“Bagus, kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita. Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi, sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada kami.”
“Terserah apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biarpun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”
“Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat.
“Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.
Semua orang memandang dengan penuh perhatian, dengan hati berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!
Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.
Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aselinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat. Demikian hebatnya ilmu ini sehingga tidak ada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja.
Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna.
Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sin-kang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan “menggigit”, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.
Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu kini terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.
Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring,
“Kao-taihiap, lihat serangan!”
Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar ketika kedua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan menyambut serangan lawan.
“Plak! Dessss....!” paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu.
Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!
“Bu-taihiap, awas seranganku!”
Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak dan tubuhnya juga meluncur ke depan, tiba-tiba sampai di depan lawan tubuhnya membalik dengan putaran kakinya, lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas!
Bu Seng Kin juga terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya.
“Dukk! Dessss....!”
Kembali keduanya terdorong ke belakang, akan tetapi kalau Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!
Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biarpun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sin-kang. Kalau dia terus mengandalkan sin-kangnya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tidak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya. Maka dia pun lalu menerjang ke depan, sekali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.
Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas, ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!
Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biarpun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, namun sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah.
“Wut-wut-wut-wuttt....!”
Tiba-tiba Butaihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.
“Wir.... syuuut-syuutttt....!”
Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu!
“Plak! Dukk!”
Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah “tersentuh” ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi.
Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan. Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi. Namun, kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur dan wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.
Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak,
“Jangan bunuh ayahku!”
Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya! Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khi-kang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas!
Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sin-kang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan! Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan
“Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.
Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras,
“Ci Sian, Jangan serang ayahku!”
Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!
Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, dan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!
“Plak! Dukk!”
Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es!
Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh amat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu. Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu!
“Terserah apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biarpun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”
“Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat.
“Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.
Semua orang memandang dengan penuh perhatian, dengan hati berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!
Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.
Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aselinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat. Demikian hebatnya ilmu ini sehingga tidak ada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja.
Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna.
Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sin-kang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan “menggigit”, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.
Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu kini terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.
Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring,
“Kao-taihiap, lihat serangan!”
Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar ketika kedua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan menyambut serangan lawan.
“Plak! Dessss....!” paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu.
Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!
“Bu-taihiap, awas seranganku!”
Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak dan tubuhnya juga meluncur ke depan, tiba-tiba sampai di depan lawan tubuhnya membalik dengan putaran kakinya, lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas!
Bu Seng Kin juga terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya.
“Dukk! Dessss....!”
Kembali keduanya terdorong ke belakang, akan tetapi kalau Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!
Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biarpun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sin-kang. Kalau dia terus mengandalkan sin-kangnya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tidak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya. Maka dia pun lalu menerjang ke depan, sekali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.
Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas, ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!
Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biarpun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, namun sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah.
“Wut-wut-wut-wuttt....!”
Tiba-tiba Butaihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.
“Wir.... syuuut-syuutttt....!”
Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu!
“Plak! Dukk!”
Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah “tersentuh” ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi.
Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan. Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi. Namun, kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur dan wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.
Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak,
“Jangan bunuh ayahku!”
Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya! Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khi-kang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas!
Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sin-kang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan! Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan
“Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.
Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras,
“Ci Sian, Jangan serang ayahku!”
Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!
Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, dan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!
“Plak! Dukk!”
Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es!
Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh amat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu. Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu!
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 176"
Posting Komentar