“Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan.”
Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai.
Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
“Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.”
Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf. Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu.
“Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?”
Kam Hong menggeleng kepala.
“Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”
“Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”
“Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”
“Juga rindu....?”
“Juga rindu....“
Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
“Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?”
Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu,
“Suheng, mengapakah?”
Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.
“Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini?”
Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.
“Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”
“Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman?”
“Habis, mengapa?”
“Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi?”
“Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”
“Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.
“Habis mengapa?”
“Usia kita selisih tiga belas tahun!”
“Lalu, mengapa?”
Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang,
“Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?”
Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya.
“Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”
“Harap jangan memperolokku, Sumoi.”
“Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”
“Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”
“Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut.
“Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”
“Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“
Ci Sian memandang bengong.
“Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”
“Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”
“Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”
“Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah.”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“
Kam Hong memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata,
“Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka....”
“Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”
“Aku berjanji.”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai.
Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
“Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.”
Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf. Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu.
“Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?”
Kam Hong menggeleng kepala.
“Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”
“Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”
“Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”
“Juga rindu....?”
“Juga rindu....“
Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
“Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?”
Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu,
“Suheng, mengapakah?”
Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.
“Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini?”
Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.
“Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”
“Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman?”
“Habis, mengapa?”
“Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi?”
“Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”
“Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.
“Habis mengapa?”
“Usia kita selisih tiga belas tahun!”
“Lalu, mengapa?”
Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang,
“Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?”
Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya.
“Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”
“Harap jangan memperolokku, Sumoi.”
“Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”
“Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”
“Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut.
“Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”
“Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“
Ci Sian memandang bengong.
“Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”
“Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”
“Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”
“Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah.”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“
Kam Hong memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata,
“Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka....”
“Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”
“Aku berjanji.”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
**** 167 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 167"
Posting Komentar