Delapan orang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang mengawaninya itu, pandang mata tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain daripada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, walaupun mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.
“Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!”
Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang Pangeran tersenyum.
“Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka? Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya dibunuh, dibakar hidup-hidup dan Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka?”
“Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!”
“Apa bedanya bagi mereka? Yang melakukan pembantaian adalah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka.”
“Aihh....!” Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”
Pangeran itu menarik napas panjang.
“Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri.”
Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang.
“Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Sang Pangeran yang, lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.
“Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!”
Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran. Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus,
“Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?”
Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
“Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!”
“Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”
Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
“Aihhh.... Pangeran....” keluhnya.
“Eh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”
“Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”
Sang Pangeran tersenyum,
“Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?”
Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
“Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”
Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum.
“Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona.”
Kemndian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
“Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda?
di mana gerangan Anda?
Seakan tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di antara kelopak mawar
rupawan menyelinap di antara bayan-bayang
beterbangan di antara hembusan angina
Kuraih dan kupeluk mesra
hanya untuk sadar kecewa
bahwa semua itu hanya bayangan hampa
dan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapai
menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai
di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat
di dalam sorak-sorai kanak-kanak”
Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!
“Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.
“Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?”
“Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”
“Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”
“Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!”
“Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengsara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?”
Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti!
“Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?”
Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang.
“Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu.”
“Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran.”
Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang.
“Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?”
“Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya?”
“Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu.”
Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.
Cinta,
kata keramat penuh rahasia
bahan renungan para seniman dan pujangga
Antara anak dan orang tua ada kebaktian
antara warga dan negara ada kesetiaan
antara pria dan wanita ada kemesraan
antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan.
“Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!”
Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang Pangeran tersenyum.
“Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka? Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya dibunuh, dibakar hidup-hidup dan Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka?”
“Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!”
“Apa bedanya bagi mereka? Yang melakukan pembantaian adalah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka.”
“Aihh....!” Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”
Pangeran itu menarik napas panjang.
“Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri.”
Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang.
“Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Sang Pangeran yang, lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.
“Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!”
Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran. Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus,
“Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?”
Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
“Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!”
“Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”
Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
“Aihhh.... Pangeran....” keluhnya.
“Eh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”
“Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”
Sang Pangeran tersenyum,
“Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?”
Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
“Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”
Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum.
“Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona.”
Kemndian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
“Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda?
di mana gerangan Anda?
Seakan tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di antara kelopak mawar
rupawan menyelinap di antara bayan-bayang
beterbangan di antara hembusan angina
Kuraih dan kupeluk mesra
hanya untuk sadar kecewa
bahwa semua itu hanya bayangan hampa
dan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapai
menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai
di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat
di dalam sorak-sorai kanak-kanak”
Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!
“Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.
“Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?”
“Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”
“Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”
“Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!”
“Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengsara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?”
Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti!
“Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?”
Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang.
“Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu.”
“Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran.”
Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang.
“Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?”
“Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya?”
“Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu.”
Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.
Cinta,
kata keramat penuh rahasia
bahan renungan para seniman dan pujangga
Antara anak dan orang tua ada kebaktian
antara warga dan negara ada kesetiaan
antara pria dan wanita ada kemesraan
antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan.
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 164"
Posting Komentar