Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki.
Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air. Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu.
Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir.
Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut.
“Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kauketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk.
“Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!”
Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
“Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!”
Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah.
“Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!”
Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?”
Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki.
Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air. Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu.
Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir.
Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut.
“Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kauketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk.
“Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!”
Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
“Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!”
Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah.
“Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!”
Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?”
Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 040"
Posting Komentar