek In, puteri tunggal dari penghuni Lembah Suling Emas yang kini menjadi Lembah Naga Siluman itu.

“Selamat datang, Sim Hong Bu! Aku sudah banyak mendengar tentang kelihaianmu dari bibi gurumu. Dan engkau, Cu Pek In. Ayahmu adalah seorang sahabatku yang amat baik!”

Cu Pek In dan Sim Hong Bu memberi hormat, biarpun di dalam hatinya Cu Pek In memaki laki-laki ganteng ini, karena laki-laki inilah yang merayu hati Tang Cun Ciu, isteri dari toapeknya sehingga toapeknya itu meninggal dunia karena duka! Dan kini, dengan tak tahu malu sekali isteri toapeknya itu malah menyusul kekasihnya! Biarpun mereka itu kini menjadi pimpinan pendekar patriot, tetap saja baginya mereka mempunyai perbuatan-perbuatan yang serba busuk!

Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kian Liong yang menjadi tawanan itu melihat adanya pemuda perkasa dan gadis berpakaian pria yang bukan lain adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In di antara para pendekar patriot, duduk di dekat Bu-taihiap dan tiga orang isterinya yang merupakan puncak pimpinan para patriot itu.

**** 170 ****
Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 170"

Posting Komentar