Biarpun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai, namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mergherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil.
Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat. Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka agak terlambatlah Kaisar Kian Liong mengetahui bahwa diam-diam terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat yang diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet dan kemudian menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng.
Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.
Pihak Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong! Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting.
Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya. Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal kemudian bersama-sama kekuatan gabungan persekutuan itu membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.
Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal dan hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet hanya melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang oleh Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.
Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran yang subur, lembah-lembah yang indah dan Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi.
Akan tetapi, puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasihatnya yang paling utama.
Para pembaca cerita seriSULING EMAS tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI danJODOH RAJAWALI telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan. Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut.
Ketika dua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat. Akan tetapi akhirnya, biarpun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali.
Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan dan selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.
Karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini ia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.
Tidaklah aneh kalau garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga daripada upeti yang dikirimkan.
Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar.
Maka, Hek-i Mo-ong juga diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berfihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi “koksu” dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tidak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu. Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal.
Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih maupun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya. Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.
Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, kini pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan diapun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
“Kita melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”
“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong.
“Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka diapun mengerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala.
“Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”
Karena Ceng Liong tidak mengerti, diapun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak pergi ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan baik, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.
Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di daerah ini, di Propinsi Secuan.
Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang sudah berusia empat puluh dua tahun ini. Dia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP. Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang aseli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aselinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aselinya dengan tenang.
Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik.
Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton. Kemudian diapun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga.
Bagaimanapun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.
Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan ataupun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu. Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.
Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali.
Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan diapun sudah siap membantunya.
Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 073"
Posting Komentar