Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke arah leher Cin Liong yaug masih duduk menghadapi api. Diam-diam Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidakmya diberi hajaran keras. Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu meluncur dan menghantam pergelangan tangan.
“Takk! Aduh....!”
Biarpun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itupun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.
“Desss!”
Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan diapun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali.
“Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan diapun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring dan meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong.
Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.
“Eh! Oh! Aughh....!”
Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat “menyentuh” selangkangannya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap selangkangan dan bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!
Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
“Berhenti!” Cin Liong menghardik.
Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.
“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal, dengan paha kanan ditembus golok!
“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.
Si mata tunggal menoleh ragu, akan tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka diapun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruangan itu kembali, mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu. Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!
“Ampun.... ampunkan saya....”
Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata,
“Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”
Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan daripada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.
“Kami.... ah, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”
Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong.
“Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”
“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”
Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.
“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.
“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!”
Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok dan mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya. Akan tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu semakin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya.
Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itupun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!
“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”
“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami lalu berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!”
Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepaskan kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.
“Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.”
Diapun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu. Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Diapun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti.
Biarpun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya. Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberitahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.
Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya.
Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini. Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya.
Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Kini, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jeuderal Kao Cin Liong!
Dan Cin Liong melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itupun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.
Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian, dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka itu berputar-putar seperti mencari-cari. Dan akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!
“Takk! Aduh....!”
Biarpun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itupun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.
“Desss!”
Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan diapun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali.
“Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan diapun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring dan meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong.
Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.
“Eh! Oh! Aughh....!”
Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat “menyentuh” selangkangannya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap selangkangan dan bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!
Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
“Berhenti!” Cin Liong menghardik.
Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.
“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal, dengan paha kanan ditembus golok!
“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.
Si mata tunggal menoleh ragu, akan tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka diapun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruangan itu kembali, mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu. Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!
“Ampun.... ampunkan saya....”
Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata,
“Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”
Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan daripada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.
“Kami.... ah, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”
Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong.
“Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”
“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”
Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.
“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.
“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!”
Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok dan mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya. Akan tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu semakin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya.
Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itupun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!
“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”
“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami lalu berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!”
Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepaskan kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.
“Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.”
Diapun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu. Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Diapun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti.
Biarpun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya. Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberitahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.
Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya.
Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini. Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya.
Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Kini, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jeuderal Kao Cin Liong!
Dan Cin Liong melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itupun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.
Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian, dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka itu berputar-putar seperti mencari-cari. Dan akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 011"
Posting Komentar