Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana.
Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.
Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.
Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu di Pulan Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.
Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Disitu tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.
Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri.
Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu terbuat dari batu mengkilap bersih.
Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!
Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa serem karena pantasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.
Demikianlah penggambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai!
“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.
Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In.
Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.
Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.
“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun.
Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah maupun sikapnya.
Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui.
“Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?”
Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.
Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah, wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.
“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”
“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yang menjawab.
Adik ini biarpun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yang berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa encinya itu terlalu amat sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.
“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”
“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.
“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya.
Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal.
“Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajarkan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”
Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata,
“Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”
Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi.
Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.
Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.
Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu di Pulan Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.
Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Disitu tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.
Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri.
Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu terbuat dari batu mengkilap bersih.
Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!
Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa serem karena pantasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.
Demikianlah penggambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai!
“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.
Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In.
Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.
Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.
“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun.
Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah maupun sikapnya.
Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui.
“Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?”
Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.
Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah, wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.
“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”
“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yang menjawab.
Adik ini biarpun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yang berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa encinya itu terlalu amat sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.
“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”
“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.
“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya.
Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal.
“Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajarkan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”
Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata,
“Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”
Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 002"
Posting Komentar