Suling Emas & Naga Siluman Jilid 158

A-hui dan A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu, menjadi putus asa dan maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.

Ketika Ngo-ok sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan membasmi orang-orang yang begini jahat? Dia mengambil keputusan bahwa kelak, kalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahat-penjahat seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini.

Dalam keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merasa ngeri dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat memutar tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mereka terbelalak melihat tubuh Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus mundur terhuyung.

Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Han Beng!

Seperti kita ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid Kun-lun-pai yang tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini untuk mewakili Kun-lun-pai melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, menentang pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cia Han Beng adalah ikut menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota Pao-ci itu.






Ketika Cia Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimanapun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!

Serangan Han Beng itu hebat sekali, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa. memandang rendah kepada pemuda yang tidak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya! Dia mengerahkan sinkangnya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan.

Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sin-kang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.

Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng memiliki pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhunya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu. Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat. Dia tidak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datangnya dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang, di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterimanya dari suhunya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).

Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali. Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana.

Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biarpun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukan merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bersama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.

“Tahan!” teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu.

Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biarpun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Kini dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.

“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang kami? Mengapa engkau mencampuri urusan kami?”

Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan. Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang,

“Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai.”

“Ah, kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”

“Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”

“Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami, sejak dahulu tidak perhah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami”

“Mudah saja aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Biarpun antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, akan tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu.”

“Eh, omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, mengapa engkau menyerangku?”

“Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!”

“Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”

“Tentu saja!” jawab Han Beng.

“Dan apa pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”

“Tutup mulut kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan tidak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!”

“Bocah sombong!”

Terdengar Ji-ok menjerit marah dan wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit menyambar ke arah leher Han Beng.

“Cringgg....!” Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang.

Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.

Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.

Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapapun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya. Biarpun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian yang paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat.

Namun, dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu. Betapapun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akan kalah akhirnya dan pemuda ini mulai merasa bingung.

Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 158"

Posting Komentar