Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan dan karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.
Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.
“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu berahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis jahanam!”
Suma Hui membentak dan dengan kemarahan meluap ia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, mempergunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya.
Tanpa diperintah lagi, enam orang penjahat yang melihat munculnya seorang dara jelita ini sudah berebut maju hendak menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggauta-anggauta penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Akan tetapi mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!
Akan tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok sudah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.
Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang telah berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong, maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.
Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan iapun mabok.
Setelah badai lewat dan perahu kecil itu jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!
Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar. Dan diapun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw!
Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es! Selain itu, diapun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat kalau melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.
Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walaupun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda diapun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia mempergunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya. Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya.
Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjina dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknyapun berubah. Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian diapun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.
Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walaupun tidak begitu sempurna karena curian. Dan sejak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka kepadanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!
Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong. Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak ketika ia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil. Iapun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
“Aih, nona manis, engkau sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.
Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
“Marilah, nona....” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya dan ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat berahinya timbul dan diapun tersenyum-senyum. “Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”
Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki tangan dengan pengerahan sin-kang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.
“Mari, makanlah nona....”
“Tidak sudi!”
Suma Hui membentak dan biarpun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ah, jangan begitu, nona. Aku tdak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”
“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh engkau? Aihh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ah, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”
Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biarpun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya,
“Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”
Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali.
“Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”
“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.
Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan diapun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampuradukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.
Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Iapun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya. Bagaimanapun juga, melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa perutnya lapar sekali dan kerongkongannya kering dan haus. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan. Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua orang adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.
“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”
Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, di dalam hatinya bersorak karena merasa menang.
”Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka akupun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”
“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”
“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Kalau kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”
Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.
“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu berahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis jahanam!”
Suma Hui membentak dan dengan kemarahan meluap ia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, mempergunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya.
Tanpa diperintah lagi, enam orang penjahat yang melihat munculnya seorang dara jelita ini sudah berebut maju hendak menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggauta-anggauta penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Akan tetapi mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!
Akan tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok sudah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.
Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang telah berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong, maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.
Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan iapun mabok.
Setelah badai lewat dan perahu kecil itu jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!
Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar. Dan diapun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw!
Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es! Selain itu, diapun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat kalau melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.
Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walaupun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda diapun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia mempergunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya. Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya.
Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjina dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknyapun berubah. Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian diapun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.
Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walaupun tidak begitu sempurna karena curian. Dan sejak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka kepadanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!
Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong. Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak ketika ia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil. Iapun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
“Aih, nona manis, engkau sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.
Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
“Marilah, nona....” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya dan ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat berahinya timbul dan diapun tersenyum-senyum. “Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”
Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki tangan dengan pengerahan sin-kang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.
“Mari, makanlah nona....”
“Tidak sudi!”
Suma Hui membentak dan biarpun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ah, jangan begitu, nona. Aku tdak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”
“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh engkau? Aihh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ah, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”
Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biarpun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya,
“Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”
Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali.
“Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”
“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.
Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan diapun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampuradukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.
Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Iapun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya. Bagaimanapun juga, melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa perutnya lapar sekali dan kerongkongannya kering dan haus. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan. Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua orang adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.
“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”
Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, di dalam hatinya bersorak karena merasa menang.
”Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka akupun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”
“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”
“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Kalau kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 029"
Posting Komentar