Jawaban yang bersemangat itu membuat para pendekar yang berada di situ mengangkat dada dan sinar mata mereka pun menjadi berapi penuh semangat.
“Tapi, siapa pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apapun dalam urusan Kaisar itu, akan kuhadapi dengan sulingku!”
Ci Sian berkata, suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan dadanya. Bu-taihiap memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut.
“Ci Sian, sungguh mati kami bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau hendak membantuku membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan di pihak siapakah engkau sesungguhnya berdiri?”
“Aku tidak memihak siapapun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku, biarpun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Kini aku membela Sang Pangeran karena beliau adalah seorang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!”
“Hemm, Ci Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa daripada penindasan, ataukah engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar penjajah?”
Kini wajah Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Biarpun engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku! Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal! Apakah ia pun seorang pecinta rakyat dan anah air kita? Aku tidak peduli tentang urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa dan juga bukan pemberontak.”
Pangeran Kian Liong melangkah maju.
“Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku telah mengenalmu sebagai seorang dara yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apapun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda Kaisar. Biarpun aku tidak menjadi tawanan di sini, biarpun aku tidak menjadi sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.”
Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Biarpun mereka semua masih berada di dalam sarang para pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Sekarang Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biarpun kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi suhengnya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.
Menggunakan kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu sendiri, karena pemerintah tentu akan mengirim pasukan dan menghancurkan mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut! Selagi Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan dari para penjaga di luar,
“Utusan ke kota raja telah tiba kembali!”
Wajah Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.”
Ketika dua orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada Bu-taihiap dengan sikap bingung.
“Laporkanlah saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu. “Jangan kalian ragu-ragu lagi.”
“Kami telah menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah kami disuruh menanti dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang harus kami segera sampaikan kepada Tai-hiap.”
Dua orang utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana, menyerahkannya kepada Bu-taihiap. Pendekar ini menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka sampul dan berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ikut pula mendengarkan jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.”
Setelah berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan berjanji akan mengabulkannya, akan tetapi diminta agar Sang Pangeran segera dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit.
Mendengar ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri.
“Ah, kiranya Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu, “Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!”
“Kami akan mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu.
Bu-taihiap juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoinya. Bu Seng Kin berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak.
“Biarpun engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali.... kecuali....”
“Kecuali apa?”
“Kalau engkau hidup sendirian saja!”
Tang Cun Ciu yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu berkelahi, berkata dengan suara dingin,
“Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biarpun hati tidak setuju akan tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapapun juga kami adalah isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?”
Ci Sian cemberut.
“Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tak tahan aku berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam Hong.
Biarpun Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar merupakan hiburan besar.
Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di banyak kota, dan mereka tinggal menanti pelaksanaan daripada janji Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu.
Akan tetapi, sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya!
Ketika Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang. Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah daripada pohon yang ditanamnya sendiri.
Biarpun keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan.
“Bagus, engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat walaupun suaranya lemah dan lirih dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat itu!”
“Harap Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan untuk mengabulkan permohonan mereka....”
“Permohonan? Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai ke akar-akarnya!”
Pangeran Kian Liong dengan halus membantah bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah.
“Terutama sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat mempergunakan tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.”
“Kalau perlu akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah.
Akan tetapi dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar. Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi semakin berat!
Melihat keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya sebagai Pangeran Mahkota.
Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar. Di antara keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dan dihentikan pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat, terutama di dusun-dusun, pembangunan-pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya.
Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak senang. Dan mereka itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah daripada mereka. Mereka ini adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dari Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini, tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi!
Betapapun juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan yang amat berat.Penyakit Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun 1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara karena penyakitnya membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun.
Tidak ada kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh dan pada tahun 1736, beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong dinobatkan sebagai kaisar penuh.
Setelah menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal.
Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap. Kaisar muda ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan koruptor.
Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan maupun keadaan dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup.
Tentu saja semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang adil, yang bahkan lebih baik daripada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan tahun yang lalu.
Kaisar Kian Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tidak mengabaikan para ahli sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran, dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan kedudukan-kedudukan yang cukup baik, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini, kesusastraan berkembang biak dengan baiknya.
Dan memang tercatat dalam sejarah bahwa Pangeran Kian Liong merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil di dalam pemerintahan Mancu, bahkan jarang ada kaisar yang demikian gemilang pada dinasti-dinasti sebelumnya. Kaisar Kian Liong sendiri adalah seorang yang amat mengagumi Kaisar Tang Thai Cung, yaitu kaisar di dalam Dinasti Tang yang dianggapnya sebagai seorang kaisar yang bijaksana dan patut dicontoh. Maka dalam banyak hal, dia mencontoh Kaisar Dinasti Tang itu yang memerintah selama dua puluh tahun dan telah mencapai banyak sekali kemajuan untuk rakyat dan negaranya. Dan Kaisar Kian Liong ini malah menjadi Kaisar sampai selama enam puluh tahun!
Sungguh merupakan masa pemerintahan yang amat lama dan jarang ada kaisar yang seperti dia. Hal ini membuktikan kebijaksanaannya ketika memerintah sehingga tidak banyak terjadi pemberontakan terhadap pimpinannya! Memang tidak dapat disangkal bahwa jiwa patriot masih belum padam di dalam hati para pendekar. Namun api pemberontakan di dalam hati itu mengecil bahkan hampir padam selama pemerintahan Kaisar Kian Liong karena para pendekar itu segan dan tunduk kepada Kaisar yang bijaksana itu.
Semua propinsi dalam keadaan tenteram, bahkan negara-negara yang tadinya suka menyeberang perbatasan dan mengadakan pengacauan, kini menarik pasukan mereka tidak berani mengganggu. Mereka pun maklum bahwa dalam sebuah negara yang tenteram dan makmur, terhimpun kekuatan yang hebat, bukan hanya kekuatan pasukannya, melainkan terutama sekali karena setiap orang rakyat siap sedia untuk mempertahankan ketenteraman hidupnya dan akan bangkit melawan pengacau dari luar.
Pada jaman Kaisar Yung Ceng, telah terjadi kontak-kontak dengan bangsa Rusia dan bangsa ini malah diperbolehkan membuka perwakilan di kota raja. Juga telah lama diadakan hubungan perdagangan dengan bangsa Portugal sebagai bangsa asing yang paling dulu mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. Kemudian berturut-turut datang pula bangsa Belanda, Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong membatasi gerakan mereka dan menjaga benar-benar agar mereka itu tidak mempengaruhi rakyat di mana mereka tinggal dengan kebudayaan mereka. Setiap gerak-gerik mereka diawasi dan perdagangan pun dibatasi agar rakyat tidak sampai tertipu dan dirugikan.
Demikianlah keadaan pada waktu pemerintah Kaisar Kian Liong, dan kalaupun ada terjadi pemberontakan, maka pemberontakan itu hanya terjadi di daerah pinggiran yang berbatasan dengan negara tetangga, pemberontakan suku bangsa yang masih liar dan yang selalu tidak mau menerima peraturan-peraturan dari pusat. Namun semua pemberontakan itu pun dengan mudah dapat ditundukkan dan diatasi.
Melihat keadaan ini, kaum pendekar juga bangkit kembali semangat mereka. Kalau dulu, di waktu para pendekar itu kecewa menyaksikan kelaliman Kaisar Yung Ceng sehingga mereka tidak acuh terhadap keamanan rakyat, kini mereka bangkit dan menentang para penjahat yang hendak mengacaukan ketenteraman. Maka dengan adanya para pendekar ini, makin tenteramlah kehidupan rakyat jelata, berkat kebijaksanaan Kaisar Kian Liong yang pandai mengambil hati kaum cerdik pandai dan gagah perkasa di seluruh negeri.
“Tapi, siapa pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apapun dalam urusan Kaisar itu, akan kuhadapi dengan sulingku!”
Ci Sian berkata, suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan dadanya. Bu-taihiap memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut.
“Ci Sian, sungguh mati kami bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau hendak membantuku membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan di pihak siapakah engkau sesungguhnya berdiri?”
“Aku tidak memihak siapapun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku, biarpun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Kini aku membela Sang Pangeran karena beliau adalah seorang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!”
“Hemm, Ci Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa daripada penindasan, ataukah engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar penjajah?”
Kini wajah Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Biarpun engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku! Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal! Apakah ia pun seorang pecinta rakyat dan anah air kita? Aku tidak peduli tentang urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa dan juga bukan pemberontak.”
Pangeran Kian Liong melangkah maju.
“Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku telah mengenalmu sebagai seorang dara yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apapun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda Kaisar. Biarpun aku tidak menjadi tawanan di sini, biarpun aku tidak menjadi sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.”
Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Biarpun mereka semua masih berada di dalam sarang para pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Sekarang Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biarpun kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi suhengnya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.
Menggunakan kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu sendiri, karena pemerintah tentu akan mengirim pasukan dan menghancurkan mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut! Selagi Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan dari para penjaga di luar,
“Utusan ke kota raja telah tiba kembali!”
Wajah Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.”
Ketika dua orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada Bu-taihiap dengan sikap bingung.
“Laporkanlah saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu. “Jangan kalian ragu-ragu lagi.”
“Kami telah menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah kami disuruh menanti dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang harus kami segera sampaikan kepada Tai-hiap.”
Dua orang utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana, menyerahkannya kepada Bu-taihiap. Pendekar ini menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka sampul dan berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ikut pula mendengarkan jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.”
Setelah berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan berjanji akan mengabulkannya, akan tetapi diminta agar Sang Pangeran segera dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit.
Mendengar ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri.
“Ah, kiranya Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu, “Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!”
“Kami akan mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu.
Bu-taihiap juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoinya. Bu Seng Kin berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak.
“Biarpun engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali.... kecuali....”
“Kecuali apa?”
“Kalau engkau hidup sendirian saja!”
Tang Cun Ciu yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu berkelahi, berkata dengan suara dingin,
“Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biarpun hati tidak setuju akan tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapapun juga kami adalah isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?”
Ci Sian cemberut.
“Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tak tahan aku berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam Hong.
Biarpun Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar merupakan hiburan besar.
Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di banyak kota, dan mereka tinggal menanti pelaksanaan daripada janji Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu.
Akan tetapi, sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya!
Ketika Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang. Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah daripada pohon yang ditanamnya sendiri.
Biarpun keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan.
“Bagus, engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat walaupun suaranya lemah dan lirih dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat itu!”
“Harap Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan untuk mengabulkan permohonan mereka....”
“Permohonan? Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai ke akar-akarnya!”
Pangeran Kian Liong dengan halus membantah bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah.
“Terutama sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat mempergunakan tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.”
“Kalau perlu akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah.
Akan tetapi dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar. Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi semakin berat!
Melihat keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya sebagai Pangeran Mahkota.
Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar. Di antara keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dan dihentikan pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat, terutama di dusun-dusun, pembangunan-pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya.
Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak senang. Dan mereka itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah daripada mereka. Mereka ini adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dari Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini, tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi!
Betapapun juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan yang amat berat.Penyakit Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun 1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara karena penyakitnya membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun.
Tidak ada kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh dan pada tahun 1736, beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong dinobatkan sebagai kaisar penuh.
Setelah menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal.
Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap. Kaisar muda ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan koruptor.
Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan maupun keadaan dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup.
Tentu saja semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang adil, yang bahkan lebih baik daripada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan tahun yang lalu.
Kaisar Kian Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tidak mengabaikan para ahli sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran, dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan kedudukan-kedudukan yang cukup baik, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini, kesusastraan berkembang biak dengan baiknya.
Dan memang tercatat dalam sejarah bahwa Pangeran Kian Liong merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil di dalam pemerintahan Mancu, bahkan jarang ada kaisar yang demikian gemilang pada dinasti-dinasti sebelumnya. Kaisar Kian Liong sendiri adalah seorang yang amat mengagumi Kaisar Tang Thai Cung, yaitu kaisar di dalam Dinasti Tang yang dianggapnya sebagai seorang kaisar yang bijaksana dan patut dicontoh. Maka dalam banyak hal, dia mencontoh Kaisar Dinasti Tang itu yang memerintah selama dua puluh tahun dan telah mencapai banyak sekali kemajuan untuk rakyat dan negaranya. Dan Kaisar Kian Liong ini malah menjadi Kaisar sampai selama enam puluh tahun!
Sungguh merupakan masa pemerintahan yang amat lama dan jarang ada kaisar yang seperti dia. Hal ini membuktikan kebijaksanaannya ketika memerintah sehingga tidak banyak terjadi pemberontakan terhadap pimpinannya! Memang tidak dapat disangkal bahwa jiwa patriot masih belum padam di dalam hati para pendekar. Namun api pemberontakan di dalam hati itu mengecil bahkan hampir padam selama pemerintahan Kaisar Kian Liong karena para pendekar itu segan dan tunduk kepada Kaisar yang bijaksana itu.
Semua propinsi dalam keadaan tenteram, bahkan negara-negara yang tadinya suka menyeberang perbatasan dan mengadakan pengacauan, kini menarik pasukan mereka tidak berani mengganggu. Mereka pun maklum bahwa dalam sebuah negara yang tenteram dan makmur, terhimpun kekuatan yang hebat, bukan hanya kekuatan pasukannya, melainkan terutama sekali karena setiap orang rakyat siap sedia untuk mempertahankan ketenteraman hidupnya dan akan bangkit melawan pengacau dari luar.
Pada jaman Kaisar Yung Ceng, telah terjadi kontak-kontak dengan bangsa Rusia dan bangsa ini malah diperbolehkan membuka perwakilan di kota raja. Juga telah lama diadakan hubungan perdagangan dengan bangsa Portugal sebagai bangsa asing yang paling dulu mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. Kemudian berturut-turut datang pula bangsa Belanda, Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong membatasi gerakan mereka dan menjaga benar-benar agar mereka itu tidak mempengaruhi rakyat di mana mereka tinggal dengan kebudayaan mereka. Setiap gerak-gerik mereka diawasi dan perdagangan pun dibatasi agar rakyat tidak sampai tertipu dan dirugikan.
Demikianlah keadaan pada waktu pemerintah Kaisar Kian Liong, dan kalaupun ada terjadi pemberontakan, maka pemberontakan itu hanya terjadi di daerah pinggiran yang berbatasan dengan negara tetangga, pemberontakan suku bangsa yang masih liar dan yang selalu tidak mau menerima peraturan-peraturan dari pusat. Namun semua pemberontakan itu pun dengan mudah dapat ditundukkan dan diatasi.
Melihat keadaan ini, kaum pendekar juga bangkit kembali semangat mereka. Kalau dulu, di waktu para pendekar itu kecewa menyaksikan kelaliman Kaisar Yung Ceng sehingga mereka tidak acuh terhadap keamanan rakyat, kini mereka bangkit dan menentang para penjahat yang hendak mengacaukan ketenteraman. Maka dengan adanya para pendekar ini, makin tenteramlah kehidupan rakyat jelata, berkat kebijaksanaan Kaisar Kian Liong yang pandai mengambil hati kaum cerdik pandai dan gagah perkasa di seluruh negeri.
**** 178 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 178"
Posting Komentar