“Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku....”
“Hemm, begitukah? Lalu....?”
“Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”
“Dan engkau....?”
“Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?”
“Hemmm....”
“Di lain fihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi....”
“Ya....?”
“Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?”
Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik.
“Ah, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walaupun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”
“Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”
Cin Liong mergangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.
“Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!”
“Selamat jalan, taihiap!”
Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama dia termenung dan berusaha menenteramkan perasaanya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!
“Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”
Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu.
“Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”
“Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”
Legalah hati Tek Ciang dan diapun tertawa.
“Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe.”
“Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat daripada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”
Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.
“Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”
Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekalipun dia masih bisa tertawa gembira.
“Kau kira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapapun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai daripada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”
Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil menculik wanita itu.
Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapapun lihainya, karena memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.
“Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, ia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”
Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.
“Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”
Kakek itu mengangguk dan menyumpah.
“Memang aku sedang sialan! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu karena aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”
Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.
“Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu.”
Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut.
“Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?”
“Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, melainkan sebagai anakku!”
“Anak....?”
“Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”
Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima daripada menolak.
“Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”
“Engkau mau? Mau menjadi puteraku?”
“Tentu saja aku mau.”
“Bagus! Hayo kausebut ayah padaku!”
“Ayah!”
“Ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berobah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik serem.
“Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”
Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar.
Tek Ciang terkejut akan tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andaikata datuk itu hendak membunuhnya sekalipun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka diapun pasrah dan sedikitpun tidak nampak takut. Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiripun sudah luka tergores dan berdarah pula.
Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.
“Hayo minum darah di lenganmu itu!” katanya.
Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.
“Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.”
Demikianlah, mulai saat itu, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itupun sama sekali tidak pernah menduganya.
**** 072 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 072"
Posting Komentar