Bunga api berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok penjahat raksasa itu.
Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewajahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dia hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.
Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan lima orang penjahat itu dan melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya dan berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tidak dapat mengganggu kaisar.
Betapapun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan ia telah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.
“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”
Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.
“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”
Akan tetapi, biarpun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.
“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”
Mendengar perintah itu, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar.
Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja merekapun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.
“Desss....!”
Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itupun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.
Si wanita memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.
“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”
Wanita itu mencoba untuk tersenyum.
“Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil....menyelamatkan paduka....”
“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru,
“Bunuh mereka!”
Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
“Wuuuutttt.... blaarrrr....!”
Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.
Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itupun tidak mengenal mereka. Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Kalau mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.
Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, kini berdiri berkelompok, dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, mereka maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu. Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudahnya dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat dan begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.
“Plakkk!”
Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itupun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!
Orang pertama yang menyerang Teng Siang In adalah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar dan orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Kini, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar inipun tidak bergerak dari tempat ia berdiri, melainkan sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara “prakk!” dan diapun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan merekapun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuknya menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung.
Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung. Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras.
Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus,
“Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan! Dan memang sesungguhnya demikianlah. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, melainkan sudah menggunakan ilmu sihirnya.
Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berobah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
“Dukkk!”
Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewajahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dia hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.
Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan lima orang penjahat itu dan melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya dan berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tidak dapat mengganggu kaisar.
Betapapun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan ia telah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.
“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”
Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.
“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”
Akan tetapi, biarpun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.
“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”
Mendengar perintah itu, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar.
Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja merekapun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.
“Desss....!”
Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itupun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.
Si wanita memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.
“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”
Wanita itu mencoba untuk tersenyum.
“Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil....menyelamatkan paduka....”
“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru,
“Bunuh mereka!”
Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
“Wuuuutttt.... blaarrrr....!”
Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.
Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itupun tidak mengenal mereka. Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Kalau mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.
Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, kini berdiri berkelompok, dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, mereka maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu. Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudahnya dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat dan begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.
“Plakkk!”
Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itupun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!
Orang pertama yang menyerang Teng Siang In adalah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar dan orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Kini, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar inipun tidak bergerak dari tempat ia berdiri, melainkan sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara “prakk!” dan diapun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan merekapun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuknya menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung.
Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung. Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras.
Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus,
“Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan! Dan memang sesungguhnya demikianlah. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, melainkan sudah menggunakan ilmu sihirnya.
Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berobah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
“Dukkk!”
Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 037"
Posting Komentar