Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 068


Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui lalu menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri.

“Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!”

Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itupun ia tidak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu! Kim Hwee Li dapat merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu inipun merangkulnya sambil menangis pula.

Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi malapetaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda?
Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.

“Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!” kata pendekar itu dengan wajah lesu.

Kim Hwee Li mengerti bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka iapun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.

Dia menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang encinya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada encinya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suhengnya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa encinya! Dia mengenal betul jenderal muda itu, seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah membela Pulau Es mati-matian, bahkan telah menyelamatkan encinya dari malapetaka ketika encinya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa encinya?






Akan tetapi, diapun tahu bahwa encinya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau encinya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itupun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!

Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman.

“Ah, sute, apakah tamunya sudah pulang?”

Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk.
“Siapakah tamunya, sute?”

“Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya dan mereka datang untuk meminang enci Hui!” Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suhengnya itu dengan tajam. “Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong.”

“Ahhh....!”

Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang. Ciang Bun mengerti bahwa tentu suhengnya ini tidak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya. Ciang Bun lalu menghampiri suhengnya.

“Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu.”

Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sutenya dengan heran.

“Bicara apakah, sute?”

”Tentang.... Cin Liong!”

“Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?”

“Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?”

Pemuda itu menarik napas panjang, nampak bersedih.
“Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingannya dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah.”

“Engkau percaya akan keterangan itu?”

“Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah.”

“Engkau tidak mendendam?”

Tek Ciang nampak bingung.
“Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, akan tetapi akupun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini”.

“Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?”

“Apa....? Ah, entahlah, sute, aku menjadi bingung....”

Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otaknya bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suhengnya ini, sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sutenya.

“Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?”

Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sutenya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.

“Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?”

“Sesuatu yang aneh? Apakah yang kau maksudkan, sute?”

“Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?”

“Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis.”

“Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!”

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum.
“Ah, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku.”

“Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?”

“Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!”

Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga. Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya maupun tingkat kepandaiannya.

“Sekarang harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?”

Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.

“Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tidak berani bicara kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?”

Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara.

“Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!”

“Berkelahi?”

“Sehenarnya bukan berkelahi, melainkan sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tidak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

“Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?”

“Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap.”

“Hemm, sungguh aneh. Apa sebabnya enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih.

“Aku tidak tahu mengapa, sute. Ketika kutanya, sumoi juga tidak mau menceritakan.”

“Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala.

“Malam itu engkau berada di mana, suheng?”

“Aku? Ah, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tidak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar akan tetapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?”

Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah....” dan pemuda remaja inipun meninggalkan suhengnya dengan hati yang tidak puas karena semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalannya. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa encinya, kemudian setelah mereka bertemu pagi itu, encinya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib encinya yang malang.

**** 068 ****
Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 068"

Posting Komentar