“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.
Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya.
Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, ketika dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya.
Kakek ini menarik napas panjang.
“Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus,
“Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih,
“Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang.
“Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini dan semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”
“Hal apakah itu, kong-kong?”
“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkaupun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka diapun cepat berkata,
“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan itu tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tidak dapat membicarakannya.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Akan tetapi, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”
“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak takut menghadapi badai.”
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan.
“Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”
“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.”
“Bun-koko.... engkau.... engkau hendak pergi....?”
Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang manapun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”
“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”
“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”
“Tapi, kapan, koko....? Ah, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tidak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.
“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.
“Aih, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, berangkatlah Ciang Bun naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.
“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.
Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan diapun memandang ke arah pula itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh. Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung.
Terjadi keadaan yang bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
“Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?”
Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya.
Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, ketika dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya.
Kakek ini menarik napas panjang.
“Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus,
“Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih,
“Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang.
“Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini dan semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”
“Hal apakah itu, kong-kong?”
“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkaupun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka diapun cepat berkata,
“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan itu tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tidak dapat membicarakannya.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Akan tetapi, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”
“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak takut menghadapi badai.”
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan.
“Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”
“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.”
“Bun-koko.... engkau.... engkau hendak pergi....?”
Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang manapun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”
“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”
“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”
“Tapi, kapan, koko....? Ah, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tidak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.
“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.
“Aih, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, berangkatlah Ciang Bun naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.
“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.
Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan diapun memandang ke arah pula itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh. Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung.
Terjadi keadaan yang bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
“Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?”
**** 044 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 044"
Posting Komentar