Biarpun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga maupun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.
Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka dan pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tidak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas daripada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi.
Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana maupun di luar istana.
Biarpun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, akan tetapi pendekar ini disebut pangeran dan dia bersama isterinya merupakan penasihat-penasihat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini. Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jerih. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Tak mungkin ada yang sempurna di dunia ini karena setiap ada yang menganggapnya baik tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung daripada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah. Maka, kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tenta saja karena dianggapnya menguntungkan bagi fihak itn, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik karena merasa dirugikan.
Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.
Sudah jamak di satu pemerintahan negara manapun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidakpuasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak mernperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir maupun batin.
Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.
Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.
Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasihat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.
Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit.
Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar, mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang, dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.
Anak ini sungguh cantik, gerakannya lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan, tangan kiri memegang busur kecil, tangan kanan memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan.
Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi. Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga biarpun usianya baru sembilan tahun, namun Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar.
Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan dan sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai mempergunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.
“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.
“Di hutan ini mana ada puteri-puteri segala macam?”
Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigapnya di antara semak-semak belukar.
“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak sutara wanita ke dua.
Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya dan menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja dua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.
“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekorpun rusa atau binatang lain!”
“Nona, sebaiknya kita kembali ke kota. Kita sudah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
“Tidak, kita belum memperoleh seekorpun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.
“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”
“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”
“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.
“Kenapa?”
“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada biruang-biruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”
“Aku tidak takut!”
“Tapi.... tapi biruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”
Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya samhil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan.
“Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang menemaniku sekarang ini? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor biruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”
Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya sudah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya lalu cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Merekapun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.
Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Kalau mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah.
Maka merekapun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pernburu-pemburu yang berpengalaman,
Hong Bwee nampak membidikkan anak panahnya dari balik semak-semak. Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina inipun indah dan rusa inipun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berobah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina. Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.
“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”
Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadipun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.
Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.
Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.
Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Diapun kena kutuk dan roboh tewas. Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar.
**** 075 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 075"
Posting Komentar