Demikian Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman.
Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar ia yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee kini telah banyak berobah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati iapun berkata.
“Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini....” Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.
“Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka.”
Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu. Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Mengingat akan pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.
Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, kembali Wan Ceng saling lirik dengan suaminya. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar ia melanjutkan bicaranya. Maka setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.
“Sesungguhnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... eh, Suma Hui ini.”
Sukar rasanya menyebut “adik” kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya.
“Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami.”
Sampai di sini ia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan lalu menundukkan mukanya ketika bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.
Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan diapun cepat menyambung keterangan isterinya,
“Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong.”
“Tidak.... tidak pantas....!”
Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan. Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.
“Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?”
Kao Kok Cu menarik napas panjang.
“Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami.”
“Brakkkk!”
Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
“Tidak! Ini penghinaan namanya!”
Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perobahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama makin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.
“Akupun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!”
Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.
“Enci Hui....!” Suma Ciang Bun berteriak kaget.
“Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!” Kim Hwee Li menegur puterinya.
“Hui-ji, engkau harus mempertanggung jawankan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!”
Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasannya yang kuat sekali.
“Dia.... dia telah menodaiku....!” Hanya sekian saja Suma Hui dapat bicara karena ia sudah menangis sesenggukan.
“Ahhhh....!”
Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.
“Anakku.... apakah yang telah terjadi....?” tanyanya penuh kegelisahan.
“Hui-ji, ucapanmu itu harus dijelaskan!” bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya.
Adapun Kao Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah merekapun berobah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!
Suma Hui menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.
“Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku....”
“Engkau tahu benar siapa pelakunya?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.
“Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!”
Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya.
“Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!”
Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam dan mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika ia berhadapan dengan Suma Kian Lee.
“Bohong! Aku tidak percaya! Tidak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu.”
Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu Suma Kian Lee agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya. Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu.
“Keterangan anakku kau katakan bohong?” bentaknya marah.
“Kalau tidak bohong ia tentu salah lihat!” Wan Ceng membantah “Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?”
“Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi.”
“Fitnah....!” Wan Ceng membentak.
“Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tak tahu malu!”
Kim Hwee Li marah sekali dan ia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng. Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat iapun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.
“Dukkk....! Wuiiitttt!”
Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat.
Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya.
Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.
“Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Mempergunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan.”
Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walaupun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.
“Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!”
“Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perhuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggung jawabkannya dan kami yang akan menghukumnya.”
Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah. Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiripun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimanapun juga, mereka menjadi prihatin sekali.
Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu lalu menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 067"
Posting Komentar