Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walaupun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama dusun Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.
Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.
Isterinyapun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itupun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita SULING EMAS sampai PENDEKAR SUPER SAKTI dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai. Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.
Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biarpun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan biarpun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.
Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka. Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali, akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, “setan” itu telah menyambar tubuhnya dan setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.
Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tidak ada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Merekapun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toa-nio.
Di dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.
Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur.
Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.
Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu dan kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.
Ketika mereka berada duduk minum teh pada siang hari itu, diapun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadipun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.
“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tuapun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.
Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab,
“Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”
Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia mengangguk-angguk.
“Kesepian sejak anak kita pergi? Akupun merasakan itu, isteriku dan diam-diam akupun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”
Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya.
Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan. Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, ataupun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu, kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu. Namun, memiliki tidaklah berdiri seiidiri.
Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan dan karena itulah menimbulkan usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apapun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.
Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka iapun menarik napas panjang.
“Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”
Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur.
“Aku maklum, isteriku dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kitapun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”
Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul suaminya ini. Ia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya.
“Terima kasih....! Ah, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”
“Siapa bilang aku suami buruk?”
Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam daripada kegembiraan isterinya.
“Kapan kita berangkat? Kapan?”
“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarangpun boleh.”
“Sekarang? Ah, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!”
Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.
Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.
“Siapa mereka dan ada keperluan apa?”
Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu. Pelayan yang sudah membantu mereka sejak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri.
“Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma Hui....?”
Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira. Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggeleng kepala sambil tersenyum, tidak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.
Ketika suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilahkan duduk, Suma Hui bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.
“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!”
Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk.
“Bibi.... sungguh celaka, malapetaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya.
“Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga amat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?”
Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu. Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan sesenggukan.
Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.
Isterinyapun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itupun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita SULING EMAS sampai PENDEKAR SUPER SAKTI dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai. Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.
Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biarpun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan biarpun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.
Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka. Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali, akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, “setan” itu telah menyambar tubuhnya dan setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.
Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tidak ada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Merekapun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toa-nio.
Di dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.
Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur.
Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.
Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu dan kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.
Ketika mereka berada duduk minum teh pada siang hari itu, diapun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadipun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.
“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tuapun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.
Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab,
“Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”
Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia mengangguk-angguk.
“Kesepian sejak anak kita pergi? Akupun merasakan itu, isteriku dan diam-diam akupun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”
Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya.
Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan. Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, ataupun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu, kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu. Namun, memiliki tidaklah berdiri seiidiri.
Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan dan karena itulah menimbulkan usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apapun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.
Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka iapun menarik napas panjang.
“Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”
Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur.
“Aku maklum, isteriku dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kitapun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”
Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul suaminya ini. Ia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya.
“Terima kasih....! Ah, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”
“Siapa bilang aku suami buruk?”
Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam daripada kegembiraan isterinya.
“Kapan kita berangkat? Kapan?”
“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarangpun boleh.”
“Sekarang? Ah, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!”
Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.
Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.
“Siapa mereka dan ada keperluan apa?”
Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu. Pelayan yang sudah membantu mereka sejak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri.
“Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma Hui....?”
Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira. Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggeleng kepala sambil tersenyum, tidak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.
Ketika suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilahkan duduk, Suma Hui bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.
“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!”
Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk.
“Bibi.... sungguh celaka, malapetaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya.
“Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga amat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?”
Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu. Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan sesenggukan.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 034"
Posting Komentar