Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 038

Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.

“Eh, eh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!”

Teng Siang In berkata halus akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.

Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.

Para anak buah perahu itu bersorak, akan tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbabaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perobahan dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka. Hal ini terjadi semenjak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Semenjak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.

Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!

Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekalipun, akan berobah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit. Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itupun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan “terbalas”.

Setelah menghajar lima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar. Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata,

“Suma-taihiap, tolonglah, selamatkanlah nyawa kekasihku ini....”

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan karena keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua
memandang dengan hati iba dan diam-diam merekapun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.

Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang sejak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran. Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Iapun mendendam kepada kaisar yang masih terhitung susioknya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!

Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu rohoh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat. Ternyata sang pangeran itu jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN.

Souw Li Hwa masih sadar dan gadis inipun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Iapun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka iapun berkata lemah,

“Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”

“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tidak muncul....?”

Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa dan ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.

“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu.... seorang mulia seperti paduka....?”

“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku telah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”

“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ah, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.

Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik.

“Taihiap.... ah, tolonglah dia....”

Akan tetapi Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang.
“Luka-lukamya terlampau parah, sri baginda.”

Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis.

“Li Hwa.... ah, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”

Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu walaupun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri.

“Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan iapun terkulai karena nyawanya telah melayang.

“Li Hwa....!”

“Sri baginda, ia telah tiada....”

Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar. Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah,

“Tangkap penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”

Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, akan tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.

Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu, dan jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.

Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan merekapun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan takkan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.

**** 038 ****
Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 038"

Posting Komentar