Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 069


“Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.

Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis daripada encinya di waktu kecil. Bahkan diam-diam ia sering merasa heran mengapa puterinya berhati baja seperti seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.

“Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”

Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bertangisan. Baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis karena iapun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!

“Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapapun besar malapetaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?”

Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata,

“Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”

Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas.

Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya dan mengeluarkan suara kutukan perlahan. Setelah puterinya selesai bercerita, ia bertanya.






“Begitu gelapkah cuaca malam itu dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”

“Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”

“Asap yang berbau harum seperti hio?”

“Benar.”

“Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berobah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita manapun kiranya akan bisa dia dapatkan!”

“Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”

“Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”

“Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ah, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan diapun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia melakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.

Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa malapetaka itu. Ia tahu bahwa kalau tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.

Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biarpun hanya puteri angkat dan iapun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Ia baru berobah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI ).

Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua menjadi suami isteri!

“Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”

“Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”

“Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengar, bukankah engkau amat mencintanya?”

“Itu dulu sebelum....”

“Dan diapun mencintamu....?”

“Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”

“Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apapun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi dan satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....”

“Tidak....! Tidak....!”

“Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai mantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka semua sehagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan menikahimu....”

“Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku daripada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berobah benci oleh perbuatannya yang keji itu!”

“Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.”

“Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, akupun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.”

“Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”

“Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Diapun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”

“Hui-ji! Jangan putus asa seperti itu, anakku....!”

Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali. Akan tetapi ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.

Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berobah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya. Tanpa kita sadari, kita sekarangpun hanya memiliki cinta yang macam ini saja. Kita mencinta seseorang, tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi.

Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah. Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berobah atau hilang, cinta kitapun luntur dan berobah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berobah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itupun berobah menjadi benci setengah mati!

Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta berahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiripun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati “cinta” kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka akan nampak nyata betapa “mengerikan” wajah dari cinta kita itu.

Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng.

Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itupun tertebus dan aibpun terhapus.

Hanya satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biarpun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan diapun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.

“Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”

“Tapi....!” Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ah, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tidak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”

Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya.
“Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”

“Apa? Ilmu keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.

“Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”

Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena iapun mengerti betapa kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.

“Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”

“Kalau dia menolak, dia tidak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”

Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 069"

Posting Komentar