Sejenak Tek Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat kepada pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu beristirahat dalam kamarnya yang awut-awutan.
Suma Hui memandang sekeliling kamarnya. Meja kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi ia tidak perduli dan ia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya sudah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Ia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadap dirinya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ah, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti ia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan malapetaka yang begini hebat atas dirinya?
Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya, dan kelihaian pemerkosa itupun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya.
Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu berahi? Tak mungkin! Ketika mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, iapun dapat merasakan gairah berahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri.
Cin Liong bukan seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah.... Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia bangkit duduk, mengepal tinju, apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?
“Tidak!” Ia mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”
Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tidak disadari kalau ia sedang marah.
“Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”
Dan iapun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!
“Sumoi....!”
Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui dan pemuda itu memandang penuh kegelisahan ke arah punggung sumoinya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoinya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.
“Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?”
Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin,
“Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorangpun boleh mencampuri.” Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
“Hui-moi....!”
Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong dan dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.
“Singggg....!” Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.
“Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!” bentaknya dan dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui sudah menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.
“Heiiii....!”
Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu dan saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.
“Crottt....!”
Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadinya dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!
“Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku....”
“Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah dan ditebus dengan nyawamu, manusia hina-dina!”
Dan kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya semakin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.
“Eh, Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.
“Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!”
Suma Hui menyerang bertubi-tubi, sepasang pedangnya itu menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuh kebelakang, lalu bergulingan dengan cepat.
“Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.
Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main. Biarpun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja amat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.
“Hui-moi, kita bicara dulu....!”
“Engkau atau aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.
“Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!”
Berkali-kali Tek Ciang juga menasihati sumoinya, akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.
“Sing-singgg.... wuuutttt....!”
Segumpal rambut kuncir dari Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.
Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara, akan tetapi dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.
“Ah, Hui-moi.... Hui-moi....” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.
“Jahanam jangan lari!” Suma Hui membentak akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.
“Sumoi, jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.
Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suhengnya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok. Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.
“Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu.”
Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu. Setelah tiba di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya,
“Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan hendak membunuh Kao-taihiap?”
Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suhengnya lalu berkata,
“Louw-suheng, aku mengharap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapapun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!”
Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.
Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang maupun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja karena gadis itu sama sekali tidak pernah mau menemaninya latihan lagi.
Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui merangkulnya sambil menangis.
“Bun-te.... ah, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.
Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”
“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.
“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang,
“Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”
Suma Hui memandang sekeliling kamarnya. Meja kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi ia tidak perduli dan ia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya sudah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Ia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadap dirinya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ah, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti ia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan malapetaka yang begini hebat atas dirinya?
Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya, dan kelihaian pemerkosa itupun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya.
Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu berahi? Tak mungkin! Ketika mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, iapun dapat merasakan gairah berahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri.
Cin Liong bukan seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah.... Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia bangkit duduk, mengepal tinju, apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?
“Tidak!” Ia mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”
Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tidak disadari kalau ia sedang marah.
“Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”
Dan iapun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!
“Sumoi....!”
Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui dan pemuda itu memandang penuh kegelisahan ke arah punggung sumoinya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoinya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.
“Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?”
Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin,
“Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorangpun boleh mencampuri.” Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
“Hui-moi....!”
Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong dan dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.
“Singggg....!” Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.
“Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!” bentaknya dan dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui sudah menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.
“Heiiii....!”
Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu dan saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.
“Crottt....!”
Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadinya dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!
“Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku....”
“Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah dan ditebus dengan nyawamu, manusia hina-dina!”
Dan kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya semakin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.
“Eh, Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.
“Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!”
Suma Hui menyerang bertubi-tubi, sepasang pedangnya itu menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuh kebelakang, lalu bergulingan dengan cepat.
“Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.
Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main. Biarpun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja amat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.
“Hui-moi, kita bicara dulu....!”
“Engkau atau aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.
“Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!”
Berkali-kali Tek Ciang juga menasihati sumoinya, akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.
“Sing-singgg.... wuuutttt....!”
Segumpal rambut kuncir dari Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.
Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara, akan tetapi dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.
“Ah, Hui-moi.... Hui-moi....” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.
“Jahanam jangan lari!” Suma Hui membentak akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.
“Sumoi, jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.
Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suhengnya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok. Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.
“Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu.”
Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu. Setelah tiba di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya,
“Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan hendak membunuh Kao-taihiap?”
Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suhengnya lalu berkata,
“Louw-suheng, aku mengharap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapapun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!”
Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.
Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang maupun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja karena gadis itu sama sekali tidak pernah mau menemaninya latihan lagi.
Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui merangkulnya sambil menangis.
“Bun-te.... ah, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.
Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”
“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.
“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang,
“Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 062"
Posting Komentar