“Aku pun girang sekali, Kao-goanswe.”
“Eh, apa-apaan menyebut jenderal di antara teman! Aku kagum melihat ilmu kepandaianmu, Hong Bu.”
“Dan aku takluk kepadamu, Cin Liong. Kalau dilanjutkan aku tentu kalah.”
“Ah, engkau terlalu merendah. Belum tentu!”
Suasana menjadi gembira sekali. Juga Kao Kok Cu ikut bergembira karena kedatangannya tidak terlambat untuk memisahkan dua orang pemuda yang seperti dua ekor naga sakti sedang berlaga itu. Kalau dilanjutkan, tentu salah seorang di antara mereka akan tewas dan yang seorang lagi juga, tentu tidak luput daripada luka-luka hebat. Begitu mendengar keputusan Pangeran tentang pedang itu, cepat-cepat Kao Kok Cu meninggalkan kota raja, menyuruh isterinya menanti di kota raja dan dia sendiri cepat-cepat pergi menyusul dan mencari Cin Liong yang sedang melakukan pengejaran terhadap Sim Hong Bu. Dan untung dia datang tepat pada waktunya. Di Pao-ting dia mendengar dari penjaga kota tentang puteranya itu, maka dia cepat menyusulnya.
“Sim Hong Bu, kulihat pedangmu itu luar biasa sekali. Itukah yang dinamakan Koai-liong Kiam-sut?”
“Benar, Locianpwe,” jawabnya, kini menyebut Locianpwe kepada Pendekar sakti itu,
“Saya diangkat sebagai ahli waris oleh mendiang suhu Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti, dan sayalah satu-satunya orang yang berhak memiliki Koai-liong Po-kiam ini bersama ilmunya yang khas diciptakan untuk itu, yaitu Koai-liong Kiam-sut.”
Dengan singkat Sim Hong Bu lalu menceritakan riwayat pertemuannya dengan Yeti sampai dia diangkat menjadi ahli waris.
Kao Kok Cu mengelus jenggotnya yang masih pendek itu, menarik napas panjang.
“Di dunia persilatan muncul Kaoi-liong Kiam-sut dan juga Kim-siauw Kiam-sut, sungguh amat mengagumkan sekali!”
“Sayang sekali bahwa Suling Emas dan Pedang Naga Siluman terpaksa harus berdiri bertentangan....” Hong Bu mengeluh.
“Eh, kenapakah begitu, Hong Bu? Aku melihat engkau juga menantang pewaris Kim-siauw Kiam-sut, mengapa?” tanya Cin Liong.
Hong Bu menarik napas panjang. Memang hal ini amat menyusahkan hatinya, tidak hanya karena dia amat kagum kepada Kam Hong dan tidak ingin memusuhinya, terutama sekali karena Ci Sian juga merupakan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.
“Kembali karena ikatan dengan keluarga Cu....” dan dia pun menceritakan betapa keluarga Cu kalah oleh Kam Hong maka memesan kepadanya untuk mengadu ilmu dengan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.
“Ah, sayang sekali....” kata Kao Kok Cu. “Agaknya masih ada kaitan dekat sekali dengan kedua ilmu itu, setidaknya bersumber sama.”
Setelah bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat baik, akhirnya mereka berpisah. Cin Liong bersama ayahnya diperkenalkan kepada Sim Hok An yang sejak tadi bersembunyi. Hong Bu memperkenalkan dia sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, dan Sim Hok An memberi hormat kepada pendekar sakti dan puteranya. Kemudian Kao Kok Cu dan puteranya pamit dan mereka kembali ke kota raja di mana Wan Ceng menanti-nanti mereka.
Di dalam perjalanan, ayah dan anak ini tiada hentinya membicarakan Sim Hong Bu sebagai seorang pemuda yang sederhana, gagah perkasa dan berbudi baik. Seorang pendekar sejati! Dan dalam kesempatan berdua itu, Cin Liong lalu mengaku terus terang kepada ayahnya tentang cintanya kepada Ci Sian.
Kao Kok Cu terkejut dan heran.
“Apa? Dara pewaris Kim-siauw Kiam-sut yang.... eh, galak sekali itu?”
“Di antara ribuan orang gadis yang kujumpai, hanya dialah yang menjatuhkan hatiku, Ayah. Memang ia keras hati, kekerasan hati yang terbuka dan jujur.... eh, bukankah Ayah juga menyukai keterbukaan dan kejujuran?”
Pemuda yang cerdik ini mengingatkan ayahnya secara halus bahwa ibunya juga seorang wanita yang keras hati.
Ayahnya tertawa dan mengerti isyarat itu.
“Ceritakanlah perkenalan antara kalian,” katanya.
Cin Liong lalu menceritakan pertemuannya yang pertama kali dengan Ci Sian, ketika dia menyamar dan menyusup ke dalam benteng tentara Nepal yang ketika itu dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan yang kini ikut Bu-taihiap sebagai satu di antara isteri-isterinya.
“Ketika itu pun, sebetulnya aku telah tertarik kepadanya, maka ketika Siok Lan memperlihatkan kasih sayangnya, aku tidak dapat menerimanya, Ayah. Aku mencinta Ci Sian, dan hal ini baru terasa benar di hatiku ketika ia menyerangku, yaitu ketika ia membela ayah kandungnya yang sedang bertanding denganmu itu.”
Kao Kok Cu mengangguk-angguk.
“Lika-liku cinta memang aneh, dan aku tidak heran bahwa engkau jatuh cinta kepadanya. Ia memang seorang dara yang penuh semangat, yang gagah perkasa dan memiliki keberanian istimewa, juga kulihat ilmu silatnya hebat sekali, agaknya tidak di sebelah bawah tingkatmu atau tingkat Hong Bu.”
“Itulah yang amat mengherankan hatiku, Ayah. Ketika aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu di Himalaya itu, ilmu silatnya biasa saja. Akan tetapi sungguh heran, ketika kami mengadu senjata, ia memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa hebat, malah ada dua macam hawa yang bertentangan dalam tenaganya, amat panas dan dingin.”
“Ehh....? Tenaga sin-kang seperti yang dimiliki keluarga Pulau Es?”
“Agaknya begitulah, Ayah. Akan tetapi lepas dari semua itu, bagaimana pendapat Ayah tentang cintaku kepadanya?”
“Bagaimana pendapatku? Eh, apakah ia juga mencintaimu? Itu yang penting”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Sayang, aku tidak tahu dengan pasti, Ayah. Melihat sikap dan sinar matanya, agaknya.... aku boleh berharap demikian. Akan tetapi sungguh sayang, aku sendiri belum pernah menyatakan cinta dan bertanya, karena memang baru ketika kami bertanding di sarang para pendekar itulah aku sadar bahwa sesungguhnya aku cinta padanya”
“Ah, sungguh luar biasa kalau diingat bahwa ia itu kebetulan anak Bu Seng Kin lagi!”
“Mengapa, Ayah?”
“Lupakan engkau? Keluarga Bu marah-marah dan mendendam kepada kita usul mereka denganmu kita tolak. Dan sekarang agaknya.... kita yang akan berbalik melamar anak perempuan mereka yang lain. Betapa janggalnya ini!”
“Ayah khawatir kalau lamaran kita ditolak? Kukira tidak perlu takut, Ayah. Kita harus mengajukan pinangan kepada Bu-locianpwe, itu adalah menurut kepantasan dan peraturan belaka, karena dia adalah ayah kandung Ci Sian. Akan tetapi, melihat sikap Ci Sian terhadap ayahnya, andaikata keluarga Bu menolak pinangan itu sekalipun, aku masih belum putus asa selama belum mendengar keputusan Ci Sian sendiri. Kalau Bu-locianpwe menolak, aku masih dapat meminang kepada Ci Sian sendiri, atau kepada su-hengnya yang agaknya lebih dekat dengan Ci Sian daripada ayah kandungnya sendiri.”
Pendekar sakti itu menarik napas panjang.
“Mari kita bicarakan persoalan ini dengan Ibumu, Cin Liong. Baru kita putuskan apa yang akan kita lakukan dalam urusan ini.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja dengan cepat. Betapapun juga, mereka merasa bergembira bahwa tugas-tugas Cin Liong telah dapat diselesaikan dengan baik. Pertama, Pangeran Kian Liong telah dapat diselamatkan dan ke dua, urusan pedang pun telah selesai dengan baik, sungguhpun kedua hal itu tak dapat dikatakan bahwa tenaga keluarga Kao saja yang membereskannya.
“Eh, apa-apaan menyebut jenderal di antara teman! Aku kagum melihat ilmu kepandaianmu, Hong Bu.”
“Dan aku takluk kepadamu, Cin Liong. Kalau dilanjutkan aku tentu kalah.”
“Ah, engkau terlalu merendah. Belum tentu!”
Suasana menjadi gembira sekali. Juga Kao Kok Cu ikut bergembira karena kedatangannya tidak terlambat untuk memisahkan dua orang pemuda yang seperti dua ekor naga sakti sedang berlaga itu. Kalau dilanjutkan, tentu salah seorang di antara mereka akan tewas dan yang seorang lagi juga, tentu tidak luput daripada luka-luka hebat. Begitu mendengar keputusan Pangeran tentang pedang itu, cepat-cepat Kao Kok Cu meninggalkan kota raja, menyuruh isterinya menanti di kota raja dan dia sendiri cepat-cepat pergi menyusul dan mencari Cin Liong yang sedang melakukan pengejaran terhadap Sim Hong Bu. Dan untung dia datang tepat pada waktunya. Di Pao-ting dia mendengar dari penjaga kota tentang puteranya itu, maka dia cepat menyusulnya.
“Sim Hong Bu, kulihat pedangmu itu luar biasa sekali. Itukah yang dinamakan Koai-liong Kiam-sut?”
“Benar, Locianpwe,” jawabnya, kini menyebut Locianpwe kepada Pendekar sakti itu,
“Saya diangkat sebagai ahli waris oleh mendiang suhu Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti, dan sayalah satu-satunya orang yang berhak memiliki Koai-liong Po-kiam ini bersama ilmunya yang khas diciptakan untuk itu, yaitu Koai-liong Kiam-sut.”
Dengan singkat Sim Hong Bu lalu menceritakan riwayat pertemuannya dengan Yeti sampai dia diangkat menjadi ahli waris.
Kao Kok Cu mengelus jenggotnya yang masih pendek itu, menarik napas panjang.
“Di dunia persilatan muncul Kaoi-liong Kiam-sut dan juga Kim-siauw Kiam-sut, sungguh amat mengagumkan sekali!”
“Sayang sekali bahwa Suling Emas dan Pedang Naga Siluman terpaksa harus berdiri bertentangan....” Hong Bu mengeluh.
“Eh, kenapakah begitu, Hong Bu? Aku melihat engkau juga menantang pewaris Kim-siauw Kiam-sut, mengapa?” tanya Cin Liong.
Hong Bu menarik napas panjang. Memang hal ini amat menyusahkan hatinya, tidak hanya karena dia amat kagum kepada Kam Hong dan tidak ingin memusuhinya, terutama sekali karena Ci Sian juga merupakan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.
“Kembali karena ikatan dengan keluarga Cu....” dan dia pun menceritakan betapa keluarga Cu kalah oleh Kam Hong maka memesan kepadanya untuk mengadu ilmu dengan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.
“Ah, sayang sekali....” kata Kao Kok Cu. “Agaknya masih ada kaitan dekat sekali dengan kedua ilmu itu, setidaknya bersumber sama.”
Setelah bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat baik, akhirnya mereka berpisah. Cin Liong bersama ayahnya diperkenalkan kepada Sim Hok An yang sejak tadi bersembunyi. Hong Bu memperkenalkan dia sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, dan Sim Hok An memberi hormat kepada pendekar sakti dan puteranya. Kemudian Kao Kok Cu dan puteranya pamit dan mereka kembali ke kota raja di mana Wan Ceng menanti-nanti mereka.
Di dalam perjalanan, ayah dan anak ini tiada hentinya membicarakan Sim Hong Bu sebagai seorang pemuda yang sederhana, gagah perkasa dan berbudi baik. Seorang pendekar sejati! Dan dalam kesempatan berdua itu, Cin Liong lalu mengaku terus terang kepada ayahnya tentang cintanya kepada Ci Sian.
Kao Kok Cu terkejut dan heran.
“Apa? Dara pewaris Kim-siauw Kiam-sut yang.... eh, galak sekali itu?”
“Di antara ribuan orang gadis yang kujumpai, hanya dialah yang menjatuhkan hatiku, Ayah. Memang ia keras hati, kekerasan hati yang terbuka dan jujur.... eh, bukankah Ayah juga menyukai keterbukaan dan kejujuran?”
Pemuda yang cerdik ini mengingatkan ayahnya secara halus bahwa ibunya juga seorang wanita yang keras hati.
Ayahnya tertawa dan mengerti isyarat itu.
“Ceritakanlah perkenalan antara kalian,” katanya.
Cin Liong lalu menceritakan pertemuannya yang pertama kali dengan Ci Sian, ketika dia menyamar dan menyusup ke dalam benteng tentara Nepal yang ketika itu dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan yang kini ikut Bu-taihiap sebagai satu di antara isteri-isterinya.
“Ketika itu pun, sebetulnya aku telah tertarik kepadanya, maka ketika Siok Lan memperlihatkan kasih sayangnya, aku tidak dapat menerimanya, Ayah. Aku mencinta Ci Sian, dan hal ini baru terasa benar di hatiku ketika ia menyerangku, yaitu ketika ia membela ayah kandungnya yang sedang bertanding denganmu itu.”
Kao Kok Cu mengangguk-angguk.
“Lika-liku cinta memang aneh, dan aku tidak heran bahwa engkau jatuh cinta kepadanya. Ia memang seorang dara yang penuh semangat, yang gagah perkasa dan memiliki keberanian istimewa, juga kulihat ilmu silatnya hebat sekali, agaknya tidak di sebelah bawah tingkatmu atau tingkat Hong Bu.”
“Itulah yang amat mengherankan hatiku, Ayah. Ketika aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu di Himalaya itu, ilmu silatnya biasa saja. Akan tetapi sungguh heran, ketika kami mengadu senjata, ia memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa hebat, malah ada dua macam hawa yang bertentangan dalam tenaganya, amat panas dan dingin.”
“Ehh....? Tenaga sin-kang seperti yang dimiliki keluarga Pulau Es?”
“Agaknya begitulah, Ayah. Akan tetapi lepas dari semua itu, bagaimana pendapat Ayah tentang cintaku kepadanya?”
“Bagaimana pendapatku? Eh, apakah ia juga mencintaimu? Itu yang penting”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Sayang, aku tidak tahu dengan pasti, Ayah. Melihat sikap dan sinar matanya, agaknya.... aku boleh berharap demikian. Akan tetapi sungguh sayang, aku sendiri belum pernah menyatakan cinta dan bertanya, karena memang baru ketika kami bertanding di sarang para pendekar itulah aku sadar bahwa sesungguhnya aku cinta padanya”
“Ah, sungguh luar biasa kalau diingat bahwa ia itu kebetulan anak Bu Seng Kin lagi!”
“Mengapa, Ayah?”
“Lupakan engkau? Keluarga Bu marah-marah dan mendendam kepada kita usul mereka denganmu kita tolak. Dan sekarang agaknya.... kita yang akan berbalik melamar anak perempuan mereka yang lain. Betapa janggalnya ini!”
“Ayah khawatir kalau lamaran kita ditolak? Kukira tidak perlu takut, Ayah. Kita harus mengajukan pinangan kepada Bu-locianpwe, itu adalah menurut kepantasan dan peraturan belaka, karena dia adalah ayah kandung Ci Sian. Akan tetapi, melihat sikap Ci Sian terhadap ayahnya, andaikata keluarga Bu menolak pinangan itu sekalipun, aku masih belum putus asa selama belum mendengar keputusan Ci Sian sendiri. Kalau Bu-locianpwe menolak, aku masih dapat meminang kepada Ci Sian sendiri, atau kepada su-hengnya yang agaknya lebih dekat dengan Ci Sian daripada ayah kandungnya sendiri.”
Pendekar sakti itu menarik napas panjang.
“Mari kita bicarakan persoalan ini dengan Ibumu, Cin Liong. Baru kita putuskan apa yang akan kita lakukan dalam urusan ini.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja dengan cepat. Betapapun juga, mereka merasa bergembira bahwa tugas-tugas Cin Liong telah dapat diselesaikan dengan baik. Pertama, Pangeran Kian Liong telah dapat diselamatkan dan ke dua, urusan pedang pun telah selesai dengan baik, sungguhpun kedua hal itu tak dapat dikatakan bahwa tenaga keluarga Kao saja yang membereskannya.
**** 181 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 181"
Posting Komentar