EPISODE 2 BAB 50 SANG MAHA GURU


Cio San dan Syafina melanjutkan perjalanan. Dalam hati masing-masing mereka mengetahui bahwa di depan sana akan ada sesuatu lagi yang harus mereka hadapi. Dan tebakan ini benar, setelah beberapa lama mereka berjalan, dari kejauhan terlihat seseorang yang duduk sendirian di pinggiran jalan setapak. Cio San dan Syafina berjalan dengan santai saja. Jika kau merasakan apa yang mereka rasakan, kau pun akan berjalan seperti Ini. Seolah-olah di dunia ini tak ada yang sanggup menghentikan langkahmu ini.  

“Selamat malam, siansing” Cio San menyapa dan menjura lebih dulu.

Orang yang diberi salam umurnya sudah cukup tua, kira-kira hampir setengah abad. Rambutnya digulung rapi seperti gulungan rambut para tosu (pendeta agama tao). Melihat kedua orang anak muda ini, wajahnya bersinar terang. “Kau kah yang bernama Cio San?” tanyanya.

Mendapat pertanyaan seperti ini, Cio San sudah tidak kaget lagi, ia hanya bisa tersenyum mengangguk. “Apakah cayhe harus menghadapi ujian sekali lagi?” Cio San balas bertanya.

“Tentu saja,” jawab tosu setengah baya itu. “Tak ada seorang pun yang bisa melewati aku sebelum ku coba terlebih dahulu. Sebelum aku membuktikan bahwa aku telah melakukan hal yang benar dengan meletakkan kau di urutan ke 7,” jawabnya sambil berdiri dari duduknya.

“Urutan ke 7?”

“Kau akan tahu nanti,” jawab sang tosu.

Cio San menarik nafas panjang. Syafina menyentuh tangannya dan tersenyum, “Kau pasti bisa,” kata putri cantik ini.

“Kau duduk di sana saja ya,” balas Cio San yang ditimpali dengan anggukan oleh Syafina. Saat Syafina memilih tempat, Cio San tertawa dan berkata, “Lebih mundur lagi.”

Syafina menurut dan berjalan lebih jauh, “Di sini?” tanyanya.

“Lebih jauh sedikit,”

“Di sini?”

“Ya, bolehlah,” kata Cio San tersenyum.

“Kali ini tidak ada main-main. Kau tak akan mampu melewatiku jika kau tidak mengeluarkan kemampuanmu yang seluruhnya,” kata si tosu.

Cio San mengerti. Ia memejamkan matanya sebentar. Mengumpulkan seluruh kepercayaan diri dan ketenangannya. Orang yang berada di hadapannya ini sama sekali bukan orang sembarangan. Cio San dapat menebak ini dari sinar wajah sang tosu yang bersinar dengan terang. Hanya orang yang memiliki tenaga sakti sangat tinggi yang memiliki wajah bersinar-sinar seperti ini.

“Majulah!” kata si tosu tenang.

Cio San mengepalkan tangannya. Kepalan itu seolah-olah mengeluarkan cahaya merah bersinar terang. Begitu kepalan itu terbuka, telapak tangannya sudah bercahaya pula. Ia tidak perlu bergerak maju. Hanya kuda-kuda yang tertanam dalam ke dasar bumi. Dari mulutnya terdengar teriakan bagaikan raungan seekor naga, “Naga menggerung menyesal!”

Pukulan telapak itu menyodok ke depan dengan sangat kuat. Bersamaan dengan itu keluarlah angin serangan yang berasal dari telapak itu. Angin itu meliuk-liuk bagaikan naga yang sedang mengamuk, menghancurkan apapun yang berada di sekelilingnya!

Sang tosu yang melihat ini pun tidak beranjak dari tempatnya. Sama seperti Cio San, kuda-kudanya pun kokoh berdiri di tempatnya. Hanya tangannya yang menjulang ke atas seolah-olah memegang bola yang bersinar-sinar. “Bola” itu dihantamkannya ke depan untuk beradu dengan “naga” yang keluar dari telapak tangan Cio San.

Dhuaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!!!

Mereka berdua masing-masing terlempar ke belakang oleh ledakan dahsyat ini. Begitu kaki mereka menginjak tanah, segera mereka melenting maju ke depan menyerang. Cio San mengerahkan ginkangnya yang teramat tinggi itu. Telapak tangan kirinya sudah mengeluarkan suara bagaikan ekor ular derik. Kepalan tangan kanannya telah terkepal dan dihantamkannya ke depan.

Si tosu menerima tinju itu dengan telapak tangannya. Begitu kedua lengan itu bertemu, kembali terdengar lagi suara ledakan yang dahsyat.

Dar dar dar dar dar!

Setiap kali mereka beradu lengan, dentuman dahsyat terdengar pula beriringan. Cahaya yang keluar akibat benturan tenaga dalam yang sangat dahsyat ini menerangi malam jauh lebih terang daripada cahaya rembulan.

Syafina seperti merasa ia sedang berada pada sebuah perayaan besar di mana kembang api dinyalakan dengan meriahnya. Kedua orang ini bergerak tanpa bisa dilihatnya lagi. Hanya cahaya-cahaya beserta dentuman dahsyat yang bisa dilihatnya!

Duar! Duar! Duar! Duar! Duar! duar!

Alangkah dahsyatnya pertempuran ini sampai-sampai Syafina tak tahu lagi apa yang sedang mereka lakukan. Ia tak tahu lagi apakah ia sedang menyaksikan dua orang bertarung, ataukah ia sedang berada di angkasa di tengah-tengah badai dengan petir dan guntur yang menyambar-nyambar!

Kedua orang ini memang telah menciptakn badai yang memporak porandakan sekeliling hutan. Pohon-pohon tumbang hanya karena angn yang dihasilkan dari benturan kedua tangan mereka. Cahaya petir menyambar-nyambar keluar dari benturan itu. Untunglah ia berada cukup jauh dari pertempuran dan berlindung di balik sebuah batu besar.

Gelombang yang dihasilkan oleh pertarungan kedua orang di depan sana malahan membuat batu besar tempat Syafina berlindung seperti bergetar. Dhummmm dhummmm dhuuuummm!

Padahal ia berada berpuluh tombak jauhnya dari pertarungan ini. Seumur hidupnya baru kali ini Syafina melihat ada manusia yang sanggup menghasilkan guntur, petir, badai, serta gempa bumi secara bersamaan!

Cio San dan sang tosu justru tertawa bahagia. Baru kali inilah masing-masing menghadapi musuh yang setangguh ini. Angin serangan menderu-deru. Setiap serangan dan tangkisan menciptakan ledakan dahsyat. Tetapi tubuh mereka sanggup menahan goncangan ini agar tidak terlempar keluar. Ini berarti tubuh mereka harus bekerja dua kali. Bertarung dan mempertahankan posisi masing-masing. Jika salah seorang terlempar keluar dari pusaran badai ini, maka ia akan kalah!

Darah segar keluar dari bibir Cio San. 

Mereka sudah tak perduli lagi berapa pukulan yang masuk, berapa yang berhasil dihindarkan. Yang mereka tahu hanyalah bertarung!

Dalam 500 tahun, pertempuran semacam ini mungkin hanya terjadi sekali saja!

Pertarungan ini semakin menggila setiap detiknya. Pusaran badai yang tercipta karena gerakan mereka pun semakin mengerikan. Debu, bebatuan, dedaunan dan ranting pohon tersedot masuk ke dalam pusaran ini, untuk kemudian termuntahkan keluar dengan kecepatan yang berkali-kali lebih kuat daripada saat tersedotnya.

Duar! Duar! Duar!

Syafina hanya bisa berlindung sambil berdoa di dalam hati agar tidak terjadi sesuatu kepada Cio San. Meskipun ia khawatir, ia memiliki keyakinan yang besar terhadap lelaki itu.

Entah berapa lama pusaran badai menghanucrkan sekelilingnya. Entah berapa banyak sembaran ‘petir’ dan ‘guntur’ yang keluar dari dalam badai ini.

Zwiiinggggggggg zwiiiiiinggggggg zwiiiiiiiiiiing!!!!

Blaaaaaaarrrrrr! Blaaaarrrrrr!!!!!

Jika nanti Syafina bercerita kepada orang lain tentang pertarungan ini, ia mungkin hanya bisa menceritakan suara yang ia dengar. Karena matanya sudah tak sanggup lagi melihat apa yang terjadi. Hanya ada badai, petir, guntur, dan gempa bumi!

Lalu kemudian semuanya berhenti!

Senyap. Sunyi.

Syafina pun menoleh, dilihatnya kedua orang itu sedang duduk bersila. Ia ragu-ragu apakah ia harus segera berlari ke sana, ataukah duduk diam menunggu dibalik batu besar yang kini sudah pecah-pecah tidak karuan. Ia akhirnya memilih untuk tetap tinggal. Karena ia percaya pada lelaki itu.

Rasa percaya perempuan kepada seorang laki-laki sebenarnya jauh lebih membahagiakan dan menenangkan bagi kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Sayangnya tidak banyak perempuan yang melakukannya.

Cukup lama kedua orang ini bersemedhi. Uap dan asap keluar dari tubuh mereka. Rupanya kedua orang ini sedang memulihkan keadaan masing-masing. Si tosu selesai lebih dahulu, Cio San menyusul kemudian. Keadaan sang tosu biasa-biasa saja. Bahkan tidak kelihatan seperti baru selesai bertempur sama-sekali.

Kini Cio San sudah berjalan perlahan menuju ke tempat Syafina berteduh.

“Kau tak apa-apa?” tanya Cio San.

Melihat keadaannya Syafina sangat senang. Darah belepotan di wajah dan bajunya, tetapi wajahnya bersinar dengan terang. “Bagaimana hasilnya?” tanya Syafina.

“Aku tidak kalah,” kata Cio San tersenyum senang.

“Berarti kau menang? Syukurlah,” Syafina lalu menggumamkan sesuatu. Mungkin doa-doa dalam bahasa agamanya.

“Tidak. Aku tidak menang. Hanya tidak kalah saja,” jelas Cio San.

“Eh bagaimana itu?” tanya Syafina tidak mengerti. “Tidak kalah kan berarti menang?”

Cio San hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya.

“Maksudmu imbang?” tanya Syafina lagi.

“Tidak juga. Ah, sudahlah. Kau akan mengerti suatu saat nanti,” tukas Cio San.

“Ish! Terserah kau sajalah!” kata Syafina gemas sambil meninju lengan Cio San dengan manja.

“Aduh…..,”

“Ehhh, maaf-maaaf,” seketika Syafina sadar ia baru saja meninju seorang laki-laki yang baru saja pulang dari pertarungan terdahsyat di dalam hidupnya. Segera ia mengeluarkan beberapa bahan obat yang selalu ia bawa sebagai bekalnya. Ada juga kain perban untuk merawat luka.

Setelah luka-luka Cio San dirawat, ia segera menuju kepada sang tosu di depannya yang sedang duduk tersenyum memandang kemesraan mereka.

Cio San menjura dengan sangat dalam, “Siansing, terima kasih sekali atas pertarungan ini. Dalam seumur hidup boanpwee (saya yang lebih rendah), belum pernah mengalami pertarungan seperti ini,”

“Haha. Cio San memang Cio San. Sungguh betapa kagum hati cayhe(saya) melihat kehebatan angkatan muda jaman sekarang. Kami yang tua-tua ini sudah bolehlah cuci tangan selamanya, menyepi dan mendalami agama,” kata si tosu.

Cio San sendiri tak sanggup menebak siapa orang ini. Mengapa ada orang sesakti ini yang muncul tiba-tiba dan tak seorang pun pernah mendengar sepak terjangnya.

“Aih, maafkan aku yang tidak sopan belum memperkenalkan nama,” ujar si tosu seolah-olah mampu membaca isi hati Cio San. “Namaku aku sendiri sudah lupa. Tetapi orang-orang memanggilku dengan julukan Kim Sim Koksu (guru besar hati emas). Panggilan kosong yang cuma bikin malu,” katanya sambil tersenyum.

Seketika mata Cio San terbelalak. Semua orang di Tionggoan ini tentu saja tahu siapa Kim Sim Koksu. Ia adalah Koksu atau guru besar kerajaan! Ia adalah guru besar yang mengajari para kaisar! Mengajari sastra, mengajari tata negara, mengajari mereka ilmu perang. Ia adalah guru para kaisar!

Tapi konon katanya usianya sudah lebih dari 100 tahun. Bahkan ia adalah guru besar kerajaan sejak kaisar pertama dinasti Beng. Mengapa ia berpenampilan semuda ini? Segera Cio San sadar, sang guru bisa semuda ini adalah karena ilmunya yang begitu tinggi sehingga ia mampu mencapai taraf “kembali muda”. Taraf yang konon hanya bisa diraih oleh sang maha guru Thio Sam Hong.

Tak sadar kembali Cio San menjura dengan sangat dalam, “Maafkan boanpwee yang begitu sempit penglihatannya sehingga…,”

“Aih, kenapa kau seperti orang-orang munafik yang terlalu banyak sungkan? Aku justru hadir di sini karena ingin bertemu denganmu,” sela sang maha guru.

“Bertemu boanpwee?”

“Ya. Aku tahu kau pasti akan melibatkan diri di dalam perang ini. Karena itulah aku datang pula ke sini. Hanya sekedar ingin melihat keadaan peperangan, sekaligus mungkin bisa bercakap-cakap denganmu,” jelas sang maha guru.

“Boanpwee siap menerima petunjuk,” kata Cio San dengan tenang.

“Kau adalah pemegang lencana naga. Satu-satunya orang di dunia ini yang memegang lencana itu. Titahmu bagaikan titah kaisar. Oleh karena itu tanggung jawab yang kau emban pun tentu sangat besar. Aku yakin kau menyadari hal ini. Aku sendiri memperhatikan sepak terjangmu dan harus ku akui, orang seperti engkau memang muncul 100 tahun sekali,”


Lanjutnya, “Ketahuilah, baru kali ini aku keluar meninggalkan istana. Hanya untuk bertemu denganmu. Syukur masih diberi umur untuk bertemu dengan pendekar muda seperti engkau.’’

Sebenarnya Cio San ingin berkata “maha guru terlalu memuji”, tetapi ia takut dimarahi lagi.

“Peperangan ini sangat mencurigakan dan terlalu banyak rahasia. Kaisar yang sekarang hampir seumuran denganmu. Perhitungannya kadang belum matang, dan masih membutuhkan banyak bantuan. Aku sendiri sudah terlalu tua dan sudah saatnya mengundurkan diri sepenuhnya dari tanggung jawabku untuk mendidik para kaisar ini.”

Lanjutnya, “Tetapi mau tidak mau, aku sepertinya harus melibatkan diri dalam perang ini. Meskipun tidak terlibat langsung, setidaknya aku masih bisa memberi masukan-masukan yang penting bagi kaisar kita. Sejauh pengamatanku, kekuatan musuh yang kita hadapi justru lebih besar daripada kekaisaran kita. Padahal mereka hanya sekelompok pasukan dari suku-suku kecil di Selatan. Kau tahu mengapa mereka bisa begitu kuat?”

“Sepanjang pengamatan boanpwee, kekuatan mereka ada pada taktik tempur bergerilya. Mereka tidak mungkin berperang secara terbuka karena jumlah mereka lebih kecil daripada tentara kita. Selain itu, mereka mampu mengajak banyak sekali tokoh-tokoh persilatan yang teramat sakti,” jelas Cio San.

“Benar sekali. Tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di pihak musuh adalah tokoh-tokoh hitam sesat yang memang selalu menyukai pertempuran, dan imbalan yang tidak sedikit. Sedangkan tokoh-tokoh putih yang lurus selalu lebih memilih untuk menjauhkan diri dari urusan kekaisaran,” kata sang maha guru. Lanjutnya, “Kau tahu, aku telah membuat daftar urutan tokoh-tokoh silat yang masih hidup, berdasarkan kemampuan dan kehebatan mereka. Daftar ini setiap tahun kuperbaharui. Ini kubuat sebagai bahan pertimbangan bagi kaisar, agar kaisar pun memperhitungkan kekuatan orang-orang Kang Ouw (dunia persilatan).”

“Sayangnya, tokoh yang paling tinggi ilmunya di dalam daftarku ini, telah bergabung dengan pihak musuh,”

“Maksud koksu (maha guru), Pek Giok Kwi-bo, sang nenek sakti itu?”

“Ya. Dia. Urutannya memang yang paling tinggi di daftar yang kubuat. Ia berada di urutan 2. Urutan 3 adalah Pendekar Pedang Kelana. Urutan 4 adalah cucunya sendiri yaitu Suma Sun. Urutan 5 adalah Raja Golok dari Timur Ca Hio Li. Dan urutan ke 6 adalah Lu Hu Tu yang terkenal dengan telapak naga api nya. Urutan ke 5 dan 6 ini sudah bergabung dengan pihak musuh, kau sendiri berada di urutan ke 7.” jelas sang maha guru.

“Ah,” mata Cio San bersinar terang. “Sudah bisa masuk ke urutan 7 di dalam daftar yang thay suhu buat, adalah sebuah kehormatan yang teramat besar,” katanya dengan jujur. Lanjutnya, “Tetapi siapakah yang urutan 1? Oh, boanpwee mengerti,” tukas Cio San.

“Jika kau mengira bahwa aku memasukkan diriku sendiri di urutan 1, maka kau keterlaluan. Hahaha,” tawa sang mahaguru. Cio San segera tersadar bahwa tentu saja sang maha guru tidak memasukkan dirinya sendiri di daftar urutan ini. Ia terlalu tinggi, terlalu mulia, terlalu sederhana, dan terlalu bijaksana untuk masuk ke daftar itu.

Kata sang maha guru, “Urutan nomer 1 aku kosongkan. Sebenarnya urutan 1 ini bisa menjadi mlikmu. Jika kau cukup sadar dan cukup mawas diri,” ujar sng maha guru.

“Boanpwee menerima petunjuk,” kata Cio San sambil menjura dengan dalam.
“Kau memiliki kemampuan yang tak terbayangkan orang. Tidak terukur. Dalam artian kemampuan silatmu sangat tergantung pada suasana yang kau hadapi sendiri. Jika kau tidak sedang diliputi beban pikiran, maka ilmu silatmu akan berkembang sangat dahsyat. Tetapi jika adalah masalah yang membebani hatimu, maka ilmu mu menurun sangat jauh.”

Lanjutnya, “Oleh karena itu aku meletakkanmu di urutan ke 7, dan mengosongkan urutan pertama. Urutan pertama ini hanya milikmu seorang, tetapi kau harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Melepaskan segala beban pikiranmu. Segala kekosongan jiwamu. Kehampaan hidupmu. Kesedihan hatimu. Hanya dengan cara inilah kau dapat sampai pada tingkatan tertinggi kemampuanmu sendiri,” jelas sang maha guru.

“Boanpwee mengerti. Terma kasih sekali, koksu,” kata Cio San mengangguk-angguk.

“Ini memang bukan kesalahanmu semata. Aku tahu kau mempelajari ilmu silat dengan caramu sendiri. Tanpa ada guru yang membimbing, tanpa ada pengarahan dari orang yang benar-benar mengerti tentang falsafah ilmu silat. Kau hanya mengikuti kata hati dan bisikan jiwamu sendiri. Tidak salah, tapi tidak benar. Kekuatan terbesarmu adalah hatimu sendiri. Ilmu silatmu akan mengikuti kemana hatimu membawanya.”

“Kesedihan tak pernah usai, ia hanya berganti wajah. Oleh karena itu jangan menunggu untuk bahagia. Bahagialah di dalam kesedihanmu. Bahagialah di dalam segala kekuranganmu, di dalam cobaan-cobaanmu. Karena kebahagiaan tidak akan pernah datang. Kebahagiaan itu dibuat dan diciptakan. Kaulah pencipta kebahagiaanmu sendiri,” ujar sang maha guru.

Cio San seperti mendapatkan pencerahan tertinggi di dalam hidupnya. Hanya duduk beberapa menit dengan sang maha guru kerajaan, ia seperti telah belajar ratusan tahun kepadanya. Tak heran mengapa ia pantas menjadi maha guru kekaisaran. Menjadi pendidik para kaisar selama puluhan tahun ini.
Begitu tinggi ilmunya, begitu rendah hatinya. Usianya mungkin sudah mencapai 150 tahun, tetapi raut wajahnya begitu muda seolah hanya sepertiga usianya. Kebijaksanaannya bagai tanpa batas.



Begitu Cio San mengangkat muka, sang maha guru telah menghilang dari hadapannya. Cio San hanya bisa bersoja (bersujud) pada bekas duduk sang maha guru ini.

Syafina yang duduk agak sedikit jauh di belakang, hanya bisa tersenyum saat Cio San menoleh kepadanya.

Sambil berdiri, Cio San berkata, “Seandainya bisa tetap urutan no 7, aku sungguh berbahagia. Apalagi jika tidak masuk sama sekali dalam urutan ini.”
“Kenapa?” tanya Syafina yang kini turut berjalan mengiringi Cio San.

“Orang-orang yang masuk ke dalam daftar urutan ini, tentu saja selalu mengalami kesulitan sepanjang hidup mereka,” tukasnya sambil tertawa.

“Meskipun kau tak masuk daftar itu, aku yakin kau akan selalu mengalami kesulitan,” tukas Syafina.

“Eh?”

“Ya. Karena meskipun kau membenci kesulitan, kesulitan justru mencintaimu,” tawa si putri terdengar renyah.

Ada sesuatu dalam tawa perempuan yang membuat engkau terbuai dan takut pada saat yang bersamaan. Karena yang paling menakutkan dari perempuan bukanlah tawa mereka, melainkan isi hati yang mereka simpan di balik tawa itu.

Syafina bertanya, “Apakah justru sebenarnya yang berada di urutan pertama adalah sang maha guru sendiri?”

“Tentu saja. Tapi tak ada satu orang pun di kalangan Kang Ouw yang menyangka hal ini. Selama ini kebanyakan orang di dunia ini mengira bahwa sang maha guru Kim Sim Koksu hanyalah guru yang mengajarkan ilmu sastra, ilmu peperangan, dan ilmu tata negara kepada para kaisar. Tak tahunya ia adalah seorang tokoh persilatan yang teramat sakti. Di jaman ini, aku yakin beliaulah yang paling tinggi ilmunya,” jelas Cio San.

“Jika dibandingkan dengan mendiang Thio Sam Hong-thay suhu?” tanya Syafina lagi.

“Aku tak tahu karena aku belum pernah bertemu dengan mendiang thay-suhu secara langsung. Tapi konon kabarnya beliau telah mencapai taraf “kembali muda”. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa mungkin kedua maha guru ini berada di tingkat yang hampir sama. Satu-satunya orang yang mungkin masih hidup yang mendekati tingkatan ini adalah..eh..kakek yang ku temui dulu saat mengunjungi makam kedua orang tuaku.”

“Siapa kakek ini?” tanya Syafina.

“Ia adalah cucu murid dari mendiang Thio Sam Hong-thay suhu, nama beliau adalah Thio Bu Kie-tayhiap”

“Oh. Apakah beliau hidup menyepi juga?”

“Ya, bersama istrinya. Tapi entahlah apakah mereka masih hidup atau tidak.....,”

Cio San menarik nafas panjang melihat jalan setapak yang masih harus dilaluinya ini. Melihat ini Syafina bertanya kepadanya, “Siapa lagi yang harus kita temui di depan nanti?”

“Orang yang membuat seluruh hewan lari ketakutan dari hutan ini,”

“Siapa dia?”

“Sang kaisar sendiri……,”




Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 50 SANG MAHA GURU"

Posting Komentar