Suling Emas & Naga Siluman Jilid 166

Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas aseli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khi-kang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sin-kang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya.

Akan tetapi, betapapun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repot sekali. Ia harus montang-manting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai seorang di antara mereka mempergunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.

Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tidak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.

“Suheng....” Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka.

Mendengar lengkingan suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan pada saat itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untung pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.

“Brett!” Ujung leher bajunya terobek.

Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.






Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suhengnya mendatangkan kegembiraan sedemikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika ia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok!

Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.

Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu lalu melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.

“Suheng....!” serunya memanggil karena dari kiri tadi datangnya suara suling melengking itu. Dan muncullah Kam Hong!

Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.

“Sumoi....!”

“Suheng....!” Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang. “Suheng.... ah, Suheng....!”

Mereka saling tubruk dan saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.

“Suheng...., Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?” Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.

“Sumoi, kau maafkan aku....”

Keduanya tidak bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan seribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara kalau saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini,

“Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi...., selamanya....”

Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suhengnya mengelus rambut kepalanya dan ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suhengnya agar tidak sampai saling terpisah lagi,

“Tidak, Sumoi, tidak lagi....”

Ci Sian mengangkat mukanya. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium!, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu, Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu. jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali.

Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoinya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia jatuh cinta kepada sumoinya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh amat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ah, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia melepaskan rangkulannya.

“Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu?”

“Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok.”

“Ah, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?”

“Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai, dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... eh, mana dia....?”

Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.

“Siapa yang kaucari?”

“Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?”

Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.

“Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.”

“Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!”

Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.

“Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama.”

Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuan ini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali.

Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.

Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang.
“Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, he-bat.... dan aku kagum sekali”

Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.

Kam Hong menarik napas panjang.
“Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.”

“Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana.”

Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut.

Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.

Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman.

“Aih, Suheng, apa sih yang kau pandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.

Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata,

“Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!”

Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.

“Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!”

“Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.”

“Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?”

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 166"

Posting Komentar