Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 058

“Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal....” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.

“Louw-susiok,” kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee biarpun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu.

“Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”

Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam.
“Dia dibunuh penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!”

Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas. Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.

“Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”

Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”

Wajah itu semakin pucat dan matanya semakin terbelalak.
“Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!”

Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.

“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”

Tek Ciang menoleh kepada sumonya, lalu menjatuhkan diri duduk kembali, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.






“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”

“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!”

Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata.

“Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”

“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”

Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoinya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran,

“Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”

“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka.

Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”

Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itupun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biarpun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela! Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati? Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala.

“Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”

Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!

Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir.
“Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”

“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya.

“Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, Kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”

“Suheng, jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suhengnya dengan muka merah karena marah.

Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum
“Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”

“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan diapun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”

Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan kemudian terbuka rahasianya.

“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa akan tetapi agaknya ayah menyangka engkau penjahat itu.”

Cin Liong mengangguk-angguk.
“Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang ada. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.

“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.

“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.

“Bagaimanapun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku takkan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”

Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya. Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui!

Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka diapun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!

Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.

Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila!

Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya? Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih namun masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.

“Siapakah engkau....?” Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.

Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum.

“Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?”

Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!

Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.

“Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu hanya pura-pura saja?”

“Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!”

Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu. Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah.

“Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!”

Pemuda ini lalu menerjang ke depan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 058"

Posting Komentar