Suling Emas & Naga Siluman Jilid 169

Bagaimanakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot?

Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mujijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, lalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang

Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu. Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Padang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehinga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah.

Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita. yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali.

Perasaan duka delam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar. Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas belaka.

Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya.






Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Lalu dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang?

Sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada keduanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya? Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh. Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyaplah semua kebahagiaan, Lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur.

Kebanyakan dari kita saling berlumba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN.
Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan. Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang amat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu.

Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan? Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik daripada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh rlbu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh lima ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju daripada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlumba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan. Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik daripada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian? Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenang-kan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlumba untuk mengejar kemajuan.

Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya? Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan? Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan daripada apa yang kita capai.

Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur. Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak. Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar “kemajuan dalam harta” menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan morphin dan sejenisnya, perdagangan gelap, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain.

Pengejaran “kemajuan dalam kedudukan” menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai berbunuh-bunuhan.

Mengapa kita harus mengejar kemajuan? Sampai di manakah batas kemajuan itu? Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan? Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju? Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan? Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi!
Si A dan si B berdagang kuih yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kuih dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kuih dengan penuh keinginan untuk memperoleh “kemajuan” yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kuih yang baik? Si A tentu saja.

Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, membuat kuih dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya.

Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apapun yang mereka lakukan atau kerjakan? Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar daripada anak lain, lebih menang daripada anak lain? Mengapa menanamkan benih persaingan dan, ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu?

Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya itu, suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan.

Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya. Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan.

Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain sejak kecil Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apapun, juga gerakan sulingnya sesungguhnya merupakan gerakan pedang pula.

Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh.

Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat. dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, melainkan terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu.

Melihat sumoinya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata dan biarpun, kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya.

Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In!

Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis.

“Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh....“

Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoinya hendak membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan minta ampun, malah didahului oleh dara itu yang menangis dan mengatakannya kejam sekali!

“Sumoi, apa maksudmu mengatakan aku kejam?”

Mendengar pertanyaan ini, Pek In menangis semakin terisak-isak. Hong Bu yang melihat betapa empat orang anggauta perampok yang belum tewas, hanya terluka itu, mengerang kesakitan akan tetapi juga dapat mendengar percakapan mereka, lalu menggandeng tangan Pek In dan dara itu ditariknya pergi dari situ.

“Mari kita bicara di tempat lain, Sumoi....” katanya.

Pek In masih menangis dan membiarkan dirinya digandeng dan dibawa ke tempat lain, agak jauh dari tempat para perampok menggeletak itu.

“Nah, katakanlah mengapa aku kejam?”

“Suheng.... kau.... pergi begitu saja meninggalkan aku.... hu-huuuuh, aku telah mencari-carimu setengah mati, berbulan-bulan lamanya.... sampai aku hampir putus harapan.... hu-hu-hu.... kenapa engkau begitu kejam meninggalkan aku....?”

Melihat dara yang biasanya amat tabah dan belum pernah dilihatnya menangis itu kini sesenggukan, Hong Bu merasa kasihan juga. Dara ini ditinggal ayahnya yang mengasingkan diri sebagai pertapa, dan dia tahu bahwa dara ini amat dekat dengan dia, maka setelah dia pergi, memang seolah-olah Pek In hidup sendirian saja di lembah yang sunyi itu. Karena merasa kasihan, maka dia lalu merangkul gadis itu dan mengelus rambutnya.

Merasa betapa pemuda itu merangkul dan mengelus rambutnya, Pek In menangis makin keras dan ia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 169"

Posting Komentar