Itukah cinta?
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai,
memiliki, menikmati, keselamatan, kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal yang diinginkan timbullah kedurhakaan,
pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?
Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
“Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?”
Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.
“Aku pun tidak tahu, Nona Bu.”
Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu?
Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?
Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?
Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan!
Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta.
Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....!
Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku “aku”, cinta kasih pun tiada!
Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.
Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu.
Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran.
Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.
Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan.
Iapun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.
“Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.
Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang. Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya.
“Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
“Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.
Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong, ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung.
Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.
“Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya.
Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.
“Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!”
Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!
Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!
Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini.
Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka.
Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok.
Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.
Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai,
memiliki, menikmati, keselamatan, kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal yang diinginkan timbullah kedurhakaan,
pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?
Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
“Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?”
Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.
“Aku pun tidak tahu, Nona Bu.”
Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu?
Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?
Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?
Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan!
Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta.
Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....!
Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku “aku”, cinta kasih pun tiada!
Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.
Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu.
Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran.
Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.
Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan.
Iapun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.
“Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.
Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang. Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya.
“Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
“Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.
Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong, ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung.
Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.
“Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya.
Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.
“Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!”
Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!
Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!
Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini.
Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka.
Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok.
Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.
Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 165"
Posting Komentar