Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka diapun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci, maka dia mengangkat tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.
“Crottt....! Aughhh....!”
Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan diapun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.
“Trakkk....!”
Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiripun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya.
Diapun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia menggunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Sementara itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.
“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?”
Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam diapun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mau apa begini banyak orang sakti yang dia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Akan tetapi mereka ini jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”
“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekalipun!”
Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dahulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka kini perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.
“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”
Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biarpun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana! Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja.
Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.
“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”
Dia menudingkan telunjukya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian. Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dan sekitar Tibet.
“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”
“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apapun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.
Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa! Maka diapun melangkah mundur dan berkata,
“Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”
Mendengar ucapan ini, para tokoh lainnya juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimanapun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu.
“Ha ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”
Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”
“Iblis busuk lihat pedang!”
Tiba-tiba tosu itu membentak dan pedangnya diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berobah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu.
Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok ketika kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seolah-olah memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tidak ada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi “hati” dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba kakek itu berseru,
“Ceng Liong, lihat Coan-kut-ci ini!”
Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
“Haaaiiiiittt.... ah....!”
Tangan kirinya bergerak mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.
“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
“Haaiiiiittt, ahh!”
Tangan kanan menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.
“Krakkk....!”
Tosu itu mengeluh dan ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulit saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking,
“Haiiiiitttt, ah!”
Dan cengkeraman tangan kiriya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mujijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena kini cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
“Haiiiiittt! Ahhh!” Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.
“Crotttt....!”
Lima jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.
Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu. Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”
“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”
Hek-i Mo-ong tertawa.
“Hah, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong dan ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”
“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.
“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itupun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura.
“Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemun. Bagaimana, dapatkah undangan kami terima?”
“Crottt....! Aughhh....!”
Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan diapun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.
“Trakkk....!”
Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiripun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya.
Diapun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia menggunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Sementara itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.
“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?”
Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam diapun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mau apa begini banyak orang sakti yang dia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Akan tetapi mereka ini jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”
“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekalipun!”
Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dahulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka kini perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.
“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”
Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biarpun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana! Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja.
Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.
“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”
Dia menudingkan telunjukya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian. Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dan sekitar Tibet.
“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”
“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apapun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.
Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa! Maka diapun melangkah mundur dan berkata,
“Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”
Mendengar ucapan ini, para tokoh lainnya juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimanapun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu.
“Ha ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”
Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”
“Iblis busuk lihat pedang!”
Tiba-tiba tosu itu membentak dan pedangnya diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berobah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu.
Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok ketika kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seolah-olah memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tidak ada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi “hati” dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba kakek itu berseru,
“Ceng Liong, lihat Coan-kut-ci ini!”
Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
“Haaaiiiiittt.... ah....!”
Tangan kirinya bergerak mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.
“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
“Haaiiiiittt, ahh!”
Tangan kanan menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.
“Krakkk....!”
Tosu itu mengeluh dan ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulit saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking,
“Haiiiiitttt, ah!”
Dan cengkeraman tangan kiriya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mujijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena kini cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
“Haiiiiittt! Ahhh!” Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.
“Crotttt....!”
Lima jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.
Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu. Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”
“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”
Hek-i Mo-ong tertawa.
“Hah, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong dan ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”
“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.
“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itupun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura.
“Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemun. Bagaimana, dapatkah undangan kami terima?”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 050"
Posting Komentar