“Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?”
Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini, kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kandungnya. Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan,
“Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”
Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
“Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”
“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah.
Jadi, kalaupun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”
Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan memandang ibunya penuh harapan.
“Kalau begitu, ibu setuju?”
Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk.
“Ibu sih setuju saja.”
“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”
Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, ia tidak begitu malu menitikkan air mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
“Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”
“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walaupun pendiam dan tenang, namun juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.
“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”
“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!”
Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir. Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”
Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.
“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.
“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga daripada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”
“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”
“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya lalu merangkulnya.
“Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua makin pemarah, sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”
Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur. Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya,
“Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”
“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ah, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”
“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw- twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”
“Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”
“Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”
“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas.
“Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”
Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini, kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kandungnya. Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan,
“Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”
Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.
“Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”
“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah.
Jadi, kalaupun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”
Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan memandang ibunya penuh harapan.
“Kalau begitu, ibu setuju?”
Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk.
“Ibu sih setuju saja.”
“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”
Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, ia tidak begitu malu menitikkan air mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.
“Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”
“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walaupun pendiam dan tenang, namun juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.
“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”
“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!”
Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir. Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.
“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”
Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.
“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.
“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga daripada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”
“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”
“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.
Isterinya lalu merangkulnya.
“Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua makin pemarah, sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”
Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur. Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya,
“Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”
“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ah, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”
“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw- twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”
“Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”
“Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”
“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas.
“Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”
**** 46 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 046"
Posting Komentar