Suling Emas & Naga Siluman Jilid 160

“Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok tadi? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?”

Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.

“Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tidak membenci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, melainkan sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela mengorbankan nyawaku.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya, suaranya lantang.

“Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”

“Membawanya kembali ke istana di kota raja?”

Pemuda itu menggeleng kepala,
“Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat.”

“Sebagai tawanan para patriot?”

Pemuda itu mengangguk.

“Aku yang menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada. Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak.

“Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”

“Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, maupun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!”






Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka.
“Ah, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini....“

Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum.
“Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak di jadikan rebutan. Banyak orang menilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun!

Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apapun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak menganggapnya buruk, karena aku tidak pernah menyalahgunakan kedudukan, dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku.”

“Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng membantah. “Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan berusaha mengenyahkan penjajah?”

Pangeran itu tersenyum.
“Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung-jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apapun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya akan menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka.”

“Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.

Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam. Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang,

“Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapapun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekalipun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”

Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapapun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai daripada Ci Sian sekalipun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta kepada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.

“Sudahlah, aku tidak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!”

Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu. Pangeran Kian Liong menarik napas panjang.

“Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam....”

“Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... eh, patut dikasihani.”

Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu.

“Ah, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....” Dara itu mengangguk.

Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.
“Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok.”

“Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”

“Dan engkau, Nona Bu?”

“Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot.”

“Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?”

“Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman malapetaka.”

“Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?”

“Mengantar Paduka menuju ke kota raja.”

Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri.

“Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?”

Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.

“Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”

“Dan engkau?”

“Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya.”

“Ke manakah, Nona?”

“Kemana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”

“Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?”

Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti.
“Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”

Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!

“Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi.”

“Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang.”

Pangeran itu tidak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua menunggang kuda berdampingan, tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar.

Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!

“Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”

Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.

“Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”

Terpaksa Ci Sian menjawab singkat,
“Dia.... dia itu ayah kandung saya.”

“Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”

“Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?”

“Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 160"

Posting Komentar