Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 071

Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.

Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali. Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biarpun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya.

Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya. Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu ataupun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.

Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman. Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, diapun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu jai -hwa Siauw-ok tidak muncul, dia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subonya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan. Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih samadhi seperti yang diajarkan oleh suhunya kepadanya.

Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya. bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sin-kang. Bahkan kini dia mulai dapat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es! Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi di kuil itu merupakan tempat yang amat baik untuk bersamadhi menghimpun tenaga dalam, selain tempatnya sunyi, juga malam itu dingin sekali, cocok untuk berlatih.






Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itupun dapat didengarnya dan diapun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!

Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, diapun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.

“Siapa....?” bentaknya sambil meloncat berdiri.

“Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”

“Locianpwe....!” teriak Tek Ciang dengan girang ketika mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.

“Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....” Suara itu berbisik.

Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Diapun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.

“Locianpwe, ada apakah....?” tanyanya heran.

“Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”

“Apa....? Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.

“Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”

“Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.

“Ah, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biarpun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.”

Otak pemuda itu bekerja dengan cepat.
“Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan sayapun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?”

“Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!”

Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan. Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong.

Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang. Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka diapun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.

“Engkau hendak lari ke mana?”

Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong. Dia melarikan diri dengan cepat dan karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap diantara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang lain dari tempat Jai-hwa Siauw-ok bersembunyi.

Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhunya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.

Maka dia lalu menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-Ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!

Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.

“Dukk!” Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.

“Hwi-yang Sin-ciang....!” serunya kaget akan tetapi lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.

“Tahan....!” katanya.

Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.

“Louw-susiok....!”

“Kao-taihiap....!” Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”

“Ehh? Justeru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?”

“Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu....”

“Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”

“Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka akupun menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu,

“Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja dan diapun lenyap. Eh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”

“Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!”

“Kao-taihiap, bagaimana engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.

“Ah, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... eh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”

“Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”

Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala.
“Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja, berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani.”

“Ah, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”

“Apakah yang telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?”

“Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”

“Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”

“Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”

“Benarkah?” Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”

“Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”

“Lalu....?”

“Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga.”

Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walaupun dia sudah dapat menduga akan hal itu.
Pula, setelah kini Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apa lagi artinya andaikata pinangan diterima juga?

“Kemudian bagaimana?”

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 071"

Posting Komentar