Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 048

Ayahnya mengerutkan alis.
“Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw- kauwsu adalah seorang sahabat baikku, dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itupun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sin-kang dan samadhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sin-kang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”

Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh itu, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagaimanapun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.

Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap amat menghormat, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan. Pemuda itu sedikitpun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.

“Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,” kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang “siasat” suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.

“Terima kasih, subo,” kata Tek Ciang sambil memandang kepada suhunya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhunya.

Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!

“Bangkit dan duduklah, Tek Ciang,” katanya halus. Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya.

“Terima kasih, subo.”






Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walaupun baru melihat sekelebatan saja, kemudian diapun cepat menjura kepada dara itu.

“Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”

Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja ia segera menekan perasaannya karena dugaan itupun masih membuat ia ragu. Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang sedemikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.

“Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.

“Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biarpun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biarpun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”

Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata,

“Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walaupan sesungguhnya saya tidak berani lancang.”

Bagaimanapun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka iapun menjura dan berkata manis,

“Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”

“Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subomu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa atihan dasar untuk mempelajari sin-kang dan samadhi. Harus kau perhatikan baik-baik karena dasar latihan sin-kang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkaupun tidak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoimu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu.”

“Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk- petunjuk dari sumoi, untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”

“Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.

Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.

“Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, kemudian kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sin-kang,” kata pula Suma Kian Lee. “Hui- ji, suruh pelayan datang untuk mengantar suhengmu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”

“Baik, ayah.” Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira.

Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itupun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.

Demikianlah, dalam beberapa hari itu dengan sungguh-sungguh Suma Kian Lee memberi dasar latihan sin-kang kepada Tek Ciang. Biarpun pemuda ini pernah mempelajari samadhi dan latihan sin-kang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhunya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar- benar.

Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga biarpun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan iapun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Seminggu kemudian, berangkatlah suami isteri itu meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimanapun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasihat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinyapun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.

Louw-kauwsu seringkali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai “gagal” menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasan hatinya sendiri diapun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!

“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkaupun pura-pura tidak tahu sajalah. Aku menceritakannya kepadamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.

Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tidak ada alasan sedikitpun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sin-kang itu dengan baik.

**** 048 ****
Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 048"

Posting Komentar