Tentu saja Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya,
Jenderal Muda Kao Cin Liong. Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana. Untuk nenghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka.
Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman. Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu.
Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu.
Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-lim-si, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai.
Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si.
Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu.
“Sungguh terlalu!” katanya ketika mereka mendengar berita itu.
“Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa malapetaka!”
“Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan.
“Apapun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, harus selalu kau ingat bahwa engkau adalah seorang pendekar, kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan adapun hasilnya, saya harus dapat mencari dia, setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya akan mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah seorang yang amat bijaksana. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, baru saya akan menawarkan tenaga saya untuk mengabdikan diri.”
Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main.
“Ah, biarpun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya daripada mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong.
“Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,” kata ayahnya.
“Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau.”
“Beliau akan menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk.
“Seorang yang sejak muda telah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan kehidupan rakyat dan keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.”
Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang, sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada beberapa orang yang masih hidup, walaupun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi.
Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat.
Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, akan tetapi mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.
“Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?”
Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat daripada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini.
Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, orang itu dapat juga bicara lemah,
“Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai.
Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula. Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana.
Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walaupun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggauta perarnpok.
“Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan.
Ayahnya memandang kepadanya.
“Engkau dapat menduga siapa mereka?”
Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata,
“Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.”
“Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti Gurun Pasir.
Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam?
Demikianlah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biarpun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.
Biarpun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu, tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana.
Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang.
“Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu.
Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tidak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya,
“Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka berkumpul di sini!”
Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu!
“Bagaimana baiknya sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya.
Betapapun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu.
“Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.”
Ayahnya mengangguk lalu berkata,
“Memang bijaksana dengan cara demikian. Akan tetapi aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.”
“Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang.”
Mereka lalu kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali.
Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot itu! Andaikata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.
Jenderal Muda Kao Cin Liong. Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana. Untuk nenghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka.
Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman. Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu.
Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu.
Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-lim-si, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai.
Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si.
Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu.
“Sungguh terlalu!” katanya ketika mereka mendengar berita itu.
“Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa malapetaka!”
“Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan.
“Apapun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, harus selalu kau ingat bahwa engkau adalah seorang pendekar, kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan adapun hasilnya, saya harus dapat mencari dia, setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya akan mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah seorang yang amat bijaksana. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, baru saya akan menawarkan tenaga saya untuk mengabdikan diri.”
Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main.
“Ah, biarpun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya daripada mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong.
“Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,” kata ayahnya.
“Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau.”
“Beliau akan menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk.
“Seorang yang sejak muda telah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan kehidupan rakyat dan keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.”
Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang, sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada beberapa orang yang masih hidup, walaupun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi.
Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat.
Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, akan tetapi mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.
“Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?”
Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat daripada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini.
Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, orang itu dapat juga bicara lemah,
“Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai.
Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula. Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana.
Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walaupun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggauta perarnpok.
“Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan.
Ayahnya memandang kepadanya.
“Engkau dapat menduga siapa mereka?”
Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata,
“Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.”
“Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti Gurun Pasir.
Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam?
Demikianlah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biarpun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.
Biarpun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu, tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana.
Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang.
“Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu.
Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tidak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya,
“Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka berkumpul di sini!”
Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu!
“Bagaimana baiknya sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya.
Betapapun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu.
“Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.”
Ayahnya mengangguk lalu berkata,
“Memang bijaksana dengan cara demikian. Akan tetapi aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.”
“Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang.”
Mereka lalu kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali.
Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot itu! Andaikata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.
**** 171 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 171"
Posting Komentar