“Sumoi, engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku? Telah empat bulan lamanya aku berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir masih belum sempurna,” kata Louw Tek Ciang, pemuda yang diambil murid dan diambil calon mantu oleh Suma Kian Lee itu, pada suatu pagi kepada Suma Hui yang bertugas mengawasi dan membimbingnya.
Mereka berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh pemuda itu.
“Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu sudah paham benar,” jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang ditempeli telur belalang.
“Maukah engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sin-kang yang kupelajari, sumoi?”
Tek Ciang memohon dan seperti biasa, Suma Hui tidak menolaknya. Biarpun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walaupun hal itu bukan berarti bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan belum penuh kepercayaan hatinya kepada suhengnya ini.
“Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!” kata Suma Hui.
Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhunya, menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah lalu bersilang dan pada saat itu mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan kedua tangannya sendiri.
“Plakkk!”
Kedua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sin-kang yang kemudian dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi, seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.
“Suheng, engkau sudah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum dapat memusatkan seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kau pikirkan setelah engkau melakukan gerakan mendorong itu?”
Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian lancang, maka diapun mengambil sikap menyesal.
“Ah, dasar aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah.”
“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkaupun sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sin-kang dari keluarga kami. Aku mengucapkan selamat, suheng.”
“Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita, yang pernah kukenal.”
“Suheng....!”
Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya berobah merah. Bagaimanapun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi, tidak ada alasan baginya untuk marah-marah.
“Aku hanya bicara apa adanya, sumoi....” Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
“Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku....”
“Tapi, sebaliknya aku suka sekali....”
Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.
“Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?”
Tek Ciang membentak marah akan tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoinya berobah menjadi amat gembira.
“Cin Liong....!”
Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
“Hui-i....!”
Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi diapun berhenti berdiri saja sambil memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek itu, yang tidak dikenalnya. Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan,
“Cin Liong, dia ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya.”
“Ahhh....!”
Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, lalu teringat bahwa menurut kedudukan, dia lebih rendah, maka diapun menjura dengan sikap hormat kepada pemuda itu sambil berkata,
“Susiok....!”
Kini giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini menyebutnya susiok (paman guru)!
“Sumoi.... siapakah orang ini....?” tanyanya gagap dan bingung.
“Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... eh, seorang keponakanku.”
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian dengan sinar mata tidak percaya.
“Keponakan....? Tapi.... tapi mana mungkin....!”
Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang.
“Sudahlah, suheng. Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan membiarkan kami bercakap-cakap.”
Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah Cin Liong lalu berkata,
“Baiklah, sumoi, baiklah....” dan diapun pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.
Melihat pemuda itu sudah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak basah. Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan.
“Cin Liong, mari bicara di dalam....” ajaknya dengan gembira dan iapun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.
Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.
“Ayah ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandeng dalam pertemuan antara jari-jari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.
“Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”
“Dan susiok tadi?”
“Ah, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sin-kang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong....”
Mereka bergandeng tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu. Begitu mereka tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.
“Hui....” bisik Cin Liong.
“Cin Liong....”
Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
“Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....” bisik Cin Liong.
Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul karena kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
“Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”
Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegang di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang kepada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.
“Ah, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walaupun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”
“Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Ia setuju sepenuhnya, akan tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”
“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.
“Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”
“Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”
Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya dan mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata,
“Baik ayah maupun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan dapat menghalangiku berjodoh denganmu!”
Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tidak mungkin ditekuk sampai bagaimanapun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan malapetaka di dalam keluarga itu.
“Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andaikata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar.”
Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang!
Biarpun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum kedua orang muda itu memasuki ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.
“Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”
“Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma Hui.
Cin Liong tersenyum,
“Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”
“Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”
“Tapi kalau terdengar orang....”
“Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”
“Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”
“Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu.”
Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong lalu meninggalkan kekasihnya yang mengantarnya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh!
Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam? Ah, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang setolol itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak “melindungi” sumoinya?
Bagaimanapun juga, Cin Liong tidak mau membuat “susioknya” itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata “susiok” itu telah lenyap dan diapun tersenyum sendiri.
Mereka berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh pemuda itu.
“Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu sudah paham benar,” jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang ditempeli telur belalang.
“Maukah engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sin-kang yang kupelajari, sumoi?”
Tek Ciang memohon dan seperti biasa, Suma Hui tidak menolaknya. Biarpun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walaupun hal itu bukan berarti bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan belum penuh kepercayaan hatinya kepada suhengnya ini.
“Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!” kata Suma Hui.
Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhunya, menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah lalu bersilang dan pada saat itu mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan kedua tangannya sendiri.
“Plakkk!”
Kedua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sin-kang yang kemudian dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi, seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.
“Suheng, engkau sudah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum dapat memusatkan seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kau pikirkan setelah engkau melakukan gerakan mendorong itu?”
Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian lancang, maka diapun mengambil sikap menyesal.
“Ah, dasar aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah.”
“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkaupun sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sin-kang dari keluarga kami. Aku mengucapkan selamat, suheng.”
“Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita, yang pernah kukenal.”
“Suheng....!”
Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya berobah merah. Bagaimanapun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi, tidak ada alasan baginya untuk marah-marah.
“Aku hanya bicara apa adanya, sumoi....” Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
“Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku....”
“Tapi, sebaliknya aku suka sekali....”
Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.
“Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?”
Tek Ciang membentak marah akan tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoinya berobah menjadi amat gembira.
“Cin Liong....!”
Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
“Hui-i....!”
Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi diapun berhenti berdiri saja sambil memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek itu, yang tidak dikenalnya. Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan,
“Cin Liong, dia ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya.”
“Ahhh....!”
Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, lalu teringat bahwa menurut kedudukan, dia lebih rendah, maka diapun menjura dengan sikap hormat kepada pemuda itu sambil berkata,
“Susiok....!”
Kini giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini menyebutnya susiok (paman guru)!
“Sumoi.... siapakah orang ini....?” tanyanya gagap dan bingung.
“Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... eh, seorang keponakanku.”
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian dengan sinar mata tidak percaya.
“Keponakan....? Tapi.... tapi mana mungkin....!”
Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang.
“Sudahlah, suheng. Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan membiarkan kami bercakap-cakap.”
Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah Cin Liong lalu berkata,
“Baiklah, sumoi, baiklah....” dan diapun pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.
Melihat pemuda itu sudah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak basah. Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan.
“Cin Liong, mari bicara di dalam....” ajaknya dengan gembira dan iapun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.
Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.
“Ayah ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandeng dalam pertemuan antara jari-jari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.
“Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”
“Dan susiok tadi?”
“Ah, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sin-kang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong....”
Mereka bergandeng tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu. Begitu mereka tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.
“Hui....” bisik Cin Liong.
“Cin Liong....”
Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
“Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....” bisik Cin Liong.
Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul karena kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
“Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”
Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegang di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang kepada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.
“Ah, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walaupun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”
“Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Ia setuju sepenuhnya, akan tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”
“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.
“Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”
“Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”
Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya dan mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata,
“Baik ayah maupun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan dapat menghalangiku berjodoh denganmu!”
Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tidak mungkin ditekuk sampai bagaimanapun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan malapetaka di dalam keluarga itu.
“Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andaikata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar.”
Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang!
Biarpun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum kedua orang muda itu memasuki ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.
“Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”
“Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma Hui.
Cin Liong tersenyum,
“Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”
“Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”
“Tapi kalau terdengar orang....”
“Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”
“Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”
“Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu.”
Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong lalu meninggalkan kekasihnya yang mengantarnya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh!
Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam? Ah, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang setolol itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak “melindungi” sumoinya?
Bagaimanapun juga, Cin Liong tidak mau membuat “susioknya” itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata “susiok” itu telah lenyap dan diapun tersenyum sendiri.
**** 055 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 055"
Posting Komentar