Sementara itu, dua orang pemuda itu sendiri makin kagum terhadap lawan masing-masing. Rasa kagum yang bercampur rasa penasaran. Serangan-serangan lawan sungguh amat berbahaya, akan tetapi juga pertahanan lawan demikian kokoh kuatnya sehingga sukar ditembus oleh pedang mereka. Hanya ada perbedaan sedikit antara mereka! Koai-liong Kiam-sut sungguh merupakan ilmu pedang yang amat tangguh dan ampuh. Pedang yang diputar sampai mengeluarkan suara menggeram dan menggereng, mengaum seperti seekor binatang buas itu saja sudah menunjukkan betapa anehnya gerakan-gerakan itu.
Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah kuat setingkat. Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang aseli, dalam arti kata diciptakan sengaja dengan pedang. Biarpun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus pula. Akan tetapi, ternyata dalam hal sin-kang dan gin-kang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.
Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan tenaga sin-kang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Rasa kagum telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari dalam tidak dapat menyorot keluar.
Karena penasaran itulah, maka biarpun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian, dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang itu sudah berlangsung lebih seratus jurus. Mereka sama kuat, sama ulet, dan biarpun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.
Kembali lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah. Cin Liong terkejut tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.
“Cringgg....!”
Dua pedang bertemu, akan tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat! Cin Liong tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.
“Hiaaattt....!”
Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.
Keduanya meloncat ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang! Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka, biarpun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya waspada.
“Engkau hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.
“Dan engkau pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.
Tanpa berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi, sebelum pedang mereka berobah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa,
“Tahan senjata!”
Cin Liong segera mengenal suara ayahnya maka dia meloncat ke belakang meninggalkan lawan sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.
“Ah, melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Betapapun juga, jangan dikira aku takut. Majulah, Tai-hiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!”
Dia pun melintangkan pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Pendekar berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat
“Orang muda, ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk mencari kembali pedang yang hilang. Maka terjadilah bentrokan antara kami dan keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan tugas lalu dijadikan urusan pribadi, kalau mereka itu mengalah terhadap kami lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau anggap hal itu benar?”
Dengan jujur Sim Hong Bu menjawab,
“Terus terang saja, Tai-hiap, hal itu memang tidak benar. Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya, apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.
Kao Kok Cu tersenyum dan memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan yang tepat pula.
“Memang, tentu saja tidak memenuhi permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan dari guru sendiri sekalipun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas. Kalau suhumu minta agar engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”
“Ehh....?”
Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia mendengar ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan hal yang durhaka dan tidak berbakti!
“Apa maksudmu, Lo-taihiap?”
“Sim Hong Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah agar gurunya jangan sampai melakukan tindakan itu, kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah, tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan perintah gurumu yang tidak benar itu?”
Sim Hong Bu menjadi bingung. Memang, urusan hauw atau “berbakti” merupakah hal yang banyak membingungkan orang. Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu hal yang amat menguntungkan maka kata “berbakti” itu dipergunakan oleh guru atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!
Setiap kali seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap sebagai anak “put-hauw” (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biarpun pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai “tidak mencintanya”. Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak. Si orang tua ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia.
Si orang tua sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu MESTI baik pula bagi si anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurangpengertian, menciptakan apa yang dinamakan “gap” atau celah antara orang tua dan anak. Adanya celah yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing.
Kalau ada cinta kasih, maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri! Betapa bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami, isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.
Cinta kasih harus timbul dari batin sendiri dan cinta kasih sama sekali tidak mengharapkan balas dari orang lain. Namun cinta kasih mengandung daya mujijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!
Dalam kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu mencari akal bagaimana untuk menjawab. Mendengar ucapan itu, matanya seperti terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar dan bodoh.
Kini terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak hatinya!
“Akan tetapi, Tai-hiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan mendendam!”
Bantahnya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang bukan tidak benar.
“Semua akibat tentu ada sebabnya, orang muda, dan kalau kita menelusuri sebabnya, maka tidak akan ada habisnya. Kami datang ke lembah karena kami diutus Kaisar, dan kami diutus Kaisar karena pedang dicuri oleh seorang penghuni lembah, dan tentu kalian mempunyai pula sebab-sebabnya atas perbuatan itu. Tidak akan ada habisnya. Maka yang penting sekarang adalah saat ini, apakah kita akan terus menimbulkan sebab-sebab baru dan akibat-akibat baru. Tergantung sepenuhnya di tangan kita.”
“Akan tetapi kalau Tai-hiap sekeluarga masih terus mengejar-ngejarku, untuk merampas pedang, mana mungkin aku....”
“Tidak lagi! Untung bahwa kedatanganku belum terlambat. Aku ingin memberitahukan kalian berdua bahwa mulai sekarang, pedang Koai-liong Po-kiam itu adalah sah menjadi milikmu, Sim Hong Bu.”
“Ayah....!” Cin Liong berseru heran.
Ayahnya tersenyum.
“Tidak tahukah engkau bahwa Pangeran Mahkota telah merubah banyak sekali peraturan dan menyudahi segala macam pertikaian dengan tindakan-tindakan bijaksana? Di antaranya adalah pembangunan kembali biara Siauw-lim dan juga pengakuan bahwa Koai-liong Po-kiam adalah berasal dari keluarga Cu, maka pemerintah tidak menuntut kembalinya lagi?”
“Bagus....!”
Cin Liong bersorak gembira dan setelah menyimpan kembali pedangnya dia lalu menghampiri Hong Bu. Pemuda ini pun tersenyum dan menyimpan Koai-liong Po-kiam, lalu melangkah ke depan sambil agak terpincang. Mereka saling berjabat tangan dengan gembira.
“Hong Bu, aku girang sekali bahwa kini kita dapat menjadi sahabat!”
Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah kuat setingkat. Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang aseli, dalam arti kata diciptakan sengaja dengan pedang. Biarpun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus pula. Akan tetapi, ternyata dalam hal sin-kang dan gin-kang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.
Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan tenaga sin-kang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Rasa kagum telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari dalam tidak dapat menyorot keluar.
Karena penasaran itulah, maka biarpun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian, dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang itu sudah berlangsung lebih seratus jurus. Mereka sama kuat, sama ulet, dan biarpun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.
Kembali lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah. Cin Liong terkejut tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.
“Cringgg....!”
Dua pedang bertemu, akan tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat! Cin Liong tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.
“Hiaaattt....!”
Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.
Keduanya meloncat ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang! Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka, biarpun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya waspada.
“Engkau hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.
“Dan engkau pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.
Tanpa berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi, sebelum pedang mereka berobah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa,
“Tahan senjata!”
Cin Liong segera mengenal suara ayahnya maka dia meloncat ke belakang meninggalkan lawan sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.
“Ah, melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Betapapun juga, jangan dikira aku takut. Majulah, Tai-hiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!”
Dia pun melintangkan pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Pendekar berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat
“Orang muda, ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk mencari kembali pedang yang hilang. Maka terjadilah bentrokan antara kami dan keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan tugas lalu dijadikan urusan pribadi, kalau mereka itu mengalah terhadap kami lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau anggap hal itu benar?”
Dengan jujur Sim Hong Bu menjawab,
“Terus terang saja, Tai-hiap, hal itu memang tidak benar. Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya, apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.
Kao Kok Cu tersenyum dan memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan yang tepat pula.
“Memang, tentu saja tidak memenuhi permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan dari guru sendiri sekalipun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas. Kalau suhumu minta agar engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”
“Ehh....?”
Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia mendengar ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan hal yang durhaka dan tidak berbakti!
“Apa maksudmu, Lo-taihiap?”
“Sim Hong Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah agar gurunya jangan sampai melakukan tindakan itu, kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah, tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan perintah gurumu yang tidak benar itu?”
Sim Hong Bu menjadi bingung. Memang, urusan hauw atau “berbakti” merupakah hal yang banyak membingungkan orang. Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu hal yang amat menguntungkan maka kata “berbakti” itu dipergunakan oleh guru atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!
Setiap kali seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap sebagai anak “put-hauw” (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biarpun pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai “tidak mencintanya”. Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak. Si orang tua ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia.
Si orang tua sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu MESTI baik pula bagi si anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurangpengertian, menciptakan apa yang dinamakan “gap” atau celah antara orang tua dan anak. Adanya celah yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing.
Kalau ada cinta kasih, maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri! Betapa bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami, isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.
Cinta kasih harus timbul dari batin sendiri dan cinta kasih sama sekali tidak mengharapkan balas dari orang lain. Namun cinta kasih mengandung daya mujijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!
Dalam kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu mencari akal bagaimana untuk menjawab. Mendengar ucapan itu, matanya seperti terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar dan bodoh.
Kini terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak hatinya!
“Akan tetapi, Tai-hiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan mendendam!”
Bantahnya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang bukan tidak benar.
“Semua akibat tentu ada sebabnya, orang muda, dan kalau kita menelusuri sebabnya, maka tidak akan ada habisnya. Kami datang ke lembah karena kami diutus Kaisar, dan kami diutus Kaisar karena pedang dicuri oleh seorang penghuni lembah, dan tentu kalian mempunyai pula sebab-sebabnya atas perbuatan itu. Tidak akan ada habisnya. Maka yang penting sekarang adalah saat ini, apakah kita akan terus menimbulkan sebab-sebab baru dan akibat-akibat baru. Tergantung sepenuhnya di tangan kita.”
“Akan tetapi kalau Tai-hiap sekeluarga masih terus mengejar-ngejarku, untuk merampas pedang, mana mungkin aku....”
“Tidak lagi! Untung bahwa kedatanganku belum terlambat. Aku ingin memberitahukan kalian berdua bahwa mulai sekarang, pedang Koai-liong Po-kiam itu adalah sah menjadi milikmu, Sim Hong Bu.”
“Ayah....!” Cin Liong berseru heran.
Ayahnya tersenyum.
“Tidak tahukah engkau bahwa Pangeran Mahkota telah merubah banyak sekali peraturan dan menyudahi segala macam pertikaian dengan tindakan-tindakan bijaksana? Di antaranya adalah pembangunan kembali biara Siauw-lim dan juga pengakuan bahwa Koai-liong Po-kiam adalah berasal dari keluarga Cu, maka pemerintah tidak menuntut kembalinya lagi?”
“Bagus....!”
Cin Liong bersorak gembira dan setelah menyimpan kembali pedangnya dia lalu menghampiri Hong Bu. Pemuda ini pun tersenyum dan menyimpan Koai-liong Po-kiam, lalu melangkah ke depan sambil agak terpincang. Mereka saling berjabat tangan dengan gembira.
“Hong Bu, aku girang sekali bahwa kini kita dapat menjadi sahabat!”
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 180"
Posting Komentar