Biara Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai.
Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio.
Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat.
Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.
Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka.
Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.
Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja.
Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini.
Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka!
Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.
Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya.
Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut “mengasah pedang bermata dua” karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat. Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka.
Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda!
Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.
Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri.
Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.
“Apa yang kalian lakukan di sini!” bentak hwesio tinggi besar itu.
Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.
“Dukk!”
Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.
“Dukk.... plakk!”
Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,
“Siapa kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini!”
Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.
“Kalian pengkhianat....!” bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang.
Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.
“Hui Sian Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”
“Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”
“Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”
Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri.
Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio.
Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat.
Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.
Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka.
Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.
Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja.
Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini.
Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka!
Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.
Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya.
Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut “mengasah pedang bermata dua” karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat. Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka.
Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda!
Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.
Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri.
Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.
“Apa yang kalian lakukan di sini!” bentak hwesio tinggi besar itu.
Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.
“Dukk!”
Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.
“Dukk.... plakk!”
Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,
“Siapa kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini!”
Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.
“Kalian pengkhianat....!” bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang.
Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.
“Hui Sian Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”
“Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”
“Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”
Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri.
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 162"
Posting Komentar