Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 080

“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”

Ceng Liong mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini.

Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menolong Hong Bwee!

“Begitukah? Akupun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya.”

“Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis cantik, ha-ha-ha!”

Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah diserangnya.

“Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik kepadaku.”

“Aku tahu, dan akupun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?”

Ceng Liong mengangguk.






“Untuk membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa pukulanku, Ceng Liong!” Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima pukulan itu.

“Plak! Plakk!”

Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itupun nampak merah kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itupun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.

“Mari kita pergi!” ajaknya dan merekapun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu menuju ke Kota Raja Bhutan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima laporan guru dan murid itu.

“Kami datang membawa kabar buruk, taihiap,” demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya. “Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang....”

Kakek itu memandang ke arah keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.

“Apa yang telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?”

Wan Tek Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan. Selama dia berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, kecuali tentu saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang biru itu nampak.

“Ceng Liong, kau ceritakanlah.” Kakek itu menyuruh muridnya.

Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong, biarpun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya.

“Kami berdua sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya....”

Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.

“Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?” tanya Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.

“Tidak, taihiap. Mereka semua memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan.”

Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik.

Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan. Mereka tiba di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu.

Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri bahkan membujuk suami-isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.

“Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini.”

Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia sendiripun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu.
Juga Ceng Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu.

Guru dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu gin-kang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu gin-kang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata,

“Mo-ong, rencanamu itu memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian.”

“Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan pula, siapa yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet.”

“Rencanamu memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh dipercaya? Ingat, Mo-ong, aku sudah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai ia terganggu, kitapun harus bertanggung jawab.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, akan menimbulkan kesulitan kelak.

“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?” tanyanya ragu-ragu.

“Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku daripada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, melainkan juga untuk melancarkan jalannya siasatmu.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita langsung ke sana!”

Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya kemudian masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang sudah dapat menduga bahwa tentu ada “orang-orang dalam” yang ikut memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.

Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.

“Anak ini.... dia....”

Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas.
“Cocok dengan rencana kita, Brahmani.”

Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga sebagai seorang atasan.

“Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?”

Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di ruangan dalam.
“Jangan khawatir. Anak itu telah berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapapun tidak akan mencari ke sini. Siapa yang akan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?”

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Daftar Isi

Related Posts: