Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 078

Daftar Isi
“Ceng Liong, mari kita berlumba menangkap kelinci itu!”

Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika ia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak. Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan “matang” di depan gadis cilik ini.

“Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!” diapun berseru dan mengejar.

Karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.

Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringatnya membasahi leher baju. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.

Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.

“Aduhhh....!”

Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tibapun terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.

“Engkau tidak apa-apa?”






Ceng Liong membantu gadis itu bangkit. Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.

“Aku sudah menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.

Hong Bwee memandang dan terbelalak, lalu lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.

“Ceng Liong, engkau kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”

Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu.

“Nona, kenapa engkau mengatakan aku kejam?” Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam! “Eh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi dan setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”

Akan tetapi Hong Bwee tidak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut, lalu ia berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis.

Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.

Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja.
Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tetapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!

“Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”

Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan diapun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!

Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan “upacara” sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walaupun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.

Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya agar suaranya tidak terdengar marah.

“Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku, mengapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya. Apa artinya semua ini?”

Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut.
“Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”

“Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”

“Memang, akan tetapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!”

Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?

“Tapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Ketika kita bertemu untuk pertama kalinya, engkaupun membunuh anak biruang, bahkan mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!”

“Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”

“Wah, membunuh pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.

“Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu bersungut-sungut. “Nah, kau dengar baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita, baik ia binatang atau manusia. Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar adanya.”

Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita, tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Engkau membunuhnya seperti pembunuhan ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!”

Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, dilemparkan dan dibuang begitu saja.

“Tapi, nona....” Dia membantah untuk “meringankan” dosanya. “Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya.”

“Benarkah itu?”

Hong Bwee memandang tajam. Sinar mata lembut namun tajam itu seolah-olah berubah menjadi ujung pedang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.

“Tentu saja benar.”

“Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoapun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”

Kini wajah yang manis itu menjadi terang dan berseri kembali, senyumnya mengembang lagi seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.

Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan diapun tersenyum.
“Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”

“Hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?”

Ceng Liong mengangkat dadanya.
“Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggung jawabkan perbuatannya!”

“Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”

Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata,
“Ah, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itupun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”

“Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya....”

“Ah, engkau hanya menduga saja, nona.”

“Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!”

“Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”

“Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona.”

“Baik, non.... eh Hong Bwee.”

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 078"

Posting Komentar