Dua orang yang memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang. Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda daripada usia mereka yang sebenarnya. Pria itu berpakaian sederhana namun berisi dan cukup rapi, rambutnya sudah bercampur sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan kepalanya terlindung sebuah caping lebar.
Biarpun pria ini hanya berlengan satu karena lengan kirinya buntung di atas siku, namun sikapnya gagah dan langkahnya tegap dan tenang. Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang karena mata itu, biarpun lembut dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
Yang wanita juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, namun bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang, tertutup oleh jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, sinar matanya membayangkan semangat yang tak kunjung padam.
Mereka adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di dalam sebuah istana tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya beberapa tahun sekali suami isteri ini suka berpesiar ke selatan, kadang-kadang sampai ke kota raja.
Akan tetapi mereka selalu menjauhkan diri daripada segala keributan dan karena mereka tinggal di tempat jauh dan jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw, maka jarang ada yang mengenal mereka ketika bertemu di jalan. Padahal, nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai datuk yang berilmu tinggi.
Naga Sakti Gurun Pasir mempunyai namayang sama tenarnya dengan keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti. Dialah satu-satunya orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok dari Go-bi-san yang bernama Bu Beng Lojin. Biarpun lengan kirinya buntung, namun buntungnya sebelah lengan itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat menguasai Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu lengan saja.
Isterinya, Wan Ceng, juga bukan wanita sembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dan wanita ini selain telah mempelajari banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan suaminya sehingga kelihaiannya juga meningkat.
Suami isteri yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong. Sejak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan karena Cin Liong seorang anak tunggal, tentu saja mereka amat menyayangnya. Hampir semua ilmu kepandaian mereka telah mereka turunkan kepada Cin Liong.
Ketika pemuda itu menarik perhatian istana karena perbuatan-perbuatannya yang gagah perkasa dan kepadanya ditawarkan kedudukan dalam kemiliteran, terjadilah perbantahan antara suami isteri ini.
“Menjadi tentara hanya menjadi alat pembunuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan saja. Apa baiknya? Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak siapapun kecuali berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas,” kata Wan Ceng penuh semangat.
Suaminya menarik napas panjang.
“Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihannya. Apakah engkau lupa bahwa kakeknya adalah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar yang amat perkasa? Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah kita beri gemblengan dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang tidak. Aku percaya bahwa dia berjiwa pendekar dan biarpun dia menjadi tentara, tentu dia tidak akan membuta mentaati perintah atasan kalau perintah itu melawan hati nuraninya sebagai pendekar.”
Akhirnya Wan Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka sekali menjadi perajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan pesat dalam bidang kemiliteran ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di perbatasan dan daerah-daerah amat besar sehingga dalam usia muda dia sudah diangkat menjadi seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar Kian Liong.
Suami isteri ini sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi selalu putera mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera menikah. Cin Liong mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik hatinya. Tentu saja suami isteri itu maklum akan kegagalan puteranya dalam jalinan asmara bersama seorang gadis yang bernama Bu Ci Sian sehingga putera mereka itu menjadi patah hati dan sampai berusia tiga puluh tahun kurang sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.
Dan pada suatu hari, betapa girang hati mereka ketika putera mereka itu datang mengunjungi mereka dan menyatakan bahwa putera mereka itu telah memperoleh pilihan hati, saling mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada mereka untuk mengajukan pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka merasa khawatir sekali ketika mendengar penjelasan Cin Liong siapa adanya gadis yang saling mencinta dengan putera mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!
“Aihhh....!” Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya terbelalak dan mukanya berobah. “Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong, lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!”
Cin Liong menarik napas panjang dan mengangguk.
“Hal itu telah kami sadari sepenuhnya, ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun.”
“Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?” teriak Wan Ceng.
Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang.
“Bukan nekat, ibu. Aku jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan iapun cinta kepadaku. Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itupun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga.”
“Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!”
Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti itu, diapun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan berjodoh antara keluarga sendiri!
“Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong? Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang bibimu?” Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis. Cin Liong mengerutkan alisnya.
“Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui untukku atau tidak.” Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.
“Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman Suma Kian Lee yang kami tahu masih memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan.”
“Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah menyetujui ikatan jodoh ini?”
Cin Liong menggeleng kepala.
“Mereka belum tahu, jadi akupun tidak dapat menduga bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami.”
“Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?”
Wan Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya, hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar daripada rasa gembira karena akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.
“Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu setuju ataukah tdak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus melamarnya sendiri?”
“Liong-ji, engkau tidak boleh mendesak ibumu seperti itu!”
Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka diapun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.
“Ibu, maafkan aku....”
Wan Ceng merangkulnya.
“Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak.”
“Sudahlah, bagaimanapun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagaimana pahitpun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan itu?”
“Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali dulu ke kota raja dan kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin.”
Demikianlah, dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja.
Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya, kemudian dia berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.
Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik perhatian banyak orang yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang lihai. Apalagi ketika mereka nnendengar sepasang suami isteri ini menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.
Dengan mudah suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapnya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun.
Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah, sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walaupun dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu, walaupun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah atau galak.
JugaKao Kok Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.
“Aih, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?” tegur Kim Hwee Li dengan gembira.
Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut “paman” dan “bibi”.
“Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu.” Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya.
Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya dibalas pula oleh Kao Koh Cu dan isterinya.
“Silahkan masuk, kita bicara di ruangan dalam,”
Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin. Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.
“Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap berdua dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting.”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 066"
Posting Komentar