Suling Emas & Naga Siluman Jilid 163

Kini, terbuka kesempatan baginya! Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhunya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!

Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!

Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh lagi. Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Adapun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.

Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuaan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.

Sekali ini, pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci? Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.

Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini, terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetepi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!






Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini mereka cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarangan, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang.

Banjir darah di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemujaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biarpun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.

Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersamadhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biarpun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.

Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari.
Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggauta pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara!
Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!

Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.

Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andaikata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!

Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang herada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran. Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Pangeran akan dapat menyelamatkan yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar.

Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat. Ci Sian sendiri merasa ngeri menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat daripada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, dan sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai. Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama.

Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walaupun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan!

Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu cita-cita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!

Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah maupun yang dijajah, yang diserang maupun yang menyerang, pendeknya pihak-pihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman.

Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditariknya untuk menjadi perajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil daripada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biarpun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong. Dan kalau kalah?

Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu, menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.

Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau untuk perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalahgunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu!

Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-limpai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersamadhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapapun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.

“Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!” Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.

Para perajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat.

“Hidup Sang Pangeran!” mereka berseru.

Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan dan senjata mereka berlepotan darah pula.

Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walaupun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.

“Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!”

Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing.

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 163"

Posting Komentar