Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita pergunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka.
Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, tiba-tiba Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang amat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, melainkan seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!
Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk melawan dan menahan serangan melalui khi-kang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khi-kang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya.
Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!
Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan “simpanan” terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!
Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan juga, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.
“Cringgg.... desss....!”
Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Dan pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana!
Biarpun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!
Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah. Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!
Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,
“Harap maafkan saya....”
Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!
“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!”
Dia sengaja menyebut keluarga Kao, karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan! Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, lalu menjura dengan hormat.
“Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapapun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa.
Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”
Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu!
“Kao-goanswe, bukan kami tidak melihat kenyataan itu, akan tetapi kami juga mengharapkan pengertian dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat. Kami sendiri menghormat dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayanginya sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tidak melihat cara lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun, demi perjuangan, rela untuk mengorbankan nyawa. Kami, biarpun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk menjadi anjing penjilat Kaisar!”
“Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.
“Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya.
Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walaupun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan!
Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jerih bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.
“Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Kalau sekarang puteraku, sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!”
Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya mengandung ejekan.
“Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!”
“Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?”
“Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!”
“Dan akibatnya Kaisar membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”
“Apa? Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?”
Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran. Kao Kok Cu menjawab tenang,
“Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”
“Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”
“Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang akan menimpa orang-orang tak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”
Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng daripada kebenaran, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Akan tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.
Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.
Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagaimanapun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun kembali biara Siauw-lim, membebaskan semua pendekar patriot daripada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?
“Kao-taihiap, terserah apapun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.”
Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, tiba-tiba Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang amat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, melainkan seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!
Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk melawan dan menahan serangan melalui khi-kang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khi-kang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya.
Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!
Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan “simpanan” terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!
Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan juga, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.
“Cringgg.... desss....!”
Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Dan pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana!
Biarpun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!
Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah. Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!
Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,
“Harap maafkan saya....”
Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!
“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!”
Dia sengaja menyebut keluarga Kao, karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan! Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, lalu menjura dengan hormat.
“Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapapun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa.
Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”
Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu!
“Kao-goanswe, bukan kami tidak melihat kenyataan itu, akan tetapi kami juga mengharapkan pengertian dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat. Kami sendiri menghormat dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayanginya sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tidak melihat cara lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun, demi perjuangan, rela untuk mengorbankan nyawa. Kami, biarpun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk menjadi anjing penjilat Kaisar!”
“Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.
“Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya.
Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walaupun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan!
Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jerih bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.
“Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Kalau sekarang puteraku, sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!”
Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya mengandung ejekan.
“Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!”
“Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?”
“Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!”
“Dan akibatnya Kaisar membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”
“Apa? Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?”
Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran. Kao Kok Cu menjawab tenang,
“Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”
“Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”
“Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang akan menimpa orang-orang tak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”
Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng daripada kebenaran, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Akan tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.
Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.
Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagaimanapun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun kembali biara Siauw-lim, membebaskan semua pendekar patriot daripada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?
“Kao-taihiap, terserah apapun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.”
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 175"
Posting Komentar