Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walaupun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah.
Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencarikan obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan saputangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih,
“Siapa Nona....?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suhengnya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas. Pek In tersenyum manis.
“Coba kau terka, siapa aku ini?”
Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti.... seperti tak asing bagiku....”
Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....! Ah, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In tertawa dan menutupi mulutnya.
“Aku sudah khawatir engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga tertawa.
“Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”
Cu Pek In cemberut.
“Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru sadar bahwa dia telah kesalahan bicara.
“Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoinya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis.
Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.
“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku.... eh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan Semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.
“Engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoinya.
“Kiranya aku belum mati....”
“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja keatas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang.
“Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimanapun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biarpun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat daripada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat”.
Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.
“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu amat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur. Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoinya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar.
Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.
“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”
“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa.
Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencarikan obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan saputangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih,
“Siapa Nona....?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suhengnya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas. Pek In tersenyum manis.
“Coba kau terka, siapa aku ini?”
Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti.... seperti tak asing bagiku....”
Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....! Ah, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In tertawa dan menutupi mulutnya.
“Aku sudah khawatir engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga tertawa.
“Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”
Cu Pek In cemberut.
“Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru sadar bahwa dia telah kesalahan bicara.
“Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoinya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis.
Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.
“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku.... eh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan Semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.
“Engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoinya.
“Kiranya aku belum mati....”
“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja keatas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang.
“Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimanapun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biarpun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat daripada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat”.
Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.
“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu amat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur. Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoinya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar.
Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.
“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”
“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa.
**** 188 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 188"
Posting Komentar