Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 077

Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu.
“Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh biruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”

Tentu saja Tek Hoat mengangguk membolehkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.

Phang-sinshe tanpa membuang waktu lagi cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka diapun merasa semakin girang.

Pada waktu itu, selosin pemburu yang kesemuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang mempunyai kesenangan merantau dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.

“Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”

“Apakah anak itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.

“Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”

“Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”

Kakek itu memperlihatkan muka terkejut dan sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata,






“Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan.... apakah.... apakah.... taihiap orangnya....?”

Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan kalau kakek ini dalam perantauannya di Himalaya mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.

“Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”

“Ah, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera memberi hormat, akan tetapi Tek Hoat membalasnya.

“Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilahkan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana menjadi tamu kehormatan kami.”

Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!

“Terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. “Sejak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sekarang taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!”

Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.

“Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”

Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.

Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, diapun tidak mau kalah.

Dengan menggenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu. Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi.

Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.

Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rambongan itu lalu berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, setelah melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira.

Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk. Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor biruang hitam besar dan anaknya, rakyat menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.

Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itupun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.

Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.

Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw.

Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda.

Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.

Seperti diceritakan dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN , Syanti Dewi pernah mendapatkan obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Dan setelah ia menikah dengan Wan Tek Hoat, sebelumnya ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, biarpun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.

Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya kepada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga terima kasih kepada kakek itu. Kemudian Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilahkan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.

Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.

Berkat “nasib” baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur, bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta sedang duduk di kamarnya ketika pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.

Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar inipun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilahkan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.

“Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”

Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikitpun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya,

“Ciangkun menderita penyakit apakah?”

Brahmani tersenyum.
“Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit.”

“Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.”

Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.

“Saya mendengar bahwa sinshe adalah seorang yang banyak merantau dan sudah berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu sudah menjelajahi daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?”

Karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.

“Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama....”

Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan,

“Hek-i Mo-ong?”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa ada perobahan sedikitpun pada air mukanya dan diapun bertanya perlahan-lahan,

“Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”

Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya? Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, akan tetapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum diapun berkata,

“Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar tentang dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”

Phang-sinshe mengangguk-angguk.
“Hemm, apa buktinya?”

Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata,

“Akupun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku sudah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe.”

Kini Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik. Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!

Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main.
“Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.

Brahmani menarik napas panjang.
“Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat dan bahkan pasukan-pasukan Bhutan, membuat penyerbuan atau pemberontakan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itupun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe karena satu-satunya cara untuk melemahkan pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini.”

Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur.

**** 077 ****
Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 077"

Posting Komentar