Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas daripada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya.
Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenal pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya. Betapapun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaiannya sendiri.
Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andaikata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.
Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Biarpun kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng “mengunci” pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan. Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak.
Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.
“Siok Lan, mundur kau!”
Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.
Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkarn rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.
Berbeda dengan Tang Cun Ciu, mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim Hong Bu dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, ia sebagai pencuri pedang itu dari istana merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka sekali meloncat ia sudah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.
“Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya.
Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek.
“Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekalipun, siapa takut?”
Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, akan tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa,
“Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”
Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!
“Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya.
Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya.
Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawannya yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana! Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biarpun pernuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Dengan gerakan yang halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.
“Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya.
Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tidak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biarpun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya. Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak,
“Lihat senjata!”
Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.
“Tranggg....!”
Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sin-kang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga melainkan kecepatannya. Pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong.
Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan maupun dengan pengelakan. Dan biarpun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, namun serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biarpun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.
Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, akan tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.
Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya, nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan gin-kang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki gin-kang yang tidak kalah hebatnya. Biarpun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Perkelahian ini jauh lebih menegangkan daripada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!
Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapapun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?
Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri! Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera.
Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!
Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Memang kenyataannya pun demikianlah. Semenjak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Semenjak jaman dahulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upayanya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasa-annya. Dan untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk.
Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi
mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apapun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!
Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan,dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan. Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya.
Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!
Apakah benar bahwa suatu tujuan, apapun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas daripada sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah jalan penipuan, kebencian, pembu-
nuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci?
Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenal pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya. Betapapun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaiannya sendiri.
Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andaikata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.
Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Biarpun kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng “mengunci” pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan. Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak.
Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.
“Siok Lan, mundur kau!”
Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.
Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkarn rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.
Berbeda dengan Tang Cun Ciu, mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim Hong Bu dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, ia sebagai pencuri pedang itu dari istana merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka sekali meloncat ia sudah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.
“Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya.
Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek.
“Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekalipun, siapa takut?”
Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, akan tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa,
“Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”
Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!
“Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya.
Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya.
Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawannya yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana! Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biarpun pernuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Dengan gerakan yang halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.
“Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya.
Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tidak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biarpun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya. Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak,
“Lihat senjata!”
Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.
“Tranggg....!”
Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sin-kang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga melainkan kecepatannya. Pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong.
Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan maupun dengan pengelakan. Dan biarpun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, namun serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biarpun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.
Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, akan tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.
Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya, nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan gin-kang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki gin-kang yang tidak kalah hebatnya. Biarpun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Perkelahian ini jauh lebih menegangkan daripada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!
Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapapun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?
Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri! Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera.
Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!
Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Memang kenyataannya pun demikianlah. Semenjak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Semenjak jaman dahulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upayanya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasa-annya. Dan untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk.
Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi
mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apapun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!
Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan,dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan. Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya.
Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!
Apakah benar bahwa suatu tujuan, apapun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas daripada sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah jalan penipuan, kebencian, pembu-
nuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci?
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 174"
Posting Komentar