Suling Emas & Naga Siluman Jilid 179

Diam-diam Kao Cin Liong amat kagum terhadap Sim Hong Bu yang dalam pertemuannya dengan para pendekar patriot itu telah muncul dengan gagah perkasa, menantang dia dan bahkan menantang suheng dari Ci Sian yang bernama Kam Hong itu.

Akan tetapi dia mengerutkan alisnya kalau teringat betapa pemuda itu menjadi demikian bingungnya ketika dihadapi dan diserang oleh Ci Sian, bahkan dia pun melihat dengan jelas betapa Hong Bu terus mengalah, bahkan kemudian melarikan diri, bukan karena takut kepadanya atau kepada Ci Sian, melainkan karena jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau menghadapi Ci Sian sebagai musuh.

“Dia mencinta Ci Sian!” demikianlah berkali-kali hatinya berkata dengan perasaan tidak nyaman.

Dia sendiri juga jatuh cinta kepada Ci Sian dan agaknya kini dia menemui seorang saingan berat dalam diri Sim Hong Bu, pemuda gagah perkasa ahli waris keluarga Cu yang telah mewarisi pula pedang pusaka Koai-liong Po-kiam itu.

Cin Liong menjadi semakin kagum ketika dia melakukan pengejaran dan sampai berpekan-pekan, bahkan lebih dari sebulan, belum juga dia mampu menyusul Hong Bu.
Memang dia telah menemukan jejak pemuda itu dengan penyelidikan dan bertanya-tanya, akan tetapi Hong Bu selalu lenyap dengan cepatnya, bahkan setelah dia mengejar ke barat, tiba-tiba saja jejak pemuda itu menuju ke utara, ke kota raja!

Di dalam perjalanan mencari dan mengikuti jejak Hong Bu ini, Cin Liong mendengar tentang Kaisar yang jatuh sakit berat dan betapa kini Pangeran Kian Liong yang menjadi pejabat dan pelaksana yang tertinggi. Dia merasa amat girang dan percaya sepenuhnya bahwa Pangeran itu tentu akan mengadakan perubahan-perubahan bijaksana seperti yang seringkali dikatakan dan dijanjikan oleh Pangeran itu membuatnya menjadi lega dan dengan hati tenang dia melanjutkan pengejarannya dan ketika dia tiba di kota Pao-ting di sebelah selatan kota raja, dia mendengar bahwa pemuda yang dikejarnya itu menuju ke hutan di sebelah barat kota itu, di Pegunungan Thian-hong-san.

Keterangan ini didapatnya dari para penjaga kota yang mengenal jenderal muda ini, karena Pao-ting tidak jauh dari kota raja dan nama Kao Cin Liong amat dikenal karena kegagahannya. Dia cepat melakukan pengejaran ke daerah hutan di kaki pegunungan itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi dengan hati berdebar dan juga girang dia melihat orang yang diburunya itu berada di bawah pohon bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian seperti seorang pemburu.






Siapakah pria berpakaian pemburu itu? Dan mengapa Hong Bu pergi ke tempat itu, di dalam hutan sunyi? Seperti kita ketahui, Hong Bu bingung bukan main ketika melihat Ci Sian menyerangnya kalang-kabut dan bahkan semakin nekat. Dia tidak takut kepada dara ini, akan tetapi melihat betapa dara itu menyerangnya dengan demikian mati-matian seperti seorang musuh besar dan berniat membunuhnya, hatinya terasa seperti ditusuk dan kedukaan membuat dia melupakan semua urusannya. Maka dia pun tidak kuat bertahan dan melarikan diri secepatnya karena dia khawatir kalau-kalau Ci Sian mengejarnya.

Setelah melihat dara yang amat dicintanya itu menganggapnya sebagai musuh, Hong Bu menjadi lemas dan lenyap semua semangatnya untuk menghadapi orang-orang yang memusuhinya. Dia lalu melakukan perjalanan cepat, tidak mau kalau sampai tersusul orang. Dia bahkan tidak bernafsu untuk berkelahi dengan siapa pun, yang teringat hanya Ci Sian, dan hatinya menjadi semakin kacau membayangkan betapa dara itu menyerangnya mati-matian! Hal seperti ini tidak mungkin dibiarkan saja, pikirnya.

Dia jatuh cinta kepada Ci Sian dan satu-satunya jalan hanya meminangnya untuk menjadi isterinya! Dan dia mempunyai harapan baik karena agaknya Bu Seng Kin, pemimpin para patriot itu, suka kepadanya dan agaknya tidak akan menolak kalau dia meminang Ci Sian yang ternyata adalah puterinya! Apapun hasilnya nanti, berhasil maupun gagal hal ini akan membuat hatinya lega dan tidak bimbang seperti sekarang ini. Biarlah dia ditolak kalau dara itu memang tidak dapat membalas cintanya. Akan tetapi harus ada ketentuan, ada kepastian, tidak seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa sebenarnya dara itu tidak membencinya, bahkan melihat sinar mata dara itu kepadanya, dahulu sebelum terjadi pertikaian tentang permusuhan dan persaingan antara Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut dia pernah melihat sinar mata dara itu bersinar-sinar mesra kepadanya. Mungkin dara itu juga ada hati kepadanya, hanya karena urusan permusuhan itu, maka kini menjadi marah dan membencinya.

Demikianlah, Hong Bu lalu mencari pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya, yaitu Sim Hok An, juga bekerja sebagai pemburu. Akan tetapi Sim Hok An ini bukanlah paman aseli, bukan adik mendiang ayahnya seperti halnya pamannya Sim Tek yang tewas di tangan Su-ok dahulu itu, melainkan adik sepupu yang masih bernama keluarga sama, yaitu she (nama keluarga) Sim. Sim Hok An inilah satu-satunya keluarganya yang dapat menjadi walinya untuk mengajukan pinangan kepada Bu Seng Kin, meminang Ci Sian! Untuk keperluan itulah maka Hong Bu mencari-cari pamannya itu.

Tentu saja tadinya dia mencari ke tempat tinggalnya yang lama, akan tetapi dia mendengar bahwa pamannya telah pindah ke Pao-ting bersama keluarganya, yaitu seorang isteri dan dua orang anak dan cepat dia menyusul ke Pao-ting. Di tempat ini dia mendengar bahwa pamannya sedang bekerja, yaitu seperti biasa, pekerjaan memburu ke dalam hutan. Pekerjaan ini kadang-kadang sampai makan waktu seminggu. Setelah memperoleh banyak hasil buruan barulah pulang untuk menjual hasil buruan ke kota.

Maka dia pun segera menyusul ke hutan itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang selalu membayanginya atau mengejarnya, ke mana pun dia pergi. Demikianlah, akhirnya Cin Liong berhadapan dengan Hong Bu dalan hutan yang sunyi, ketika Hong Bu sedang bercakap-cakap dengan Sim Hok An, pada pagi hari itu.

“Sim Hong Bu, akhirnya aku dapat menemukan engkau!”

Cin Liong berseru dengan lantang, hatinya girang sekali karena akhirnya pengejarannya berhasil. Hong Bu yang tidak menyangka sama sekali akan dapat disusul oleh utusan Kaisar yang hendak merampas pedangnya ini, terkejut, akan tetapi mukanya segera menjadi merah karena marah. Dia meloncat bangun, berdiri dengan tegak, dan menoleh kepada pamannya.

“Maaf, Paman. Aku mempunyai urusan pribadi dengan orang ini, biarlah kuselesaikan dulu urusanku dengan dia, baru kita sambung percakapan kita tadi.”

Sikapnya tenang sekali, akan tetapi melihat sikap dua orang muda yang sama gagahnya itu, Sim Hok An yang juga sudah bangkit berdiri segera menegur.

“Hong Bu, apakah yang terjadi? Siapakah dia itu dan ada urusan apakah?”

Tentu saja pamannya dapat melihat sikap yang serius dari keduanya, maka Hong Bu lalu berkata dengan terus terang,

“Paman, aku mempunyai sebatang pedang dan orang ini hendak merampasnya, maka hal ini harus kami putuskan dengan perkelahian. Harap Paman jangan mencampuri dan berdiri agak menjauh karena orang ini adalah Jenderal Kao Cin Liong, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”

Terkejutlah orang setengah tua itu dan dia pun segera melangkah mundur dan duduk di bawah sebatang pohon agak jauh dari situ. Dia belum tahu bahwa keponakannya yang sejak kecil telah menghilang dan kabarnya bersama dengan Sim Tek melakukan perburuan di utara dan baru sekarang pulang itu telah menjadi seorang yang amat lihai.
Setelah pamannya itu mundur, barulah Hong Bu menghadapi Cin Liong.

“Nah, Kao Cin Liong, kita telah berdiri berhadapan sekarang. Di sini tidak ada orang lain, dan Pamanku itu tentu tidak akan mencampuri. Kita adalah sama-sama laki-laki, katakanlah, apa yang kau hendaki maka engkau menyusulku ke tempat ini?”

“Sim Hong Bu, engkau tahu apa yang kukehendaki. Sayang bahwa ketika kita bertemu di rumah para pendekar itu, engkau melarikan diri....”

“Aku sama sekali tidak lari darimu, atau dari Kam-taihiap, atau dari siapa pun!”

“Kalau begitu, kenapa engkau melarikan diri?”

“Bukan urusanmu!” bentak Hong Bu dan mukanya berubah merah sekali, hatinya sedih karena harus bicara tentang urusan yang mendatangkan duka di hatinya itu, mengingatkan dia bahwa dia telah dimusuhi oleh Ci Sian dengan mati-matian.

“Engkau tetap menghendaki pedang Koai-liong Po-kiam yang menjadi hak milikku sebagai ahli waris keluarga Cu di Lembah Naga Siluman?”

“Hemm, maksudmu Lembah Suling Emas?”

“Bukan, sekarang namanya telah menjadi Lembah Naga Siluman! Nah, jawablah.”

“Tidak salah, memang aku mencari untuk minta dikembalikannya pedang pusaka itu. Betapapun juga, pedang itu tadinya adalah pusaka istana dan dicuri orang, maka harus dikembalikan ke sana.”

“Bagus! Jawabanku tetap seperti dahulu, yaitu engkau baru dapat merampas dan membawa pergi pedang itu melalui mayatku!”

“Baiklah, akan kucoba untuk merampasnya darimu, Hong Bu. Sesungguhnya, terus terang saja aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, dan bahkan aku tidak benci sama sekali kepadamu. Akan tetapi, engkau tahu bahwa aku adalah seorang petugas yang menerima perintah untuk merampas kembali pedang pusaka istana, dan karena engkau kebetulan orangnya yang membawa pedang itu, dan kalau engkau tidak mau menyerahkannya kepadaku dengan damai, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan.”

“Bagus, kata-kata jantan! Aku pun ingin sekali mencoba sampai di mana lihainya putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang telah mengalahkan keluarga Cu!”

Mendengar disebutnya Naga Sakti Gurun Pasir, Sim Hok An menggigil dan mukanya pucat. Biarpun dia hanya seorang pemburu, akan tetapi keluarga Sim adalah pemburu yang berpengalaman dan banyak sekali kenalan di antara orang-orang kang-ouw, maka nama besar itu tentu saja pernah didengarnya. Juga dia mendengar tentang pedang Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana itu. Siapa kira, ternyata pedang itu berada di tangan keponakannya, dan kini keponakannya itu akan bertanding melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir. Hampir dia tidak percaya akan semua itu dan merasa seperti dalam mimpi.

Melihat betapa jenderal muda itu tidak mengeluarkan senjata, Hong Bu yang keistimewaannya hanyalah ilmu pedangnya yang memang luar biasa itu, perlahan-lahan mencabut Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar kebiruan yang menyilaukan mata.

Sim Hok An terkejut dan tidak terasa lagi dia menggeser duduknya di belakang pohon dan mengintai dari balik batang pohon itu!

“Ah, memang pedang pusaka yang hebat. Pantas saja dijadikan rebutan!” kata Cin Liong.

Tadinya dia hendak mengadu kepandaian tanpa senjata karena memang di antara mereka tidak ada permusuhan atau kebencian pribadi, akan tetapi melihat betapa pemuda lawannya itu telah mengeluarkan pedang yang hendak dijadikan rebutan, dia tidak berani menghadapi pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan seperti itu, maka Cin Liong juga mencabut pedangnya, pedang tanda pangkatnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang baik pula, yang tidak takut menghadapi keampuhan senjata pusaka. Pedangnya itu mengkilap dan kalau digerakkan mengeluarkan sinar putih seperti pedang biasa yang tajam.

Sejenak mereka berdiri berhadapan, pedang di tangan dan hati ragu-ragu. Seperti juga lawannya, Hong Bu merasa betapa janggalnya keadaan mereka berdua. Tidak saling mengenal, bahkan tidak pernah ada urusan apapun diantara mereka, tahu-tahu kini berdiri berhadapan sebagai musuh yang mungkin akan saling bunuh! Teringat pula dia kepada Ci Sian yang juga secara tiba-tiba saja berdiri menghadapinya sebagai musuh. Dan dia pun menarik napas panjang. Sebelum menjadi murid keluarga Cu, dia sama sekali tidak pernah punya musuh! Kalau dia membenci Im-kan Ngo-ok misalnya adalah karena mereka itu jahat dan pula pamannya, Sim Tek, tewas di tangan Su-ok. Akan tetapi apa salahnya orang-orang seperti Ci Sian, Kam Hong, Kao Cin Liong dan ayahnya, Kao Kok Cu? Terutama sekali Ci Sian dan Kam Hong, sama sekali dia tidak ingin memusuhi mereka. Juga Cin Liong ini demikian gagah perkasa. Tapi kini berhadapan dengannya sebagai musuh!

“Kao Cin Liong, seperti juga kata-katamu tadi, aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, juga tidak membencimu. Akan tetapi kita berdua, oleh tugas masing-masing, terpaksa kini berhadapan sebagai lawan. Kalau aku sampai kesalahan tangan dan engkau terluka atau tewas di tanganku, harap kau suka maafkan!”

Cin Liong tersenyum dan merasa semakin tertarik. Dia akan lebih suka menjadikan pemuda ini teman daripada lawan.

“Demikian pula aku, Sim Hong Bu. Nah, mari kita mulai saja!”

Entah siapa di antara mereka yang menyerang terlebih dahulu. Serangan yang dilakukan setengah hati dan yang mudah ditangkis lawan, kemudian menanti sampai sang lawan melakukan serangan balasan. Akan tetapi begitu mereka mengadu tenaga dan teringat bahwa lawan yang dihadapi adalah seorang yang amat lihai, mereka menambah kecepatan dan tenaga dan balasan jurus kemudian keduanya sudah saling mengerahkan kecepatan dan tenaga sin-kang mereka sehingga tubuh mereka tidak nampak lagi oleh Sim Hok An yang makin lama semakin bengong dan takjub. Apalagi ketika terdengar suara mengaung-ngaung mengerikan dari pedang di tangan Hong Bu, orang setengah tua itu semakin menjauhi tempat itu dan memandang dengan hati penuh ketakjuban, ketegangan dan juga kengerian. Dia melihat daun-daun pohon rontok seperti tersambar pisau tajam, dan dua gulungan sinar biru dan putih itu sungguh indah dipandang, akan tetapi kalau teringat bahwa sinar-sinar itu merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, dia menjadi ngeri.

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 180

Sementara itu, dua orang pemuda itu sendiri makin kagum terhadap lawan masing-masing. Rasa kagum yang bercampur rasa penasaran. Serangan-serangan lawan sungguh amat berbahaya, akan tetapi juga pertahanan lawan demikian kokoh kuatnya sehingga sukar ditembus oleh pedang mereka. Hanya ada perbedaan sedikit antara mereka! Koai-liong Kiam-sut sungguh merupakan ilmu pedang yang amat tangguh dan ampuh. Pedang yang diputar sampai mengeluarkan suara menggeram dan menggereng, mengaum seperti seekor binatang buas itu saja sudah menunjukkan betapa anehnya gerakan-gerakan itu.

Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah kuat setingkat. Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang aseli, dalam arti kata diciptakan sengaja dengan pedang. Biarpun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus pula. Akan tetapi, ternyata dalam hal sin-kang dan gin-kang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.

Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan tenaga sin-kang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Rasa kagum telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari dalam tidak dapat menyorot keluar.

Karena penasaran itulah, maka biarpun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian, dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang itu sudah berlangsung lebih seratus jurus. Mereka sama kuat, sama ulet, dan biarpun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.

Kembali lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah. Cin Liong terkejut tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.






“Cringgg....!”

Dua pedang bertemu, akan tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat! Cin Liong tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.

“Hiaaattt....!”

Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.

Keduanya meloncat ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang! Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka, biarpun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya waspada.

“Engkau hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.

“Dan engkau pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.

Tanpa berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi, sebelum pedang mereka berobah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa,

“Tahan senjata!”

Cin Liong segera mengenal suara ayahnya maka dia meloncat ke belakang meninggalkan lawan sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.

“Ah, melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Betapapun juga, jangan dikira aku takut. Majulah, Tai-hiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!”

Dia pun melintangkan pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Pendekar berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat

“Orang muda, ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk mencari kembali pedang yang hilang. Maka terjadilah bentrokan antara kami dan keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan tugas lalu dijadikan urusan pribadi, kalau mereka itu mengalah terhadap kami lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau anggap hal itu benar?”

Dengan jujur Sim Hong Bu menjawab,
“Terus terang saja, Tai-hiap, hal itu memang tidak benar. Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya, apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.

Kao Kok Cu tersenyum dan memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan yang tepat pula.

“Memang, tentu saja tidak memenuhi permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan dari guru sendiri sekalipun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas. Kalau suhumu minta agar engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”

“Ehh....?”

Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia mendengar ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan hal yang durhaka dan tidak berbakti!

“Apa maksudmu, Lo-taihiap?”

“Sim Hong Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah agar gurunya jangan sampai melakukan tindakan itu, kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah, tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan perintah gurumu yang tidak benar itu?”

Sim Hong Bu menjadi bingung. Memang, urusan hauw atau “berbakti” merupakah hal yang banyak membingungkan orang. Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu hal yang amat menguntungkan maka kata “berbakti” itu dipergunakan oleh guru atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!

Setiap kali seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap sebagai anak “put-hauw” (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biarpun pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai “tidak mencintanya”. Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak. Si orang tua ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia.

Si orang tua sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu MESTI baik pula bagi si anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurangpengertian, menciptakan apa yang dinamakan “gap” atau celah antara orang tua dan anak. Adanya celah yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing.

Kalau ada cinta kasih, maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri! Betapa bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami, isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.

Cinta kasih harus timbul dari batin sendiri dan cinta kasih sama sekali tidak mengharapkan balas dari orang lain. Namun cinta kasih mengandung daya mujijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!

Dalam kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu mencari akal bagaimana untuk menjawab. Mendengar ucapan itu, matanya seperti terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar dan bodoh.

Kini terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak hatinya!

“Akan tetapi, Tai-hiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan mendendam!”

Bantahnya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang bukan tidak benar.

“Semua akibat tentu ada sebabnya, orang muda, dan kalau kita menelusuri sebabnya, maka tidak akan ada habisnya. Kami datang ke lembah karena kami diutus Kaisar, dan kami diutus Kaisar karena pedang dicuri oleh seorang penghuni lembah, dan tentu kalian mempunyai pula sebab-sebabnya atas perbuatan itu. Tidak akan ada habisnya. Maka yang penting sekarang adalah saat ini, apakah kita akan terus menimbulkan sebab-sebab baru dan akibat-akibat baru. Tergantung sepenuhnya di tangan kita.”

“Akan tetapi kalau Tai-hiap sekeluarga masih terus mengejar-ngejarku, untuk merampas pedang, mana mungkin aku....”

“Tidak lagi! Untung bahwa kedatanganku belum terlambat. Aku ingin memberitahukan kalian berdua bahwa mulai sekarang, pedang Koai-liong Po-kiam itu adalah sah menjadi milikmu, Sim Hong Bu.”

“Ayah....!” Cin Liong berseru heran.

Ayahnya tersenyum.
“Tidak tahukah engkau bahwa Pangeran Mahkota telah merubah banyak sekali peraturan dan menyudahi segala macam pertikaian dengan tindakan-tindakan bijaksana? Di antaranya adalah pembangunan kembali biara Siauw-lim dan juga pengakuan bahwa Koai-liong Po-kiam adalah berasal dari keluarga Cu, maka pemerintah tidak menuntut kembalinya lagi?”

“Bagus....!”

Cin Liong bersorak gembira dan setelah menyimpan kembali pedangnya dia lalu menghampiri Hong Bu. Pemuda ini pun tersenyum dan menyimpan Koai-liong Po-kiam, lalu melangkah ke depan sambil agak terpincang. Mereka saling berjabat tangan dengan gembira.

“Hong Bu, aku girang sekali bahwa kini kita dapat menjadi sahabat!”

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 175

Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita pergunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka.

Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, tiba-tiba Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang amat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, melainkan seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!

Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk melawan dan menahan serangan melalui khi-kang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khi-kang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya.

Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!

Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan “simpanan” terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!

Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan juga, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.

“Cringgg.... desss....!”






Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Dan pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.

Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana!

Biarpun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!

Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah. Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!

Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,

“Harap maafkan saya....”

Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!

“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!”

Dia sengaja menyebut keluarga Kao, karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan! Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, lalu menjura dengan hormat.

“Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapapun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa.

Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”

Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu!

“Kao-goanswe, bukan kami tidak melihat kenyataan itu, akan tetapi kami juga mengharapkan pengertian dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat. Kami sendiri menghormat dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayanginya sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tidak melihat cara lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun, demi perjuangan, rela untuk mengorbankan nyawa. Kami, biarpun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk menjadi anjing penjilat Kaisar!”

“Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.

“Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya.

Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walaupun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan!

Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jerih bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.

“Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Kalau sekarang puteraku, sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!”

Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya mengandung ejekan.
“Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!”

“Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?”

“Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!”

“Dan akibatnya Kaisar membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”

“Apa? Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?”

Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran. Kao Kok Cu menjawab tenang,

“Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”

“Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”

“Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang akan menimpa orang-orang tak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”

Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng daripada kebenaran, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Akan tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.

Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.

Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagaimanapun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun kembali biara Siauw-lim, membebaskan semua pendekar patriot daripada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?

“Kao-taihiap, terserah apapun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.”

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 176

“Bagus, kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita. Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi, sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada kami.”

“Terserah apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biarpun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”

“Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat.

“Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.

Semua orang memandang dengan penuh perhatian, dengan hati berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!

Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.






Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aselinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat. Demikian hebatnya ilmu ini sehingga tidak ada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja.

Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna.
Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sin-kang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan “menggigit”, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.

Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu kini terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.

Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring,

“Kao-taihiap, lihat serangan!”

Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar ketika kedua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan menyambut serangan lawan.

“Plak! Dessss....!” paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu.

Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!

“Bu-taihiap, awas seranganku!”

Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak dan tubuhnya juga meluncur ke depan, tiba-tiba sampai di depan lawan tubuhnya membalik dengan putaran kakinya, lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas!

Bu Seng Kin juga terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya.

“Dukk! Dessss....!”

Kembali keduanya terdorong ke belakang, akan tetapi kalau Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!

Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biarpun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sin-kang. Kalau dia terus mengandalkan sin-kangnya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tidak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya. Maka dia pun lalu menerjang ke depan, sekali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.

Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas, ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!

Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biarpun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, namun sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah.

“Wut-wut-wut-wuttt....!”

Tiba-tiba Butaihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.

“Wir.... syuuut-syuutttt....!”

Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu!

“Plak! Dukk!”

Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah “tersentuh” ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi.

Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan. Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi. Namun, kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur dan wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.

Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak,

“Jangan bunuh ayahku!”

Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya! Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khi-kang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas!

Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sin-kang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan! Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan

“Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.

Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras,

“Ci Sian, Jangan serang ayahku!”

Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!

Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, dan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!

“Plak! Dukk!”

Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es!

Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh amat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu. Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu!

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 177

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan semua orang. Terutama sekali melihat betapa dara yang memegang suling itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya dan suling yang dipakainya sebagai senjata itu selain menjadi sinar kuning emas yang bergulung-gulung, juga mengeluarkan bunyi seperti dimainkan dan ditiup oleh mulut yang pandai saja! Selagi semua orang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara halus namun amat berwibawa,

“Harap Cu-wi hentikan semua pertempuran bodoh ini!”

Suara itu mengandung teguran dan penyesalan dan semua orang memang terkejut sekali karena yang bersuara itu bukan lain adalah Pangeran Kian Liong sendiri! Akan tetapi Pangeran itu tidak sendirian, karena di belakangnya berdiri seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap tenang, dan pemuda itu berkata pula,

“Sumoi, harap mundur dan jangan berkelahi!”

Melihat munculnya Sang Pangeran, Kao Kok Cu dan Kao Cin Liong cepat melompat mundur dan menghampiri Pangeran itu. Pangeran Kian Liong adalah sahabat baik Cin Liong dan memang sejak dahulu Pangeran ini amat suka kepada pemuda itu, maka dia lalu mendekat. Ketika Cin Liong hendak memberi hormat, Sang Pangeran memegang lengannya dan berkata,

“Jenderal Muda yang gagah! Kiranya engkau telah datang pula, apakah sengaja mencariku?”

“Tldak, Pangeran, hamba mendengar Paduka di sini hanya kebetulan saja. Hamba sedang mencari Sim Hong Bu untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang dicuri orang, dan hamba dibantu oleh ayah dan ibu hamba.”

“Ah, kalau Naga Sakti Gurun Pasir yang turun tangan, segalanya tentu beres!” kata Sang Pangeran dengan gembira.

Kemudian Pangeran itu menghadapi Bu-taihiap yang masih bingung melihat munculnya Pangeran itu secara tiba-tiba dan dia merasa ragu-ragu untuk memerintahkan teman-temannya mempergunakan kekerasan.

“Bu-taihiap, harap jangan heran kalau aku telah dibebaskan oleh pendekar sakti ini.” katanya sambil menunjuk kepada Kam Hong.






“Para pendekar yang menjagaku sama sekali bukan lawannya, dan dalam segebrakan saja mereka semua telah roboh dan pingsan. Apalagi dia datang bersama sumoinya, Nona Bu Ci Sian yang selalu melindungiku, dan biarpun Nona ini puterimu, namun kurasa tidak sependapat denganmu dalam hal perjuangan dan pemberontakan. Dan di sini kulihat ada Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa, dengan ayah bundanya yang lebih perkasa lagi, maka kiranya kalian para pendekar tidak akan mampu menahanku lagi.”

Bu Seng Kin memandang kepada Kam Hong. Jadi pemuda ini suheng dari puterinya? Dia tadi sudah terheran-heran karena biarpun hanya beberapa gebrakan saja, dia sempat menyaksikan puterinya yang menyerang Naga Sakti Gurun Pasir, kemudian menyerang jenderal muda itu! Dan melihat bahwa puterinya itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat

“Bu-locianpwe,” kata Cin Liong yang merasa tidak enak melihat keadaan pemimpin para patriot itu, apalagi tadi dia melihat betapa Ci Sian membantu pendekar itu.

Kalau sampai terjadi pertempuran lagi, sungguh dia tidak sanggup untuk melawan Ci Sian, bukan jerih oleh keahlian dara itu, melainkan tidak sampai hati untuk berkelahi melawan gadis ini. Setelah dia bertanding beberapa gebrakan saja, tiba-tiba Cin Liong melihat kenyataan yang membuatnya terkejut setengah mati, yaitu bahwa selama ini dia tidak pernah dapat melupakan dara ini, dan baru sekarang terasa olehnya bahwa sebetulnya sejak dahulu, sejak pertemuan di antara mereka dalam benteng pasukan Nepal, dia telah jatuh hati kepada Ci Sian!

“Seperti telah saya katakan tadi, kedatangan kami bertiga adalah untuk mencari Sim Hong Bu yang kami tahu berada di sini. Kami membawa perintah Sri Baginda Kaisar untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang telah dicuri dan kini berada di tangannya. Kami bukan datang untuk memusuhi para pendekar. Hanya karena kebetulan saja kami tahu tentang Pangeran dan setelah beliau sekarang bebas, maka saya ingin mengulang permintaan saya, yaitu agar orang yang bernama Sim Hong Bu suka keluar dan berhadapan dengan saya.”

Bu-taihiap tersenyum pahit. Dia dan kawan-kawannya telah gagal. Mereka, para patriot itu, tentu saja hanya dapat melakukan penahanan terhadap diri Sang Pangeran dengan rahasia saja, dan setelah sekarang Pangeran itu lolos, tak mungkin mempergunakan kekerasan, karena tentu mereka akan dihadapi pasukan besar yang akan membasmi mereka dalam waktu singkat.

“Jenderal Kao, kau carilah sendiri pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu.” dari dalam terdengar suara wanita, “Suheng, jangan....!”

Lalu muncullah seorang pemuda yang gagah, diikuti oleh seorang dara berpakaian wanita yang kelihatan gelisah sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Sim Hong Bu! Dia dan Pek In memang disuruh menyembunyikan diri dan jangan memperlihatkan diri ketika keluarga Kao datang berkunjung. Akan tetapi ketika mendengar percakapan tentang dirinya, Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya lagi dan biarpun dicegah oleh Pek In yang merasa khawatir, dia tetap saja nekad keluar.

Semua orang memandang kepadanya, dan dengan sikap tenang Sim Hong Bu menghadap Bu-taihiap dan menjura, lalu berkata dengan suara penuh penyesalan,

“Bu-locianpwe, sungguh saya menyesal sekali karena kedatangan saya di sini hanya menimbulkan kegagalan dan kerugian saja bagi para saudara yang perkasa. Kalau saya tidak datang ke sini, tentu tidak akan terjadi keluarga Kao menyusul ke sini. Oleh karena itu, biarlah saya menghadapi mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh pribadi saya!”

Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu menghadapi Kao Cin Liong dan juga Kam Hong.

“Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kao Cin Liong, tidak kupungkiri bahwa akulah pewaris Koai-liong Po-kiam dan pedang pusaka ini adalah hak milik nenek moyang guruku. Kalau engkau menjadi utusan Kaisar untuk merampas kembali pedang ini, majulah! Pedang ini hanya dapat diambil orang lain melalui mayatku saja!”

Dan sebelum Kao Cin Liong menjawab, Sim Hong Bu juga berkata kepada Kam Hong dengan lebih dulu menjura,

“Kam-taihiap, aku merasa menyesal sekali untuk menyatakan ini, akan tetapi karena Tai-hiap juga sudah berada di sini, biarlah sekalian kusampaikan bahwa aku melaksanakan pesan guruku bahwa kalau aku bertemu denganmu, aku harus menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dengan Kim-siauw Kiam-sut melawan Pedang Naga Siluman dengan Koai-liong Kiam-sutnya.
Dan karena urusan antara kita hanyalah urusan siapa yang lebih unggul dan pertandingan dapat dilakukan secara persahabatan, maka biarlah aku akan menandingi dulu suling emasmu sebelum aku harus mempertaruhkan pedang pusaka ini dengan nyawaku,”

Setelah berkata demikian, nampak sinar berkelebat dibarengi suara melengking nyaring sekali seperti suling ditiup dan tahu-tahu pemuda itu telah memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan mengerikan dan sinar kebiruan masih terbayang di dalam pandangan mata semua orang, padahal sinar yang tadi berkelebat itu telah lenyap karena pedang itu kini tidak digerakkan, melainkan melintang di depan dada Sim Hong Bu.

Seperti juga Cin Liong, Kam Hong tertegun dan kagum melihat sikap Sim Hong Bu. Sejak pertemuan pertama dia memang suka dan kagum kepada Sim Hong Bu dan dia pun sudah menyaksikan kehebatan ilmu pedang pemuda ini ketika bersama dengan Ci Sian, Hong Bu mengalahkan Hek-i Mo-ong. Diam-diam, dia malah tadinya mengharapkan perjodohan antara Sim Hong Bu dan Ci Sian, yang dianggapnya sebagai pasangan yang cocok sekali. Akan tetapi, pemuda itu kini berhadapan dengan dia sebagai wakil keluarga Cu yang hendak menuntut balas atas kekalahan mereka!

Cin Liong sendiri juga meragu. Dia pun sejak mendengar akan riwayat pedang pusaka itu, merasa betapa beratnya tugas yang dipikulnya, bukan berat karena berhadapan dengan lawan yang tangguh, melainkan merasa berat karena sebetulnya hatinya condong untuk mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya yang syah, yaitu keluarga Cu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, pedang itu telah dicuri dari istana dan sudah sepantasnya kalau dikembalikan ke tempatnya.

Selagi Cin Liong dan Kam Hong tertegun dan merasa ragu-ragu dan menyesal bahwa mereka harus menghadapi pemuda gagah perkasa itu sebagai lawan tanpa ada urusan pribadi, kesemuanya hanya karena ikatan tugas belaka, tiba-tiba terdengar bentakan Ci Sian dan nampak sinar kuning emas menyambar dan langsung menyerang ke arah Sim Hong Bu.

“Tring-trang-cringggg....!”

Tiga kali suling emas itu bertemu dengan pedang Naga Siluman dan nampak bunga api berpijar. Hong Bu terkejut bukan main dan cepat meloncat ke belakang.

“Nanti dulu...., Ci Sian.... aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu!”

“Tidak, ya? Engkau adalah jagoan yang mewakili Pedang Naga Siluman, dan akulah yang mewakili suhengku, mewakili Suling Emas! Hayoh, tidak usah banyak cerewet. Selagi di sini berkumpul banyak Locianpwe, banyak pendekar yang gagah perkasa, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dan Pedang Naga Siluman!”

Dan Ci Sian sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya. Kam Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia memandang sambil tersenyum ketika melihat tarikan muka pemuda itu yang menjadi kebingungan sekali! Kembali amat jelas nampak oleh pendekar ini bahwa pemuda yang gagah perkasa itu sungguh mencinta sumoinya! Menghadapi serangan dara yang dicintanya itu agaknya merupakan hal yang paling membingungkan dan menggelisahkan hati Sim Hong Bu. Beberapa kali pedangnya menangkis dan berkali-kali dia minta kepada Ci Sian untuk menghentikan serangannya. Akan tetapi Ci Sian nekat terus dan mendesak terus, suling emasnya mengeluarkan suara menjerit-jerit seperti ditiup oleh orang yang sedang marah!

“Ci Sian.... dengar.... jangan....!”

Hong Bu berkali-kali berteriak untuk mencegah dara itu, akan tetapi Ci Sian sungguh terlampau marah untuk dapat ditahan lagi. Sulingnya menyerang semakin ganas dan bunyi lengking sulingnya makin hebat. Semua orang yang menyaksikan gerakan suling ini bergidik ngeri dan para Locianpwe yang berada di situ juga menjadi bengong dan kagum sekali. Bahkan Pendekar Sakti Gurun Pasir sendiri mengamati semua gerakan itu dengan sinar mata berkilat saking gembiranya karena baru sekali ini pendekar sakti itu melihat suatu ilmu yang benar-benar hebat luar biasa.

Kalau sampai seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir ini tercengang kekaguman, maka apalagai para pendekar lain yang hadir di situ. Bu-taihiap sendiri memandang dengan wajah berseri-seri walaupun tadinya dia terkejut dan terheran-heran, juga bingung melihat watak puterinya yang membolak-balik seperti angin itu, tadinya membantunya dan kini malah menyerang Sim Hong Bu! Akan tetapi semua keheranannya itu ditelan oleh rasa kagum menyaksikan ilmu silat dengan suling yang demikian hebatnya. Dia malah terpengaruh juga oleh getaran tenaga khi-kang yang terbawa oleh suara suling!

Yang bingung adalah Hong Bu sendiri. Tentu saja, biarpun dia tahu bahwa dara itu amat lihai, dia tidak takut dan dapat menandinginya. Akan tetapi, mana mungkin dia menghadapi dara ini sebagai lawan? Dia mencinta Ci Sian! Dia rela mati untuk dara ini!
Bagaimana dia dapat mengangkat pedang untuk melawannya, melukainya atau bahkan membunuhnya? Lebih baik dia yang mati. Dengan hati yang perih seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan bingung sekali, setelah beberapa kali menangkis dan mengelak, Sim Hong Bu tiba-tiba meloncat dan melarikan diri secepatnya dari tempat itu!

“Ke mana engkau hendak lari?” bentak Ci Sian yang hendak mengejarnya, akan tetapi suara Kam Hong lebih cepat lagi.

“Sumoi, jangan kejar dia!”

Suara Kam Hong rnerupakan satu-satunya suara di dunia ini yang mempunyai pengaruh besar bagi Ci Sian. Biarpun belum tentu ia selalu taat, akan tetapi setidaknya, suara Kam Hong selalu diperhatikannya dan sekali ini ia pun berhenti dan tidak melanjutkan pengejarannya. Melihat larinya Sim Hong Bu, Cin Liong khawatir kalau-kalau pemuda itu lenyap dan pedang pusaka itu tidak berhasil dirampasnya kembali.

“Ayah, harap suka lindungi Sang Pangeran, aku hendak mengejarnya!” katanya dan tanpa menanti jawaban ayahnya, pemuda ini sudah berkelebat lenyap untuk mengejar
Sim Hong Bu.

Keadaan menjadi agak tegang dan suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu setelah apa yang terjadi tadi.

“Ah, betapa sayangnya melihat para pendekar yang gagah perkasa kini bersikap seperti anak-anak kecil yang memperebutkan mainan, saling serang untuk saling membunuh. Betapa menyedihkan!” Pangeran Kian Liong berkata sambil menggeleng-geleng kepala.

Mendengar ucapan ini, Bu Seng Kin cepat menjawab dengan suara mengandung penasaran.

“Pangeran, kami adalah pejuang-pejuang rakyat yang tertindas sebagai akibat kesewenang-wenangan Kaisar. Juga kami membela rekan-rekan kami para pendekar yang dikejar, dibunuh dan hendak dibasmi oleh Kaisar, seperti halnya sahabat-sahabat dari Siauw-lim-pai. Kami sama sekali tidak hendak memperebutkan sesuatu, melainkan minta agar kami diperlakukan dengan baik sebagai manusia, sebagai rakyat yang memiliki tanah air ini!”

Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 178

Jawaban yang bersemangat itu membuat para pendekar yang berada di situ mengangkat dada dan sinar mata mereka pun menjadi berapi penuh semangat.

“Tapi, siapa pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apapun dalam urusan Kaisar itu, akan kuhadapi dengan sulingku!”

Ci Sian berkata, suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan dadanya. Bu-taihiap memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut.

“Ci Sian, sungguh mati kami bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau hendak membantuku membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan di pihak siapakah engkau sesungguhnya berdiri?”

“Aku tidak memihak siapapun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku, biarpun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Kini aku membela Sang Pangeran karena beliau adalah seorang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!”

“Hemm, Ci Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa daripada penindasan, ataukah engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar penjajah?”

Kini wajah Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Biarpun engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku! Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal! Apakah ia pun seorang pecinta rakyat dan anah air kita? Aku tidak peduli tentang urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa dan juga bukan pemberontak.”

Pangeran Kian Liong melangkah maju.
“Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku telah mengenalmu sebagai seorang dara yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apapun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda Kaisar. Biarpun aku tidak menjadi tawanan di sini, biarpun aku tidak menjadi sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.”






Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Biarpun mereka semua masih berada di dalam sarang para pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Sekarang Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biarpun kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi suhengnya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.

Menggunakan kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu sendiri, karena pemerintah tentu akan mengirim pasukan dan menghancurkan mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut! Selagi Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan dari para penjaga di luar,

“Utusan ke kota raja telah tiba kembali!”

Wajah Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran,
“Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.”

Ketika dua orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada Bu-taihiap dengan sikap bingung.

“Laporkanlah saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu. “Jangan kalian ragu-ragu lagi.”

“Kami telah menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah kami disuruh menanti dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang harus kami segera sampaikan kepada Tai-hiap.”

Dua orang utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana, menyerahkannya kepada Bu-taihiap. Pendekar ini menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka sampul dan berkata kepada Sang Pangeran,

“Harap Paduka ikut pula mendengarkan jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.”

Setelah berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan berjanji akan mengabulkannya, akan tetapi diminta agar Sang Pangeran segera dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit.

Mendengar ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri.
“Ah, kiranya Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu, “Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!”

“Kami akan mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu.

Bu-taihiap juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoinya. Bu Seng Kin berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak.

“Biarpun engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali.... kecuali....”

“Kecuali apa?”

“Kalau engkau hidup sendirian saja!”

Tang Cun Ciu yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu berkelahi, berkata dengan suara dingin,

“Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biarpun hati tidak setuju akan tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapapun juga kami adalah isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?”

Ci Sian cemberut.
“Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tak tahan aku berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam Hong.

Biarpun Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar merupakan hiburan besar.

Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di banyak kota, dan mereka tinggal menanti pelaksanaan daripada janji Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu.

Akan tetapi, sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya!

Ketika Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang. Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah daripada pohon yang ditanamnya sendiri.

Biarpun keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan.

“Bagus, engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat walaupun suaranya lemah dan lirih dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat itu!”

“Harap Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan untuk mengabulkan permohonan mereka....”

“Permohonan? Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai ke akar-akarnya!”

Pangeran Kian Liong dengan halus membantah bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah.

“Terutama sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat mempergunakan tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.”

“Kalau perlu akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah.

Akan tetapi dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar. Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi semakin berat!

Melihat keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya sebagai Pangeran Mahkota.

Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar. Di antara keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dan dihentikan pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat, terutama di dusun-dusun, pembangunan-pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya.

Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak senang. Dan mereka itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah daripada mereka. Mereka ini adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dari Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini, tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi!

Betapapun juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan yang amat berat.Penyakit Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun 1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara karena penyakitnya membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun.

Tidak ada kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh dan pada tahun 1736, beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong dinobatkan sebagai kaisar penuh.

Setelah menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal.

Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap. Kaisar muda ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan koruptor.

Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan maupun keadaan dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup.

Tentu saja semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang adil, yang bahkan lebih baik daripada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan tahun yang lalu.

Kaisar Kian Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tidak mengabaikan para ahli sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran, dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan kedudukan-kedudukan yang cukup baik, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini, kesusastraan berkembang biak dengan baiknya.

Dan memang tercatat dalam sejarah bahwa Pangeran Kian Liong merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil di dalam pemerintahan Mancu, bahkan jarang ada kaisar yang demikian gemilang pada dinasti-dinasti sebelumnya. Kaisar Kian Liong sendiri adalah seorang yang amat mengagumi Kaisar Tang Thai Cung, yaitu kaisar di dalam Dinasti Tang yang dianggapnya sebagai seorang kaisar yang bijaksana dan patut dicontoh. Maka dalam banyak hal, dia mencontoh Kaisar Dinasti Tang itu yang memerintah selama dua puluh tahun dan telah mencapai banyak sekali kemajuan untuk rakyat dan negaranya. Dan Kaisar Kian Liong ini malah menjadi Kaisar sampai selama enam puluh tahun!

Sungguh merupakan masa pemerintahan yang amat lama dan jarang ada kaisar yang seperti dia. Hal ini membuktikan kebijaksanaannya ketika memerintah sehingga tidak banyak terjadi pemberontakan terhadap pimpinannya! Memang tidak dapat disangkal bahwa jiwa patriot masih belum padam di dalam hati para pendekar. Namun api pemberontakan di dalam hati itu mengecil bahkan hampir padam selama pemerintahan Kaisar Kian Liong karena para pendekar itu segan dan tunduk kepada Kaisar yang bijaksana itu.

Semua propinsi dalam keadaan tenteram, bahkan negara-negara yang tadinya suka menyeberang perbatasan dan mengadakan pengacauan, kini menarik pasukan mereka tidak berani mengganggu. Mereka pun maklum bahwa dalam sebuah negara yang tenteram dan makmur, terhimpun kekuatan yang hebat, bukan hanya kekuatan pasukannya, melainkan terutama sekali karena setiap orang rakyat siap sedia untuk mempertahankan ketenteraman hidupnya dan akan bangkit melawan pengacau dari luar.

Pada jaman Kaisar Yung Ceng, telah terjadi kontak-kontak dengan bangsa Rusia dan bangsa ini malah diperbolehkan membuka perwakilan di kota raja. Juga telah lama diadakan hubungan perdagangan dengan bangsa Portugal sebagai bangsa asing yang paling dulu mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. Kemudian berturut-turut datang pula bangsa Belanda, Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong membatasi gerakan mereka dan menjaga benar-benar agar mereka itu tidak mempengaruhi rakyat di mana mereka tinggal dengan kebudayaan mereka. Setiap gerak-gerik mereka diawasi dan perdagangan pun dibatasi agar rakyat tidak sampai tertipu dan dirugikan.

Demikianlah keadaan pada waktu pemerintah Kaisar Kian Liong, dan kalaupun ada terjadi pemberontakan, maka pemberontakan itu hanya terjadi di daerah pinggiran yang berbatasan dengan negara tetangga, pemberontakan suku bangsa yang masih liar dan yang selalu tidak mau menerima peraturan-peraturan dari pusat. Namun semua pemberontakan itu pun dengan mudah dapat ditundukkan dan diatasi.

Melihat keadaan ini, kaum pendekar juga bangkit kembali semangat mereka. Kalau dulu, di waktu para pendekar itu kecewa menyaksikan kelaliman Kaisar Yung Ceng sehingga mereka tidak acuh terhadap keamanan rakyat, kini mereka bangkit dan menentang para penjahat yang hendak mengacaukan ketenteraman. Maka dengan adanya para pendekar ini, makin tenteramlah kehidupan rakyat jelata, berkat kebijaksanaan Kaisar Kian Liong yang pandai mengambil hati kaum cerdik pandai dan gagah perkasa di seluruh negeri.

**** 178 ****
Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts:

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 171

Tentu saja Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya,

Jenderal Muda Kao Cin Liong. Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana. Untuk nenghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka.

Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman. Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu.

Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu.

Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-lim-si, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si.

Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu.
“Sungguh terlalu!” katanya ketika mereka mendengar berita itu.

“Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa malapetaka!”

“Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil.






Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan.

“Apapun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, harus selalu kau ingat bahwa engkau adalah seorang pendekar, kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil.”

Cin Liong mengangguk-angguk.
“Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan adapun hasilnya, saya harus dapat mencari dia, setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya akan mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah seorang yang amat bijaksana. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, baru saya akan menawarkan tenaga saya untuk mengabdikan diri.”

Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main.

“Ah, biarpun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya daripada mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong.

“Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,” kata ayahnya.

“Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau.”

“Beliau akan menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk.

“Seorang yang sejak muda telah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan kehidupan rakyat dan keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.”

Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang, sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada beberapa orang yang masih hidup, walaupun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi.

Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat.
Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, akan tetapi mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.

“Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?”

Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat daripada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini.

Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, orang itu dapat juga bicara lemah,
“Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai.

Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula. Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana.

Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walaupun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggauta perarnpok.

“Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan.

Ayahnya memandang kepadanya.
“Engkau dapat menduga siapa mereka?”

Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata,
“Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.”

“Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti Gurun Pasir.

Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam?

Demikianlah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biarpun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.

Biarpun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu, tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana.

Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang.

“Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu.

Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tidak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya,

“Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka berkumpul di sini!”

Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu!

“Bagaimana baiknya sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya.

Betapapun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu.

“Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.”

Ayahnya mengangguk lalu berkata,
“Memang bijaksana dengan cara demikian. Akan tetapi aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.”

“Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang.”

Mereka lalu kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali.

Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot itu! Andaikata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.

**** 171 ****
Suling Emas & Naga Siluman







Related Posts: