Sepasang pendekar ini lalu berjalan menyusur jalan menanjak yang berada di hadapan mereka. Syafina terpaksa harus memapah Cio San karena ternyata luka-lukanya cukup parah. “Tadi di hadapan Kim Sim Koksu kau bisa berjalan tanpa ku bantu, mengapa sekarang seperti ini?” tanya Syafina bingung.
“Di hadapan orang sesakti beliau tentu saja aku harus menjaga muka. Haha,” tawa Cio San.
“Haha. Kau tak takut dituduh munafik?”
“Jika aku memang munafik, mengapa harus takut dituduh munafik pula? Justru jika aku sebagai orang munafik takut dituduh munafik, bukankah itu munafik yang sejati?” katanya ringan.
“Betul juga. Orang yang seperti engkau ini memang sangat jarang di kolong langit ini,” dengus Syafina sambil tersenyum.
“Orang yang seperti aku sebenarnya sungguh banyak, tetapi dunia tidak mengenal mereka. Karena mereka tidak ingin terkenal. Justru malahan mereka berharap tak ada seorang pun yang mengenal mereka,” tukas Cio San.
“Dengan begitu, mereka tak perlu menghadapi kesulitan yang terlalu banyak, bukan?” kata Syafina.
Cio San hanya tertawa dan menyambung, “Dengan begitu mereka dapat hidup dengan tenang.”
Syafina terdiam sebentar. Di dalam kepalanya ia memikirkan kata-kata Cio San dan kata-kata Kim Sim Koksu tadi. Ia lalu berkata, “Mengingat perkataan Kim Sim Koksu tadi, aku jadi bertanya-tanya. Mengapa pikiranmu begitu terbebani? Mengapa kau selalu diliputi kesedihan? Padahal kau orang yang penuh bakat. Namamu menjulang di dunia persilatan. Bahkan kaisar pun mengakui kehebatanmu. Mengapa jiwamu selalu hampa dan kosong?”
Cio San pun bingung menjawabnya. Ia hanya bisa berkata, “Entahlah. Bukankah setiap manusia mempunyai tantangan hidupnya sendiri-sendiri?”
Putri cantik asal Mongolia ini akhirnya tidak bisa berkata-kata lagi. Jawaban Cio San bukanlah jawaban yang ia cari. Tetapi ia sungkan bertanya lebih lanjut. Malah Cio San yang melanjutkan, “Mungkin jiwaku tak akan kosong lagi jika ada seseorang yang mengisinya.”
“Kau belum menemukan orang itu?”
“Belum.”
“Kenapa tidak mencarinya?” tanya Syafina penasaran.
“Jika takdirnya belum sampai, walaupun aku menghancurkan jiwa ragaku untuk mencarinya ke seluruh pelosok bumi, aku tak akan menemukannya. Tetapi jika takdirnya telah tiba, meskipun aku bersembunyi di dasar bumi paling bawah pun, orang ini justru akan tetap menemukanku.”
“Bagaimana jika takdir menentukan bahwa kalian tak akan bertemu?”
“Maka aku akan hidup sebagai orang baik-baik.”
Hidup sebagai orang baik-baik. Amat sangat ringan dan gampang terdengar. Hampir seluruh orang mengatakannya. Tapi sungguh untuk melakukannya diperlukan keberanian tersendiri.
“Menurutku kau hanya cepat menyerah!” sanggah Syafina. “Mungkin di masa lalu seseorang melukaimu dengan sangat dalam, sehingga kau menutup diri jika ada perempuan yang datang. Orang seperti engkau amat mudah menaklukan wanita. Amat mudah mencari pasangan jiwa.”
Cio San tertawa di dalam hati. Ia baru saja menghadapi pertempuran terhebat sepanjang hidupnya. Kini Syafina malah mengajaknya berdebat. Memang bagi perempuan, tidak ada “benar” dan “salah”. Mereka mengikuti keinginan hatinya saja. Jika mereka ingin mengatakan sesuatu, mencari keributan, atau melakukan apa yang mereka mau, maka mereka akan melakukannya. Tidak perduli apa dan bagaimana keadaan yang sedang mereka hadapi.
Ini adalah ciri-ciri perempuan. Sebuah sifat yang membuat mereka menarik dan menyebalkan pada saat yang sama.
“Mungkin kau benar. Tapi mungkin juga kau salah. Bisa saja semua ini terjadi karena hatiku memang belum menemukan seseorang yang cocok,” kata Cio San sambil tersenyum kecut.
“Itu karena kau terlalu pilih-pilih!”
“Aku tidak boleh memilih? Jadi jika ada kerbau datang padaku, meminta ku nikahi, aku harus menerimanya?”
“Eh...ya tidak harus begitu. Tapi masakah tidak ada perempuan cantik yang datang memberi cintanya untukmu?”
“Tidak” jawaban ini singkat, padat dan jelas.
“Aku tak percaya!” dengus Syafina.
“Contohnya kau. Apakah kau mau datang memberi cinta padaku?” tanya Cio San sungguh-sungguh.
“Aku...eh...aku....” tentu saja ia tak dapat menjawab. “Ish!” ia hanya dapat membanting kaki.
Setelah lama terdiam, Syafina berkata, “Perempuan pada umumnya tidak suka mendatangi laki-laki. Para laki-laki lah yang harus mendatangi mereka.”
“Mengapa perempuan tak boleh mendatangi laki-laki?”
“Huh! Karena aturannya sudah begitu!” kata Syafina gemas.
“Siapa pula yang membuat aturan ini? Mengapa orang lain harus mematuhi aturan yang ia buat?”
“Ah entahlah! Gemas aku berbicara padamu!” sambil berkata begitu Syafina meremas lengan Cio San yang sedang dipapahnya.
“Aaaaah....aduh....!”
“Rasakan. Itu akibatnya jika kau berdebat denganku!” wajahnya menampakkan kemarahan tetapi bibirnya membentuk senyum yang indah sekali. Seperti bulan sabit di malam yang terang.
Di hadapan Kim Sim Koksu, Cio San menampakkan kegagahannya. Namun di hadapan Syafina, ia justru menunjukkan kelemahannya. Jika perasaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan sudah mendalam, ia tak akan ragu-ragu untuk menunjukkan kelemahannya.
Entah bagaimana perasaan Cio San kepada Syafina.
Entah bagaimana pula perasaan Syafina kepada Cio San.
Kedua manusia ini hanya bisa berjalan menyusuri takdir. Sampai akhirnya jalan mereka bertemu, atau malah sebaliknya memisahkan mereka.
Jalan yang sedang mereka susuri kini mulai terang karena pagi telah menjelang. Dari kejauhan Cio San dapat melihat sebuah rombongan yang sedang beristirahat dan membakar api anggun. Ia tahu salah seorang dari rombongan ini adalah sang kaisar sendiri.
Empat orang berjaga dan mungkin yang lainnya sedang tertidur pulas di dalam sebuah tenda sederhana. Begitu Cio San dan Syafina mendekati mereka, ke empat orang ini dengan tangkas telah membuat pertahanan ketat hanya dengan menggunakan letak berdiri mereka. Pandangan mata orang biasa tak mungkin melihat hal ini, tetapi Cio San bukan orang biasa.
Seorang penjaga yang masih cukup muda dan berbadan tegap maju dan berkata. “Berhenti!”
Cio San dan Syafina menurut.
“Maaf, bolehkah cayhe (saya) bertanya siapakah gerangan tuan berdua, dan mau apa malam-malam melewati jalan ini?” laki-laki yang bertanya ini memiliki wibawa yang sangat besar. Cambangnya sangat lebat hingga menutupi seluruh wajah bagian hidung dan bibir ke bawah. Sinar matanya mencorong tajam. Mau tidak mau hati Cio San cukup mencelos juga berhadapan dengannya.
Karena sudah yakin siapa rombongan ini sebenarnya, Cio San mengeluarkan lencana naga, dan berkata, “Nama hamba Cio San, dan ini putri Syafina dari kerajaan Qara Del. Kami bermaksud bertemu dengan Yang Mulia kaisar, tetapi tentu saja kami tidak berani mengganggu tidur Yang Mulia.”
Begitu melihat lencana naga itu sang penjaga hanya tersenyum, “Bagi kami lencana ini tak ada artinya.”
“Oh,” Cio San mengangguk dan tersenyum saja sambil memasukan lencana naga ke balik bajunya. Ia jadi salah tingkah sendiri tak tahu harus berbuat apa. Syafina menarik lengannya dan mengajaknya duduk di sebuah batu yang berada tak jauh dari sana.
Sebelum mereka sempat beranjak ke sana, sang penjaga berkata, “Jika Cio-Hongswee mau duduk bersama kami dan menikmati beberapa cawan arak, kami sungguh merasa terhormat.”
Tentu saja ia mau. Maunya pun sangat cepat.
Kini Cio San, Syafina, dan penjaga itu sudah duduk mengelilingi api unggun. Penjaga yang lain duduk kembali ke posisi penjagaan mereka. Cio San mempersilahkan Syafina untuk tidur dan beristirahat. Ia telah mengajak putri cantik ini bertualang dan menderita selama beberapa hari. Dalam hati ia merasa sangat bersalah. Sang putri pun menurut kata Cio San dan memilih rerumputan empuk yang berada di dekat Cio San untuk tidur. Tak berapa lama ia sudah tertidur. Tidurnya pun nampak anggun sekali.
Cio San sedang asik menatap wajah Syafina yang tertidur saat sang penjaga yang duduk di hadapannya menyodorkan secawan arak. Cio San menerimanya sambil menyatakan terima kasih.
“Memang nama Cio-hongswee sebanding dengan kemampuannya. Selama ini belum pernah ada orang yang sanggup melewati barisan para sastrawan,” kata sang pengawal memulai obrolan. Ia lalu memperkenalkan namanya, Li Ping Han.
“Aih, sesungguhnya saya hanya berhasil melewati 3 siucay (sastrawan). Sastrawan yang lain membiarkan saya lewat,” jelas Cio San.
“Oh, itu karena para siucay telah menyadari siapa Hongswee sebenarnya. Mereka mengirimkan pesan melalui burung merpati kepada kami,” kata Li Ping Han sambil tersenyum. Wajah orang ini sungguh menyenangkan. Sorot matanya, senyumnya, tutur katanya. Mengingatkan Cio San kepada Beng Liong.
Tentulah orang ini memiliki pangkat yang sangat tinggi di dalam kekaisaran. Cio San bersikap sederhana saja kepadanya, karena ia memang paling nyaman bersikap seperti ini. Li Ping Han pun senang karena Cio San bersikap seperti ini. Mereka seperti sahabat lama yang baru saja berjumpa kembali.
“Li-toako (kakak Li), siapakah sebenarnya para sastrawan ini? Tentu mereka bukan mantan tentara yang sudah purna tugas?” tanya Cio San.
Li Ping Han tersenyum dan berkata, “Benar. Sesungguhnya mereka adalah pendekar-pendekar hebat puluhan tahun yang lalu, saat kita belum lahir. Begitu mereka cuci tangan dari dunia Kang-Ouw, kekaisaran meminta mereka untuk menjadi pengawal rahasia kaisar.”
“Oh begitu. Jadi mereka sudah mengawal berapa kaisar sampai sekarang?” tanya Cio San lagi.
“Setahuku baru 2 ini. Kaisar yang sekarang, dan mendiang kaisar yang lalu. Kenapa kau bertanya? Ah aku mengerti, kau pasti bertanya-tanya mengapa mereka tidak muncul saat kejadian pemberontakan Beng Liong dahulu, kan?”
Li Ping Han sangat cerdas. Ia bisa menebak isi hati Cio San dengan cepat sekali. Cio San pun hanya bisa mengangguk sambil tertawa masam.
“Setahuku, mereka memang sengaja tidak turun karena mereka ingin melihat kemampuanmu. Selain itu juga kau kan menyamar sebagai kaisar, tentu saja mereka harus menjaga kaisar yang sebenarnya di tempat persembunyiannya,” jelas Li Ping Han.
Cio San mengangguk mengerti. Memang pergerakan kekaisaran ini sungguh hebat dan penuh perhitungan.
“Sastrawan yang paling lemah di antara mereka, itu tingkatan silatnya sudah sama tingginya dengan ketua-ketua partai persilatan seperti Bu Tong-pay atau Go Bi-pay. Tetapi sastrawan yang terkuat ilmunya sangat tinggi, mungkin hampir setara dengan maha guru kekaisaran kita, Kim Sim Koksu,” kata Li Ping Han lagi.
Mau tidak mau Cio San terhenyak. Orang-orang sehebat ini mau menjadi pengawal kaisar, jika mereka mau, salah seorang saja sudah bisa membunuh kaisar dan melakukan pemberontakan!
Mereka rela berjalan kaki di tengah malam hanya agar dapat melindungi sang kaisar. Kesetiaan dan kerendah-hatian mereka sungguh terpuji. Di dalam dunia Kang Ouw, orang-orang seperti ini mungkin sudah memiliki partai atau perguruan besar yang jumlahnya ribuan orang. Hidup dalam kekayaan yang berlimpah.
Mengetahui bahwa kaisar dilindungi oleh orang-orang yang hebat seperti ini, hati Cio San menjadi lebih tenang. Tetapi musuh di depan sana mempunyai gerakan yang rahasia dan tak diduga-duga. Bersikap tenang sambil tetap waspada adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya.
Sambil minum arak mereka bercerita banyak hal. Li Ping Han bertanya tentang beberapa sahabat Cio San seperti Suma Sun, Cukat Tong, Kao Ceng Lun, dan Gan Siau Liong.
“Kami di istana mendengar bahwa Suma-tayhiap terluka dan sampai sekarang tak sadarkan diri, kabar mengenai istrinya juga......,” Li Ping Han tak tega meneruskan kata-katanya.
“Hal ini juga sangat membuat saya prihatin, toako (kakak). Saat saya meninggalkannya, ia masih tak sadarkan diri. Tetapi Cukat Tong dan istrinya menjaganya di sana. Segala jalan penyembuhan sudah dicoba. Semoga saja ia bisa sembuh seperti sedia kala,” Cio San tidak bercerita bahwa Cukat Tong dan Bwee Hua sedang pergi ke pegunungan Himalaya untuk mencari Gan Siau Liong.
“Dan bagaimana dengan Gan-bengcu (ketua Gan)? Apa yang dicarinya di pegunungan Himalaya sana? Kami di istana mendengar gerutuan beberapa kalangan Bu Lim (kalangan persilatan) tentang Gan-bengcu yang meninggalkan tanggung jawabnya sebagai Bu Lim Beng Cu (ketua dunia persilatan) di saat keadaan sedang genting seperti ini,” tukas Li Ping Han.
“Bengcu menitipkan tanggung jawab ini kepada saya. Dan saya akan berusaha sebaik-baiknya untuk tidak mengecewakan kepercayaan bengcu,” demi sahabat-sahabatnya tentu saja ia rela “sedikit” berbohong. Gan Siau Liong tidak pernah menitipkan urusan ini kepadanya. Semua ini ia lakukan semata-mata sebagai tanggung jawabnya kepada seorang sahabat.
Seorang sahabat dapat memintanya untuk menerjang lautan api, atau terjun ke jurang berisi pedang. Ia akan melakukannya dengan senang hati. Karena ia tahu, sahabat itu pun akan melakukan hal yang sama jika ia memintanya.
Jika seorang sahabat menyakiti atau melukai hatinya dan dirinya, ia tak akan membalasnya. Karena ia lebih memilih terluka daripada melukai sahabatnya. Ini memang sudah sifatnya. Sudah menjadi ciri khas yang tertanam di dalam jiwanya. Orang lain boleh menertawakannya, tetapi mereka tak akan sanggup melakukan hal yang ia lakukan.
Jumlah sahabat yang ia miliki meskipun tidak banyak, sesungguhnya juga tidak sedikit. Karena ia menyukai bersahabat dengan orang lain. Itulah kebanggaannya. Itulah harga dirinya.
Semakin Li Ping Han mengobrol dengan Cio San, semakin dilihatnya pemuda ini sangat sederhana, ramah, dan suka bercanda. Tetapi Li Ping Han selalu dapat melihat bayangan kesedihan di mata Cio San. Walaupun mata itu tetap menyinarkan cahaya kehidupan yang sangat terang.
Ia telah banyak bertemu dengan pendekar-pendekar angkatan muda. Telah banyak kenal dengan mereka. Tapi umumnya mereka tinggi hati dan terlalu percaya diri. Dalam diri Cio San, yang terlihat hanyalah kepolosan dan kewajaran. Ia seperti seorang anak kecil yang sibuk bermain seorang diri dengan mainannya. Tak perduli dunia sekacau apa, anak kecil ini tetap bermain dengan senang hati.
Itulah sifat Cio San yang sebenarnya. Li Ping Han dapat menyelami hal ini karena ia telah banyak bertemu banyak orang dan sifatnya masing-masing. Mempelajari mereka, dan mengambil hikmah dari pengalaman-pengalamannya yang luas. Jika kesedihan terpancar dalam jiwa Cio San, semua hanya karena jiwa pemuda itu begitu haus akan cinta.
Cinta yang mungkin tidak bisa ia peroleh dari sahabat-sahabat terbaiknya. Mau atau tidak, seorang lelaki harus mengakui bahwa sahabat tak akan mampu menggantikan kekasih, seperti juga kekasih tak akan dapat menggantikan sahabat. Cinta keduanya berbeda. Cio San memang penuh cinta akan persahabatan, tetapi ia tidak memiliki cinta dari seorang kekasih.
Apakah karena ini jiwa Cio San begitu hampa?
Tetapi mengapa ia begitu gembira?
Mengapa pula ia tidak boleh gembira?
Cio San berbaring di atas rerumputan. Pagi telah menjelang. Perjalanan masih panjang. Ia menggunakan tangannya sebagai bantal. Memandang sisa-sisa bintang yang masih bersinar di langit. Untuk sekejap ia pun terlelap. Melepaskan segala letih dan lelahnya walau hanya sebentar.
Li Ping Han melihat ini dan hanya tersenyum saja. Kewajibannya untuk menjaga rombongan ini sangat besar. Ia tidak “berani” terlelap walau sebentar saja. Ia bangkit dan berdiri lalu memeriksa keadaan sekitar. Kuda-kuda mereka sudah beristirahat dengan cukup. Sebuah kereta yang cukup reot pun dalam keadaan baik. Perbekalan masih banyak, dan anggota-anggota yang lainnya pun masih tetap berjaga.
Rasa damai seperti ini mengapa begitu cepat berakhir? Tak berapa lama lagi mereka akan memasuki peperangan. Entah mereka hancur atau menang, hanya langit yang tahu. Ada tugas-tugas negara yang harus ia jalankan. Jiwa dan raganya sudah milik tanah airnya sepenuhnya.
Nasib para tentara dan serdadu selalu menyedihkan. Berada di dalam intrik para pemimpinnya. Jika salah bersikap mereka akan dibenci rakyat. Tetapi mereka tidak pernah memiliki pilihan sepanjang hidup mereka. Mereka hanya memahami kata “patuh”. Jiwa dan raga mereka adalah milik negara sepenuhnya. Dan keadaan mereka justru yang paling menderita. Jika ada perang merekalah yang maju lebih dulu. Jika keadaan damai mereka selalu menduhulukan kepentingan rakyat.
Yang hidup mewah hanyalah para panglima.
Tetapi masih banyak orang yang ingin jadi tentara. Menyerahkan hidupnya bagi orang lain. Seperti Li Ping Han yang tetap dengan gagah menjalankan tugasnya mengawal kaisar. Sungguh bukan sebuah tugas yang gampang. Ia tidak dapat tidur nyenyak seperti Cio San yang kini sudah mulai mengorok. Sedikit saja ia memejamkan mata, bisa-bisa seluruh negeri hancur berantakan.
Matahari sudah meninggi. Embun masih membekas di rerumputan. Li Ping Han sudah menyiapkan pasukannya yang hanya terdiri dari 4 orang termasuk ia sendiri. Dengan sopan ia membangunkan Cio San. Dengan sekali sentuh, Cio San sudah sadar sepenuhnya.
“Dalam beberapa menit kita akan berangkat. Makanan untukmu dan tuan putri Syafina sudah kami persiapkan. Mohon makan dahulu,” katanya sambilmenyodorkan dua mangkuk sup hangat. Cio San menerimanya dengan penuh terima kasih. Dengan perlahan ia membangunkan putri Syafina.
Mereka kemudian makan bersama-sama dengan para pengawal kaisar. Gaya mereka sederhana. Tenang dan tak banyak bicara. Para pengawal ini semuanya masih muda. Tapi sekali pandang Cio San yakin ilmu silat mereka tinggi sekali.
Saat mereka makan, seseorang keluar dari tenda. Semua yang ada disini hendak berdiri dan memberi hormat tetapi orang yang keluar dari tendah itu segera mencegahnya. “Santai saja. Tetaplah makan.”
Orang ini masih muda, hampir sebaya dengan Cio San. Tatap matanya bersinar tajam. Alisnya runcing ke atas seperti sayap elang. Bibirnya tersenyum namun dagunya selalu terangkat dengan tinggi. Sekali pandang saja Cio San sudah tahu bahwa orang ini adalah sang kaisar sendiri!
Syafina hendak meletakkan mangkok dan menjura, ia sebenarnya ingin berkata “Semoga Kaisar Panjang Umur!”, tetapi kaisar segera mencegahnya. “Kita sedang dalam penyamaran, tentu tidak perlu melakukan hal-hal seperti ini, bukan?”
Ia bergabung dengan rombongan dan mengambil mangkuk sup yang memang sudah disediakan untuknya. “Hmmm, harum sekali? Ta Cia yang membuatnya?” tanyanya. Orang yang bernama Ta Cia mengangguk penuh hormat.
Kaisar makan dengan santai. Gayanya seperti orang biasa saja. Sambil mengunyah, ia malah berkata, “Maafkan tidak bisa menjamu Hongswee dan tuan putri Syafina dengan cukup pantas.”
Cio San dan Syafina kaget juga saat mengetahui bahwa kaisar ternyata mengenal mereka. Mungkin semalam sang kaisar sempat terbangun dan mendengar obrolan mereka.
Cio San tersenyum. Ia tahu tidak perlu bersikap menjilat di hadapan kaisar ini. Ia malah bersikap biasa saja dan berkata, “Bisa makan bersama dengan toako (kakak) sungguh merupakan kebanggan tersendiri,” Syafina menoleh kepadanya dengan penuh canggung. Seolah merasa tidak setuju dan malu atas sikap Cio San yang berbicara dengan kaisar seperti ini.
Tapi sang kaisar malah tertawa, ujarnya, “Justru berada di dekat Hongswee malah membuat hatiku tenang dan riang. Kita harus merayakan hari ini dengan sedikit arak. Setuju?”
Arak telah tertuang di sebuah pagi yang tenang di dalam sebuah hutan yang indah. Hanya orang-orang yang telah mengalami permasalahan yang begitu dahsyat yang bisa memahami keindahan yang sederhana. Semua orang yang berada di dalam rombongan ini tentu saja sudah mengalaminya. Karena itu mereka begitu menikmati keadaan ini.
Seumur hidup Syafina tak pernah menyangka bahwa ia akan duduk bersama dengan kaisar Tionggoan, bercakap-cakap dan bercanda sambil minum arak dengannya. Seumur hidup pula ia tak menyangka bahwa kaisar yang kekuasaannya paling luas di muka bumi ini hanyalah seorang pemuda sederhana yang lugas dan polos. Tak pernah pula disangkanya bahwa kaisar ini rela berjalan dalam sebuah rombongan kecil, tidur di tenda paling murah, dan naik kereta reot.
Jika ia menceritakan hal ini kepada orang lain, tak ada seorang pun yang akan percaya.
Kaisar, Cio San, dan Syafina bercakap-cakap cukup lama, di saat yang sama ke empat prajurit ini telah membersihkan dan membereskan tempat itu. Tak berapa tempat itu sudah bersih dan rapi. Kuda sudah disiapkan dan kereta pun sudah siap berangkat.
“Kita sudah bisa berangkat?” tanya kaisar kepada Li Ping Han yang dijawab perwira gagah itu dengan mengangguk. “Nah, kalian ikutlah ke dalam kereta. Di situ kita bisa bercerita sepuasnya,”
Kaisar, Cio San, dan Syafina naik ke dalam kereta. Li Ping Han dan salah seorang duduk di depan sebagai kusirnya. Ta Cia dan seorang lagi masing-masing mengendarai kudanya sendiri. Begitu masuk di dalam kereta reot itu, Cio San langsung menyadari satu hal. Kereta ini hanya luarnya yang reot. Di bagian dalam sangat nyaman, dan segala keperluan ada di sana. Ia yakin, kereta ini memiliki banyak tuas rahasia yang berfungsi sebagai alat pertahanan melawan musuh.
Benar saja, saat sang kaisar menekan sebuah tuas, tahu-tahu muncul sebotol arak dan sebuah piring berisi camilan kecil berupa kacang-kacangan. Bukan kacang-kacangan biasa, melainkan sejenis kacang-kacangan yang tumbuh diluar Tionggoan dan rasanya enak sekali. Kaisar menawarkan kepada mereka, dan mulai membuka obrolan,
“Hongswee sudah bertemu dengan guruku, bukan?” Cio San mengangguk, sebelum ia sempat membuka suara, kaisar sudah bertanya lagi, “Ia memberitahukan kepadamu tentang daftar yang ia buat?”
“Benar, yang mulia,” Cio San lalu menceritakan daftar itu beserta urut-urutannya.
“Suma-tayhiap sekarang berada di urutan ke empat?” tanyanya sedikit kaget. Lanjutnya, “Dari terakhir yang kudengar, guruku mengeluarkannya dari 50 besar!”
Sekarang justru Cio San yang kaget. Setelah berfikir sebentar ia tersenyum dan berkata, “Berarti Koksu yang mulia tahu, bahwa pengobatan Suma-tayhiap berhasil dan ia telah sembuh!”
“Hmmm, benar juga. Setelah kejadian di dermaga dan Suma-tayhiap menderita sakit, urutannya melorot jauh. Tetapi nampaknya guru telah mengetahui kesembuhannya. Sungguh, betapa luas pengetahuannya. Betapa dalam ilmu guruku ini….,” matanya menerawang dengan kagum.
“Kim Sim Koksu memang pantas disebut “batu penjuru dunia”. Menjadi patokan dan petunjuk bagi kita semua,” kata Cio San dengan kagum pula.
“Julukan itu terakhir disandang oleh mendiang Thio Sam Hong. Rasanya cukup pantas juga disandang oleh guruku,” kata sang kaisar tersenyum senang. “Tetapi yang paling bikin aku senang, adalah keberadaan Hongswee dalam pihakku. Untuk hal ini, aku sungguh sangat berterima kasih sekali. Negara akan memberikan imbalan yang pantas untuk jasa-jasa ini,”
Dalam hati Cio San hanya tertawa. Jika bukan karena serangan-serangan gelap terhadap sahabat-sahabatnya, ia tentu tidak akan turut campur dalam urusan Negara. Jika bukan karena penderitaan kaum-kaum jelata karena peperangan ini, ia tentu sudah menyepi di sebuah lembah yang tenang sambil minum arak sampai mampus.
“Seandainya sahabat-sahabat Hongswee pun bisa turut membantu rakyat di dalam peperangan ini, sungguh aku dapat tidur dengan tenang,” tukas sang Kaisar.
“Mengenai Suma-tayhiap, jika ia tidak ingin melakukan sesuatu, ia tak akan pernah melakukannya meskipun raja akhirat sendiri yang dating memintanya. Ini sudah menjadi sifatnya. Bahkan hamba sendiri pun tidak mampu memintanya melakukan hal yang tidak ingin ia lakukan,” jelas Cio San.
“Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang pendekar! Melakukan sesuatu harus dating dari hati nurani. Bukan karena terpaksa. Salut! Sungguh Salut!” seru sang Kaisar.
“Eh, tetapi jika kini guru memasukkannya ke urutan 4, ilmu pedangnya memang sudah sangat meningkat hebat!”
“Oh, memangnya sebelum ia dikeluarkan dari 50 besar, berada di urutan berapakah ia?” Tanya Cio San.
“Urutan ke 8,” kata Kaisar.
Seketika mata Cio San berkilat. Ia senang ilmu Suma Sun meningkat setelah sembuh dari sakitnya. Tetapi ia justru khawatir, jika Suma Sun mencapai taraf ini, ia akan kehilangan kemanusiaannya lagi. Kembali menjadi “dewa” lagi. Ia akan membunuh lagi.
Mentari bersinar, rumput yang hijau, samudra yang luas, serta manusia yang mati oleh pedang Suma Sun. Kesemuanya adalah hal-hal “sederhana” yang sudah digariskan langit.
Ungkapan itu adalah sebuah ungkapan yang sangat terkenal di masa jaya-jayanya Suma Sun sebagai “dewa”. Membayangkan bahwa ungkapan ini akan terdengar kembali, membuat Cio San merinding.
“Tak berapa lama lagi, Kim Sim Koksu nampaknya harus merubah lagi daftar yang beliau buat, karena Suma-tayhiap akan segera menduduki peringkat pertama,” kata Cio San dengan sungguh-sungguh.
“Eh?”
“Karena sebentar lagi, orang yang akan mampus karena pedangnya akan begitu banyak sampai-sampai samudera yang luas ini tak mampu lagi menampung mayat mereka.”
Tanpa suara. Tanpa darah. Yang ada hanya kematian.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 51 SANG NAGA YANG BERTAHTA DI BUMI"
Posting Komentar