Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak! Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat.
Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”
Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
“Siapakah engkau....?”
Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja.
Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian diapun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya. Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”
“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon,
“Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walaupun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
“Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”
Tek Ciang menggeleng kepala.
“Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”
“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.
Pakaiannya masih utuh akan tetapi kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya. Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali.
Berkali-kali ia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya.
Sesaat timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan. Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya! Tek Ciang menggeleng kepala.
“Tidak, locianpwe. Aku.... aku tidak ingin....”
Siauw-ok menyeringai.
“Siapa bilang tidak ingin? Nafsu berahimu membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”
Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.
“Manis, ke sinilah engkau!”
Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.
“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....” kata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
“Ahh, jangan lari, manis!”
Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!”
Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!”
Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Terdengar suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas.
Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak.
Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi?
Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini? Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada saat kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan maupun kesukaan orang lain.
Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.
Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya mukanya agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yang pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam.
Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis itu.
“Nah, sekarang kita bicara tentang urusan kita.” kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
“Locianpwe telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya.” Tek Ciang memulai.
Untuk bekerja sama dengan seseorang, dia harus tahu lebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk bekerja sama.
“Kao Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah banyak menghancurkan dan membunuh golongan kita, bahkan suboku dan semua supek dan susiokku juga tewas di tangan dia dan kawan-kawannya.”
“Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Cin Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?”
“Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya.”
Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai.
“Locianpwe, sebelum kita berunding, aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita ini.”
Siauw-ok tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik daripada ayahmu yang tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong.”
“Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan keuntungan apa yang dapat kuperoleh.”
“Keuntungannya? Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga Suma. Ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!”
Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan baginya. Akan tetapi dia masih menawar,
“Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di depan kakiku?”
“Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiripun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Kalau dia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah, kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu.”
“Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Mendekatlah dan dengar baik-baik....” kata Siauw-ok.
Tek Ciang mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu. Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan.
Tiba-tiba Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan lehernya.
“Bagaimana dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita,” kata Tek Ciang.
“Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!”
Tiba-tiba Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar, dan ketika dia melakukan gerakan memukul dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya. Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka seperti ditusuk pedang, baru sekali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.
“Engkau sungguh hebat, locianpwe.”
“Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu berikut semua pakaiannya, kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita.”
Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua robekan pakaiannya, kemudian mengikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.
Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”
Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
“Siapakah engkau....?”
Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja.
Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian diapun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya. Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”
“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon,
“Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walaupun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
“Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”
Tek Ciang menggeleng kepala.
“Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”
“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.
Pakaiannya masih utuh akan tetapi kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya. Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali.
Berkali-kali ia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya.
Sesaat timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan. Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya! Tek Ciang menggeleng kepala.
“Tidak, locianpwe. Aku.... aku tidak ingin....”
Siauw-ok menyeringai.
“Siapa bilang tidak ingin? Nafsu berahimu membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”
Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.
“Manis, ke sinilah engkau!”
Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.
“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....” kata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
“Ahh, jangan lari, manis!”
Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!”
Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!”
Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Terdengar suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas.
Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak.
Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi?
Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini? Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada saat kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan maupun kesukaan orang lain.
Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.
Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya mukanya agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yang pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam.
Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis itu.
“Nah, sekarang kita bicara tentang urusan kita.” kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
“Locianpwe telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya.” Tek Ciang memulai.
Untuk bekerja sama dengan seseorang, dia harus tahu lebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk bekerja sama.
“Kao Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah banyak menghancurkan dan membunuh golongan kita, bahkan suboku dan semua supek dan susiokku juga tewas di tangan dia dan kawan-kawannya.”
“Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Cin Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?”
“Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya.”
Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai.
“Locianpwe, sebelum kita berunding, aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita ini.”
Siauw-ok tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik daripada ayahmu yang tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong.”
“Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan keuntungan apa yang dapat kuperoleh.”
“Keuntungannya? Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga Suma. Ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!”
Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan baginya. Akan tetapi dia masih menawar,
“Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di depan kakiku?”
“Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiripun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Kalau dia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah, kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu.”
“Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Mendekatlah dan dengar baik-baik....” kata Siauw-ok.
Tek Ciang mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu. Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan.
Tiba-tiba Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan lehernya.
“Bagaimana dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita,” kata Tek Ciang.
“Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!”
Tiba-tiba Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar, dan ketika dia melakukan gerakan memukul dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya. Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka seperti ditusuk pedang, baru sekali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.
“Engkau sungguh hebat, locianpwe.”
“Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu berikut semua pakaiannya, kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita.”
Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua robekan pakaiannya, kemudian mengikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.
**** 059 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 059"
Posting Komentar